BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan titik berat pembangunan dalam memasuki era globalisasi. Oleh karena itu, diperlukan pendidikan yang mampu membawa manusia lepas dari berbagai keterbelengguan. Upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia telah dituangkan dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Pasal 11 Ayat 1 dan 2 yang menekankan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
Pada hakikatnya dalam sistem pendidikan nasional setiap warga masyarakat memiliki hak dalam proses pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Hal tersebut dijelaskan dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 12 Ayat 1b bahwa setiap peserta didik pada tiap satuan pendidikan berhak mendapatkan layanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.
Pendekatan yang selama ini dilakukan adalah cenderung lebih sentralistik baik dalam proses penentuan kebijakan maupun operasionalisasinya sehingga memberi dampak terbatasnya ruang partisipasi dan juga menurunnya kreativitas daerah. Pada akhirnya, kenyataan itu semakin memperburuk sistem pengelolaan sekolah pada hampir seluruh jenjang pendidikan yang ada termasuk pada tingkatan pendidikan kejuruan yang mengutamakan penyiapan siswa untuk memasuki lapangan kerja serta mengembangkan sikap profesional (PP 29/1990).
Di samping itu, secara nasional tertuang dalam Pasal 15 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjelaskan bahwa pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu.
Berdasarkan peraturan pemerintah tersebut, kemudian dikeluarkan Keputusan Mendikbud Nomor 0490/1992 tentang Kerjasama SMK dengan Dunia Usaha dan Industri (DUDI) yang bertujuan meningkatkan kesesuaian program SMK dengan kebutuhan dunia kerja yang diusahakan dengan saling menguntungkan dan dengan dasar kebijakan Mendikbud tersebut dirumuskan kebijakan bersama antara Mendikbud dan Ketua Umum Kadin dengan nomor 0267a/U/1994 dan nomor 84/ KU/X/1994 tanggal 17 Oktober 1994 tentang Pembentukan Lembaga Kerjasama Tingkat Pusat disebut Majelis Pendidikan Kejuruan Nasional (MPKN), Tingkat Wilayah disebut Majelis Pendidikan Kejuruan Provinsi (MPKP), dan Tingkat Sekolah disebut Majelis Sekolah (MS).
Berkaitan dengan program kemitraan itulah, fenomena yang terjadi saat ini adalah kurikulum SMK baik rumpun teknologi dan industri maupun rumpun bisnis manajemen sebagai bagian dari mekanisme implementasi pendidikan sistem ganda kurang luwes dan sangat terstruktur. Tidak terkelolanya program pendidikan kejuruan dengan baik, di samping masih relatif kakunya sistem kurikulum yang dikembangkan oleh pihak manajemen SMK di Provinsi Kalimantan Timur menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah pengangguran tiap tahun
Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukan oleh Suraydi (dalam Kompas,19-02-2005) bahwa sekolah kejuruan pun masih bermasalah. Meski SMK diharapkan bisa menghasilkan lulusan yang siap kerja, kenyataannya, pengangguran terbuka lebih banyak dari sekolah kejuruan. Beberapa bidang studi di sekolah kejuruan tidak sesuai lagi dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. Lebih lanjut Firdaus (dalam Kompas 19-02-2005) menyatakan bahwa “mana mungkin sekolah kejuruan bisa menghasilkan lulusan yang punya kompetensi bila mesin yang dipergunakan oblak-oblak, tidak presisi, dan tidak pernah diperbarui, sementara bahan untuk praktik tidak tersedia,"
Hal itu dapat diindikasikan antara lain dari data angka pengangguran Kota Tarakan tahun 2004 sebesar 7,45% dari angkatan kerja sebesar 66.307 orang dan sebesar 1,78% dari angka pengangguran tersebut .bersumber dari lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) (Bappeda Kota Tarakan, 2004), dan lebih diperparah lagi Kota Tarakan sebagai Kota yang terletak di daerah perbatasan Indonesia – Malaysia juga ikut berpengaruh terhadap penyiapan tenaga kerja untuk mengisi peluangn kerja yang ada, hal ini ditunjukkan dengan data BPS (2005) bahwa jumlah pencari kerja (penduduk Kota Tarakan dan penduduk pendatang dari provinsi dan kabupaten / kota sekitarnya) tahun 2002 sampai tahun 2004 yaitu mengalami peningktan dari tahun 2002 sebesar 8.0407, tahun 2003 orang sebesar 7.958 dan tahu 2004 orang sebesar 12.031 orang
Fenomena di atas dapat dipahami menurut pandangan Ghozali (2004) bahwa selama ini disinyalir terdapat hubungan yang kurang baik antara pendidikan dengan ketenagakerjaan. Hubungan yang kurang baik tersebut di antaranya adalah semakin meningkatnya tingkat pengangguran secara umum dan pengangguran terdidik secara khusus, tidak sesuainya antara latar belakang pendidikan dengan bidang pekerjaan yang dilakukan, rendahnya produktivitas tenaga kerja, dan kurang relevannya pengetahuan dan keterampilan yang diberikan kepada anak didik dengan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dalam dunia kerja. Dan menurut Becker (1983) dalam teorinya tentang “Human Capital” bahwa “generic skills “ lebih tepat dipelajari di sekolah karena jenis keterampilan semacam itu bersifat transferable
Di samping itu, secara konseptual Djojonegoro (1999) menyatakan bahwa tolok ukur pendidikan kejuruan yang efisien adalah (a) mempersiapkan siswanya untuk jenis pekerjaan yang didasarkan atas kebutuhan tenaga kerja dan (b) siswa mendapatkan pekerjaan sesuai dengan keterampilan yang telah dilatihkan. Konsideran seperti itu mengisyaratkan betapa pentingnya pengelolaan sistem pendidikan menengah yang dilaksanakan berdasarkan prinsip kemitraan, khususnya bagaimana mengaitkan kompetensi lulusan dengan dunia industri sebagai sasaran dunia kerja alumni bersangkutan.
Dalam literatur administrasi negara klasik, admnistrasi berhubungan dengan implementasi apa yang akan dilakukan negara. Administrasi memfokuskan perhatian pada mencari cara efisien, one best way untuk mengimplementasikan kebijakan publik (Anderson,1979 dan Henry,1988). Maka jka dikaitkan dengan fenomena di sektor pendidikan kejuruan, implementasi ebijakan tersebut belum mencapai sasaran peningkatan kualitas pendidikan dan daya serap lapangan kerja pada jenjang tersebut. Hal itu yang diasumsikan sebagai dampak yang diakibatkan oleh terjadinya permasalahan dalam proses implementasi, baik dari segi tidak terdapatnya komunikasi yang efektif antara perumus kebijakan (Diknas Kota Tarakan) dengan pihak pelaksana di tingkat sekolah dan industri (implementer).
Dengan demikian, implementasi kebijakan kemitraan mempunyai kendala yaitu kompleksnya masalah yang dihadapi dalam proses implementasinya, baik dari segi sumber daya pelaksananya maupun mekanisme dan proses organisasi yang harus dilalui dan diberdayakan dalam dimensi kebijakan kemitraan. Semua faktor tersebut menjadikan implementasi menjadi sesuatu yang semakin menarik untuk dipelajari.
Pada tahap selanjutnya, kinerja dan hasil akhir (impact) dari proses implementasi kebijakan kemitraan SMK dan DUDI di Kota Tarakan selama ini secara integral juga belum dapat dicapai. Hal itu ditunjukkan oleh (1) perjanjian kerjasama SMK dengan dunia usaha/industri Kota Tarakan selama tahun 1994 hingga saat ini belum menghasilkan dampak yang diharapkan, seperti diindikasikan dari belum terpenuhinya sasaran kebijakan berkaitan dengan penyerapan tenaga kerja di berbagai industri maupun dunia usaha tertentu, (2) kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan masih relatif rendah (1,7%,dari angka pengangguran bersumber dari lulusan sekolah menengah kejuruan SMK), dan dari perspektif masa tunggu untuk bekerja bagi alumni SMK cenderung lebih lama (rata-rata 6 bulan – 1 tahun, responden alumni, 20 Oktober 2005), (3) pemerintah daerah dalam hal ini dinas pendidikan belum berperan atau mengambil langkah strategis untuk mengelola SMK sebagai lembaga pendidikan yang bertugas untuk menyiapakan tenaga kerja siap pakai
Berdasarkan gambaran tersebut dan juga terdapatnya kesenjangan (gap) hasil penelitian sebelumnya yang belum banyak menganalisis proses implementasi kebijakan kemitraan SMK yang secara langsung terkait dengan dampak kebijakan praktik industri, menyebabkan perlunya diteliti secara lebih mendalam proses dan dampak implementasi kebijakan kemitraan, khususnya kebijakan kemitraan SMK rumpun teknologi dan industri maupun rumpun bisnis manajemen.
Demikian pula, hasil kajian Edward III terhadap implementasi kebijakan belum jelas menunjukkan faktor apa sesungguhnya di antara empat faktor yang lebih dominan terhadap keberhasilan program. Penelitian ini difokuskan pada aspek-aspek yang berkaitan dengan kajian proses dan dampak implementasi kebijakan kemitraan pada SMK di Kota Tarakan Provinsi Kalimantan Timur sejak berlangsungnya otonomi daerah.
1.2. Rumusan Masalah Penelitian
1.2.1.Bagaimana persiapan implementasi kebijakan praktek industri di Kota Tarakan ?
1.2.2.Bagaimana proses implementasi kebijakan praktek industri di Kota Tarakan
Propinsi Kalimantan Timur antara tahun 2001 sampai dengan 2005 ?
1.2.3.Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan praktek industri di Kota Tarakan Propinsi
Kalimantan Timur, dilihat dari aspek komunikasi, sumber daya pengelola, disposisi dan struktur birokrasi?
1.2.4.Bagaimana dampak (outcome) implementasi kebijakan praktek industri terhadap tingkat keahlian dan pengalaman kerja,
tingkat rasa percaya diri, serta masa transisi (lead time) dari sekolah ke dunia kerja bagi siswa?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Persiapan implementasi kebijakan praktek industri di Kota Tarakan.
1.3.2. Proses pelaksanaan kebijakan praktek industri di Kota Tarakan Propinsi
Kalimantan Timur.
1.3.3. Berbagai faktor yang mempengaruhi proses pelaksanaan kebijakan praktek
industri di Kota Tarakan Propinsi Kalimantan Timur.
1.3.4. Dampak (outcome) implementasi kebijakan praktek industri terhadap sekolah, siswa (target group),dunia usaha
industri dan pemerintah daerah Kota Tarakan
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu administrasi khususnya administrasi publik yang terkait langsung dengan masalah implementasi kebijakan publik, yaitu dapat mengungkap proses dan dampak implementasi kebijakan pendidikan kejuruan khususnya tentang implementasi kebijakan kemitraan dalam penyenggaraan praktek industri.
Dengan demikian dari segi teoritis, hasil penelitian ini melakukan rekonstruksi (reconstruction) teori implementasi kebijakan yang digagas oleh George Edward III (1980), khususnya menyangkut berbagai faktor yang menentukan keberhasilan dan kegagalan proses implementasi kebijakan publik.
1.4.2. Manfaat Praktis
Penelitian ini memberikan kontribusi yang berarti pada pihak SMK, dunia usaha industri (dudi), Pemerintah Daerah Kota Tarakan Provinsi Kalimantan Timur dan Direktorat Pengembangan SMK Depdiknas RI dalam rangka lebih meningkatkan kualitas pencapaian sasaran program kemitraan dalam rangka praktek industri yang diselenggarakan selama ini, yaitu dapat menguntungkan seluruh pihak, utamanya kelompok sasaran (target group) terhadap Kebijakan kemitraan pendidikan kejuruan yaitu sekolah, guru, siswa, dunia usaha industri dan pemda yang terlibat dalam skenario kebijakan kemitraan.
Di samping itu penelitian ini melahirkan model implementasi kebijakan kemitraan pendidikan kejuruan berbasis dunia kerja (opportunity job oriented) yang dapat digunakan oleh berbagai stakeholders dan juga instansi terkait dengan implementasi kebijakan yang dimaksud.
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1. Penelitian Terdahulu Yang Relevan
Penelitian yang dilakukan oleh Bukit (1997),Riyanto (1998) ,Lee, Kisung (2001) ,Stansaker dan Aamodt (2002), Prater dan Sileo (2002) ,Anwar, (2002),demikina pula penelitian Smith (2003) dalam penelitiannya tentang kebijakan pendidikan di Afrika Selatan terutama untuk melihat implementasi kebijakan pendidikan pada tingkat mikro .Hasil penelitian Smith adalah (a) proses pengembangan dan pembahasan kebijakan pendidikan yang cenderung berubah (removed) dan tidak diragamkan (un-uniform) dengan basis pengetahuan pendidik yang memiliki pengalaman (experiences) dan pemahaman (understanding) lokal, menghasilkan risiko implementasi kebijakan yang kurang sukses atau tidak layak (inadequate), (b) kenyataan bahwa kebijakan pendidikan yang diimplementasikan ternyata tetap disaring (filtered), tidak diterima begitu saja oleh pendidik lokal, namun hanya bagian–bagian yang sesuai dengan perspektif pribadi dan institusi pendidik (sesuai pengalaman dan pemahaman mereka) yang dipilih, (c) implementasi kebijakan membutuhkan pengetahuan, keahlian, dan perilaku dukungan dari pendidik, (d) ternyata respons emosional pendidik terhadap kebijakan pendidikan sangat menentukan implementasi kebijakan, dan (e) resistensi yang terbesar dalam implementasi kebijakan banyak dilakukan oleh pendidik, terutama pendidik senior dan berpengalaman, kebanyakan menolak kebijakan yang bertentangan dengan pemahaman dan pengalaman yang pernah mereka lakukan.
Berdasarkan gambaran hasil penelitian terdahulu di atas dapat disimpulkan bahwa dari berbagai hasil penelitian yang relevan dengan permasalahan yang diteliti tampaknya belum banyak membahas tentang proses implementasi kebijakan kemitraan dalam perspektif yang menyeluruh mulai dari tahapan persiapan implementasi hingga pada mempelajari berbagai faktor yang menyebabkan implementasi itu berlum optimal mencapai tujuan dan sasaran kebijakan
Di samping itu, beberapa hasil penelitian di atas misalnya studi yang dilakukan oleh David Birtwhistle (2001) belum mengungkapkan sejauh mana dampak yang dihasilkan dari adanya kebijakan kemitraan yang meliputi dampak terhadap kelompok sasaran (target group) yang diinginkan. Dengan demikian, hal itu menjadi faktor yang dapat dianggap mempunyai kesenjangan (gap) penelitian yang di dalamnya perlu untuk diteliti lebih lanjut.
2.2. Perumusan Kebijakan Publik
Dalam tataran konseptual perumusan kebijakan tidak hanya berisi cetusan pikiran atau pendapat para pimpinan yang mewakili anggota, tetapi juga berisi opini publik (public opinion) dan suara publik (public voice), seperti dijelaskan oleh Parsons (1997). Hal itu disebabkan proses pembuatan kebijakan pada esensinya tidak pernah bebas nilai (value free) sehingga berbagai kepentingan akan selalu memengaruhi terhadap proses pembuatan kebijakan.
Beberapa pakar menjelaskan bahwa proses perumusan kebijakan publik selalu dan harus memerhatikan beberapa karakteristik penting agar dapat mencapai sasaran kebijakan yang dituangkan dalam tahapan implementasi kebijakan. Misalnya, dijelaskan oleh Austin (1990) dalam Tuner dan Hulme (1997) bahwa ada empat elemen lingkungan yang perlu diperhatikan dalam proses perumusan kebijakan publik, yaitu (1) economic, (2) cultural, (3) demographic, dan (4) political elements. Keempat elemen penting yang dijelaskan oleh Austin tersebut berkaitan dengan perlunya analisis derajat urgensi dan relevansinya berdasarkan interest dan kebutuhan masyarakat.
Sementara itu, pendapat yang lebih spesifik diungkapkan oleh Peter and Roger (dalam Perry, 1999) bahwa karakteristik yang perlu dipertimbangkan dalam proses perumusan kebijakan publik bukan hanya dari sisi lingkungan seperti dijelaskan oleh Austin, tetapi juga penting untuk melihat bahwa keberhasilan policy analysis harus memenuhi karakteristik yang melibatkan aktor masyarakat, sebagai berikut: (1) technical skill, (2) multidisciplinarity, (3) creativity, (4) clarity, (5) voice, (6) expertise, dan (7) political safety. Pendapat Peter dan Roger tersebut sesuai dengan karakteristik dari suatu kebijakan yang lazimnya berbentuk aturan-aturan dan sekaligus dijadikan pedoman dalam mengimplementasikannya.]
Untuk kepentingan proses implementasi kebijakan publik yang selalu direspons oleh masyarakat secara positif, para perumus kebijakan harus senantiasa melakukan negosiasi secara langsung dengan masyarakat yang terkena dampak suatu kebijakan (Islamy, 2001). Pandangan itu mengingatkan atas konsep "policy environment" yang diungkap oleh Dye (dalam Dunn, 2000) sehingga perlu hati-hati dalam implementasinya karena antara perumusan kebijakan dan implementasinya tidak dapat dipisahkan. Di samping itu, setiap perumusan kebijakan yang baik harus terkandung nuansa implementasi dan tolok ukur keberhasilannya, sehingga kebijakan yang telah dirumuskan dan diwujudkan dalam bentuk program harus selalu bertujuan dapat diimplementasikan (Islamy, 2001).
Aspek lain yang terkandung dalam memahami dinamika penetapan dan implementasi kebijakan yang seirama tersebut. Dalam prosesnya perlu memerhatikan konteks pelibatan masyarakat seperti diungkap oleh Islamy (2002); Dunn (2000); Thoha (2002). Hal itu berarti bahwa antara konsep penetapan dan implementasi kebijakan di samping harus selaras, juga harus dilihat sebagai bagian kehidupan masyarakat di dalam lingkungan.
2.3. Implementasi Kebijakan
2.3.1. Konsep Implementasi Kebijakan
Studi Implementasi kebijakan merupakan suatu kajian mengenai studi kebijakan yang mengarah pada proses pelaksanaan dari suatu kebijakan atau keputusan kebijakan (biasanya dalam bentuk undang undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan, perintah eksekutif, atau Dekrit Presiden). Van Horn dan Van Meter (dalam Abdul Wahab 1997) merumuskan proses implementasi sebagai tindakan tindakan yang dilakukan baik oleh individu individu/pejabat pejabat atau kelompok kelompok pemerintah maupun pihak swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan
Meskipun Van Horn dan Van Meter maupun Friedrich mengungkap bahwa implementasi kebijakan hanya dapat diukur dari tujuan kebijakan yang disusun sebelumnya, namun pendapat tersebut secara implisit sejalan dengan pendapat Hartono ,Parsons (1997) , Islamy (1997), Pressman dan Wildavsky (dalam Abdul Wahab ,1997) dan Udoji (dalam Abdul Wahab ,1997), yang menilai implementasi dari sisi dampaknya secara langsung.
Masih terkait dengan konsep dan pengertian implementasi, Lineberry (1978) juga mengatakan bahwa proses implementasi setidak tidaknya memiliki elemen elemen berikut: (1) pembentukan unit organisasi baru dan pelaksana,(2) penjabaran tujuan ke dalam berbagai aturan pelaksana (standard operating procedures/SOP), (3) koordinasi berbagai sumber dan pengeluaran pada kelompok sasaran, pembagian tugas di dalam dan di antara dinas-dinas dan badan pelaksana, dan (4) pengalokasian sumber sumber untuk mencapai tujuan. Komponen proses implementasi seperti itu secara langsung berkaitan dengan apa yang dianalisis oleh Mazmanian dan Sabatier (1987). Mereka menjelaskan bahwa proses implementasi kebijakan publik harus diperhatikan dari sisi kontrol dan koordinasinya secara ketat untuk mencapai hasil
Berkaitan dengan hal tersebut Gupta (2001) menjelaskan bahwa proses implementasi kebijakan publik adalah sebuah tahapan yang dilakukan setelah kebijakan diadopsi (adopted) atau disahkan oleh yang memiliki otoritas untuk kebijakan bersangkutan. Dengan demikian maka implementasi kebijakan publik seringkali dikaitkan dengan proses administratif di mana ditemukan banyak proses dan aktivitas organisasional dalam proses dan pendekatan yang dilakukannya.
Berdasarkan pandangan tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa proses implementasi kebijakan itu sesungguhnya tidak hanya menyangkut perilaku badan badan administratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran (target group), melainkan pula menyangkut jaringan kekuatan kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang terlibat, dan pada akhirnya berpengaruh terhadap dampak baik yang diharapkan (intended) maupun yang tidak diharapkan (unintended/ negative effects).
Hal ini diperkuat oleh pendapat yang diungkap oleh Bardach (dalam Patton and Sawicki,1986) dan Steiss and Daneke (dalam Patton and Sawicki,1986) bahwa proses kebijakan (implementation process) merupakan seperangkat permainan dalam mana banyak actor melakukan manuver tertentu untuk memperoleh apa yang mereka inginkan. Biasanya digunakan metode permainan (game) sebagai upaya untuk memperoleh lebih sumber daya kebijakan, seperti mekanisme monitoring, menegosiasikan kembali sasaran yang telah dirumuskan setelah program berjalan, dan atau dengan jalan menambah berbagai elemen baru dari program yang telah ada selama ini.
Sebaliknya keseluruhan proses implementasi kebijakan dapat dievaluasi dengan cara mengukur atau membandingkan antara hasil akhir dari program-program tersebut dengan tujuan-tujuan kebijakan . Grindle (1980) menjelaskan proses implementasi kebijakan negara beserta cara mengevaluasinya dengan diagram berikut :
Gambar 1 : Implementasi sebagai proses Administrasi (Grindle,1980 )
Salah satu penjelasan proses implementasi yang dipandang lebih sederhana di dalam melihat keterkaitan berbagai variabel dan faktor yang mempengaruhi proses implementasi adalah apa yang diungkap oleh Edward III (1980) yang menjelaskan adanya empat variabel penting yang harus diperhatikan untuk melihat saling keterkaitan berbagai faktor terhadap kegagalan dan keberhasilan implementasi kebijakan publik.
Edward III mengungkap bahwa ada empat variabel penting yang perlu dijelaskan dalam memahami proses implementasi kebijakan publik, yaitu faktor (1) komunikasi (communication), (2) sumber daya pelaksana (resources), (3) disposisi birokrasi (disposition) dan (4) struktur birokrasi (bureaucratic structure). Pendekatan ini dianggap lebih kondusif di dalam memahami kompleksitas persoalan implementasi yang seringkali terjadi di dalam kegiatan dan aktivitas implementasi kebijakan publik.
Pada kategori komunikasi misalnya dijelaskan bahwa variabel ini terdiri dari sub komponen seperti transmisi (transmission) antara pelaksana dan penerima program, komponen kejelasan persoalan (clarity), dan komponen konsistensi (consistency). Sedangkan pada kategori sumber daya (resources) adalah terdiri dari beberapa sub komponen seperti sumber daya staf, informasi yang dimiliki, otoritas dan fasilitas pendukung implementasi.
Sedangkan kategori disposisi (dispositions) yaitu keluasan kewenangan oleh pejabat pelaksana yang terdiri dari beberapa komponen seperti dampak disposisi yang ada, penempatan birokrasi terkait dengan implementasi, dan faktor insentif. Dan faktor struktur birokrasi (bureaucratic structure) yaitu komponen yang terdiri dari beberapa sub komponen, seperti standar pelaksanaan (SOP), dan mekanisme fragmentasi yang dilakukan oleh pejabat pelaksana. (Edward III, 1980).
Keempat faktor tersebut dalam pandangan Edward III mempunyai keterkaitan antara satu dengan yang lain. Faktor komunikasi misalnya mempengaruhi sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi pelaksananya dalam konteks implementasi kebijakan publik. Secara sederhana hubungan dan keterkaitan berbagai faktor tersebut dalam proses implementasi kebijakan dapat dijelaskan melalui bagan berikut
Implementation
Bureaucratic Structure
Pendekatan ini memandang bahwa komunikasi dan struktur birokrasi dalam konteks pelaksana kebijakan adalah menjadi variabel penting dalam menggerakkan sumber daya dan disposisi yang dapat diciptakan dan digunakan oleh implementer untuk mempertajam dan mencapai sasaran kebijakan yang diinginkan oleh kebijakan itu sendiri.
Dengan demikian dari berbagai pendekatan analisis kebijakan yang dijelaskan di atas, adalah pendekatan yang dijelaskan oleh Edward III (1980) lebih memadai untuk digunakan dalam menjelaskan fenomena implementasi kebijakan kemitraan SMK di Kota Tarakan dengan penekanan pada proses implementasi kebijakan yang dilakukan di daerah tersebut. Di samping itu pendekatan ini lebih proporsional dan konsisten dalam melihat dan memahami proses kompleks dari kegiatan implementasi kebijakan kemitraan SMK di lokasi penelitian juga didasarkan oleh pertimbangan bahwa konteks implementasi kebijakan tersebut lebih memperhatikan persoalan prosedural implementasi dalam keseluruhan aktivitas implementasi yang ada di dalamnya.
2.3.2. Komponen dalam Implementasi Kebijakan
Suatu kebijakan dapat berjalan dengan baik, paling tidak ada tiga hal menurut Abd. Wahab (1997) yaitu (1) pemrakarsa kebijaksanaan/pembuat kebijaksanaan (the centre),(2) pejabat-pejabat pelaksana di lapangan (the periphery),(3). Aktor-aktor perorangan di luar badan–badan pemerintahan kepada siapa program itu ditujukan yakni kelompok sasaran (target group), yaitu meliputi pimpinan lembaga pendidikan, pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik (masyarakat).
Menurut Lineberry (1978) dalam kaitannya dengan persoalan komponen implementasi kebijakan menyatakan bahwa setidak-tidaknya proses implementasi memiliki elemen (komponen) sebagai berikut:
a. Perumusan dan penempatan lembaga baru untuk mengimplementasikan suatu kebijakan baru atau proses penyusunan tanggungjawab dalam kaitannya dengan implementasi bagi kelembagaan dan personil yang ada saat ini.
b. Adanya proses terjemahan sasaran legislatif dan berbagai tujuannya ke dalam aturan pelaksanaannya; pengembangan pedoman untuk menggunakan alat implementasi yang ada selama ini.
c. Koordinasi sumber daya dan berbagai macam pengeluaran lembaga yang terkait dengan upaya implementasi untuk kepentingan kelompok sasaran kebijakan (target groups); pengembangan devisi tanggungjawab ke dalam lembaga dan agen-agen yang terkait.
d. Adanya mekanisme alokasi sumber daya yang ada of resources to accomplish policy impacts (alokasi sumber daya guna kesempurnaan dampak kebijakan).
Berdasarkan gambaran di atas dapat dipahami bahwa makna dari adanya komponen dalam implementasi kebijakan publik dimaksudkan sebagai sumber daya dan alat yang diperlukan untuk melaksanakan program implementasi kebijakan publik. Dalam kaitan ini perlu pula dikemukakan pendapat Grindle (1980) yang mengungkap adanya tiga faktor penting yang dapat dimaknai sebagai komponen yang perlu ada dalam proses implementasi kebijakan publik. Komponen tersebut adalah digambarkan seperti rinciannya sebagai berikut:
1. Melakukan rincian berbagai tujuan yang hendak dicapai.
2. Membentuk program kegiatan.
3. Mengalokasikan dana untuk proses pembiayaannya.
Konsep Grindle di atas, jika dikaitkan dengan pendapat Edward III (1980) pada prinsipnya memiliki beberapa kemiripan ditinjau dari aspek komponen yang mesti ada dalam suatu implementasi kebijakan publik. Kalau dalam pandangan Edward III menjelaskan perlu adanya komponen alokasi dana dalam proses implementasi kebijakan, maka Edward III merujuk perlunya pemanfaatan sumber daya kebijakan untuk melaksanakan dan mengimplementasikan kebijakan publik. Demikian pula konsepsi tentang rincian tugas dan program kegiatan pada prinsipnya relevan dengan konsep komunikasi dan juga disposisi serta struktur birokrasi dalam kajian Edward III.
2.3.3. Model Implementasi Kebijakan Top-Down
Van Meter dan Van Horn kemudian berusaha untuk membuat tipologi kebijakan menurut (1) jumlah masing masing perubahan yang akan dihasilkan dan (2) jangkauan atau lingkup kesepakatan terhadap tujuan di antara pihak pihak yang terlibat dalam proses implementasi. Alasan dikemukakannya hal tersebut ialah bahwa proses implementasi itu akan dipengaruhi oleh dimensi dimensi kebijakan semacam itu, dalam pengertian bahwa implementasi kebanyakan berhasil apabila perubahan yang dikehendaki relatif sedikit, sementara kesepakatan terhadap tujuan, dari mereka yang mengoperasikan program di lapangan relatif tinggi.
Hal lain yang dikemukakan kedua ahli di atas ialah bahwa jalan yang menghubungkan antara kebijakan dan prestasi kerja dipisahkan oleh sejumlah variabel bebas (independent variable) yang saling berkaitan. Variabel variabel tersebut adalah (1) ukuran dan tujuan kebijakan, (2) sumber sumber kebijakan, (3) ciri ciri atau sifat badan/instansi pelaksana,(4) komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan kegiatan pelaksanaan,(5) sikap para pelaksana,dan (6) lingkungan ekonomi sosial dan politik. Model proses implementasi dari Van Meter dan Van Horn dapat dilihat pada gambar 3 di bawah ini:
Selain Van Horn dan Van Meter, model top-down dikemukakan juga oleh Sabatier dan Mazmanian (dalam Stillman 1988) dan Hill (1993) kedua tokoh ini meninjau implementasi dari kerangka analisisnya. Model top down yang dikemukakan oleh kedua ahli ini dikenal dan dianggap sebagai salah satu model top down paling maju, karena keduanya telah mencoba mensintesiskan ide ide dari pencetus teori model top down dan bottom-up menjadi enam kondisi bagi implementasi yang efektif, yaitu: (1) standar evaluasi dan sumber yang legal, (2) teori kausal yang memadai, sehingga menjamin bahwa kebijakan memiliki teori yang akurat bagaimana melakukan perubahan, (3) integrasi organisasi pelaksana, guna mengupayakan kepatuhan bagi pelaksana kebijakan dan kelompok sasara, (4) para implementer mempunyai komitmen dan keterampilan dalam menerapkan kebebasan yang dimilikinya guna mewujudkan tujuan kebijakan,(5) dukungan dari kelompok-kelompok kepentingan dan kekuatan dalam hal ini legislatif dan eksekutif, dan (6) perubahan kondisi sosial ekonomi yang tidak menghilangkan dukungan kelompok dan kekuasaan, atau memperlemah teori kausal yang mendukung kebijakan tersebut.
Adapun model implementasi kebijakan dimaksud seperti gambar 5 berikut:
Gambar 4. Model proses implementasi kebijakan dari Mazmanian
dan Sabatier (dalam Wibawa ,1994)
Model implementasi yang dikemukakan Sabatier dan Mazmanian pada dasarnya tidaklah jauh berbeda dengan model implementasi top-down yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn (1975); Hood (1976);Gun (1978) dan Grindle (1980) yaitu dalam hal perhatiannya terhadap kebijakan dan lingkungan kebijakan. Perbedaannya, pemikiran dari Sabatier dan Mazmanian ini menganggap bahwa suatu implementasi akan efektif apabila birokrasi pelaksananya memenuhi apa yang telah digariskan oleh peraturan (petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis).
Di samping itu model ini juga memandang bahwa implementasi kebijakan dapat berjalan secara mekanis atau linier, maka penekanannya terpusat pada koordinasi, kompliansi, dan kontrol yang efektif yang mengabaikan manusia sebagai target group dan juga peran dari aktor lain. Di sinilah kelemahan pendekatan Mazmanian dan Sabatier tersebut dalam menjelaskan proses implementasi yang terjadi jika dibandingkan dengan model yang digunakan oleh Edward III, melalui analisis faktor komunikasi, struktur birokrasi, sumber daya dan disposisi yang dimiliki oleh masing-masing pelaksana program
2.3.4. Pendekatan Implementasi Kebijakan
2.3.4.1. Pendekatan Politik
Istilah politik yang digunakan pada pola pendekatan ini adalah mengacu pada pola-pola kekuasaan dan pengaruh di antara dan yang terjadi dalam organisasi birokrasi. Asumsi dasar dari pendekatan ini adalah meskipun seperti telah dibahas dalam penjelasan implementasi adalah tidak terlepas dari proses kekuasaan yang terjadi dalam keseluruhan proses kebijakan publik, seperti dicontohkan adanya beberapa kelompok penentang kebijakan yang berusaha untuk memblokir usaha dari berbagai pendukung kebijakan yang ada yang serta-merta dapat menjadi faktor penghambat dalam proses pelaksanaan suatu kebijakan publik. Rhodes, (dalam Abdul wahab ,2004).
Dengan demikian, keberhasilan dan kegagalan suatu kebijakan publik pada akhirnya akan sangat bergantung pada kesediaan dan kemampuan berbagai kelompok yang dominan dan berpengaruh (atau terdiri dari berbagai koalisi kepentingan) untuk memaksakan kehendak mereka. Dalam kondisi tertentu distribusi kekuasaan mungkin dapat pula menimbulkan kemacetan pada saat implementasi kebijakan, walaupun sebenarnya kebijakan publik secara formal telah disahkan.
2.3.4.2. Pendekatan Struktural
Pemanfaatan pendekatan struktural ini banyak mendapat kontribusi hasil pemikiran dari studi dan ahli organisasi yang mengesahkan pada pentingnya mempelajari arus dan pola serta mekanisme organisasi dalam menjelaskan fenomena implementasi kebijakan publik dalam pendekatan ini diketengahkan bahwa implementasi akan membutuhkan pendekatan yang lebih adaptif, proses pembuatan kebijakan secara keseluruhan menjadi sangat linier, dan hubungan antara kebijakan dan implementasi akan mendekati apa yang dinyatakan oleh Barret dan Fudge (1981) sebagai urutan Policy – Action – Policy continuum.
Secara umum dapat diungkap melalui pendekatan ini bahwa struktur yang bersifat “organis” nampaknya amat relevan untuk situasi implementasi di mana kita perlu untuk merancang bangun berbagai struktur yang mampu melaksanakan suatu kebijakan publik yang senantiasa berubah bila dibandingkan dengan melakukan rancangan terhadap suatu struktur khusus yang sekali bangun langsung diimplementasikan
2.3.4.3. Pendekatan Prosedural dan Managerial
Memiliki struktur yang relevan terhadap proses implementasi kebijakan publik barangkali kurang begitu penting bila dibandingkan dengan upaya untuk mengembangkan proses dan prosedur yang tepat, termasuk dalam hal ini adalah proses dan prosedur managerial beserta berbagai teknik dan metode yang ada. Dalam hal ini prosedur yang dimaksud adalah di antaranya yang terkait dengan proses penjadwalan (scheduling), perencanaan (planning) dan pengawasan (controlling) kebijakan publik.
Bentuk dan wujud dari pendekatan yang bersifat managerial ini di antaranya dapat dilihat pada Perencanaan Jaringan Kerja dan Pengawasan (Network Planning and Control) atau seringkali diistilahkan dengan NPC. Pendekatan ini menggambarkan suatu kerangka kerja dalam mana proyek dapat direncanakan dan proses implementasinya dapat diawasi dengan cara mengidentifikasi berbagai tugas yang harus diselesaikan, urutan logis pelaksanaannya di mana tugas itu harus diselesaikan.
2.3.4.4. Pendekatan Keprilakuan (Behavioral Approach)
Penerapan analisis keperilakuan (behavioral analysis) pada berbagai masalah manajemen yang paling terkenal adalah apa yang seringkali disebut oleh para penganut aliran organisasi sebagai “organizational development“ atau pengembangan organisasi. Pendekatan ini adalah suatu penekanan pada proses untuk menimbulkan berbagai perubahan yang diinginkan dalam suatu organisasi melalui penerapan ilmu keprilakuan (Eddy, 1981). Di samping itu, pengembangan organisasi juga merupakan salah satu bentuk konsultasi manajemen di mana seorang konsultan bertindak selaku agen perubahan untuk mempengaruhi seluruh budaya organisasi yang ada termasuk pada dimensi sikap dan perilaku dari pegawai yang menduduki posisi kunci.
Berdasarkan beberapa pendekatan dalam studi implementasi seperti dijelaskan di atas, maka peneliti menggunakan pendekatan prosedural dan managerial, meskipun ketiga pendekatan lainnya masih tetap diperhatikan sepanjang di lapangan ditemukan kasus yang dapat dijelaskan melalui pendekatan tersebut.
Pendekatan ini sesuai dengan konsepnya selalu dapat menjelaskan fenomena implementasi dari sisi proses aktivitas dan prosedur yang harus dilaluinya untuk dapat mencapai sasaran implementasi kebijakan publik. Berkaitan dengan itu, bahwa fenomena kebijakan kemitraan SMK di Kota Tarakan diasumsikan banyak dipengaruhi oleh proses dan prosedur serta mekanisme yang diperlukan untuk kepentingan pelaksanaan kebijakan tersebut. Pendekatan prosedural dan managerial pada intinya juga terkait dengan teori dan model implementasi kebijakan publik yang diungkap oleh Mazmanian dan Sabatier yang inti pandangannya bahwa implementasi kebijakan publik sangat ditentukan oleh jalur kontrol serta prosedur yang harus diperhatikan agar kebijakan publik dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya.
2.4. Faktor–Faktor pendukung dan penghambat yang Mempengaruhi Proses Implementasi Kebijakan Publik
Kebijakan apapun bentuknya sebenarnya mengandung resiko untuk gagal. Hoogwood dan Gunn (dalam Hill,1993) membagi pengertian kegagalan kebijakan (policy failure) ke dalam dua kategori, yaitu non implementation (tidak terimplementasikan) dan unsuccesful implementation (implementasi yang tidak berhasil). Tidak terimplementasikan mengandung arti bahwa suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, mungkin karena pihak pihak yang terlibat di dalam pelaksanaannya tidak mau bekerja sama, atau mereka telah bekerja secara tidak efisien, bekerja setengah hati atau karena mereka tidak sepenuhnya menguasai permasalahan, atau permasalahan yang dibuat di luar jangkauan kekuasaannya, sehingga betapapun gigih usaha mereka, hambatan-hambatan yang ada tidak sanggup mereka tanggulangi. Akibatnya implementasi yang efektif sukar dipenuhi.
Salah satu tolok ukur keberhasilan suatu kebijakan terletak pada proses implementasinya. Dan tidak berlebihan jika dikatakan implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan (Weimer, 1998; Jones, 1996). Namun demikian, bukan berarti implementasi kebijakan terpisah dengan formulasinya, melainkan keberhasilan suatu kebijakan sangat tergantung pada tatanan kebijakan itu sendiri (macro policy dan micro policy).
2.4.1. Faktor Pendukung
Hogwood dan Gunn (dalam Hill , 1993) lebih lanjut menyatakan bahwa untuk dapat mengimplementasikan suatu kebijakan secara sempurna (perfect implementation) maka diperlukan beberapa kondisi atau persyaratan tertentu sebagai berikut:
1) kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan/instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan/ kendala yang serius; 2) untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber yang cukup memadai; 3) perpaduan sumber sumber yang diperlukan benar benar tersedia; 4) kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang andal; 5) hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya; 6) hubungan saling ketergantungan harus kecil; 7) pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan; 8) tugas-tugas dirinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat; 9) komunikasi dan koordinasi yang sempurna; dan 10) pihak pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna).
Menurut Hood (dalam Islamy 2001) bahwa implementasi kebijakan sebagai administrasi yang sempurna sehingga dapat diklasifikasikan; (a) organisasi pelaksana harus dibuat menyerupai organisasi militer dengan hanya satu garis komando dan kewenangan yang jelas, (b) semua norma harus dipaksakan berlakunya dan harus sesuai dengan tujuan yang ditetapkan sebelumnya, (c) semua pegawai harus mau melaksanakan tugas sebagaimana yang telah diperintahkan, (d) harus ada komunikasi yang sempurna baik antara organisasi/unit-unit yang ada di dalam maupun luar yang terlibat, dan (e) tiadanya tekanan waktu.
Hal yang sama juga diungkap oleh Islamy (1997) mengatakan bahwa suatu kebijakan negara akan menjadi efektif bila dilaksanakan dan mempunyai dampak positif bagi anggota-anggota masyarakat. Dengan kata lain tindakan atau perbuatan manusia yang menjadi anggota masyarakat bersesuaian dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah atau negara. Dengan demikian, jika mereka tidak berbuat atau bertindak sesuai dengan keinginan pemerintah/negara itu, maka kebijakan negara menjadi tidak efektif.
2.4.2. Faktor Penghambat
1) Dengan demikian biasanya kebijakan yang memiliki resiko kegagalan implementasi kebijakan tidak selalu dapat dihindari oleh siapapun dan organisasi manapun. Abdul Wahab (1997) mengemukakan resiko kegagalan implementasi kebijakan dapat ditelusuri pada tiga wilayah kerja (1) pelaksanaannya yang jelek (bad execufion), (2) kebijaksanaan sendiri memang jelek (bad policy), dan (3) kebijaksanaan itu memang bernasib jelek (bad luck).
1) Pelaksanaan jelek (bad execution).
Pelaksanaan kebijakan yang jelek disebut juga kegagalan implementasi (implementation failure) (Abdul Wahab, 2001). Dalam praktek biasanya disebabkan antara lain karena ketidakmampuan SDM seperti disinyalir (Pusdiklat Spimnas ,2001).
2) Kebijaksanaannya yang jelek (bad policy)
Kebijakan yang jelek (bad policy) menurut Abdul Wahab (2001), disebut juga kegagalan kebijakan (policy failure). Kegagalan demikian lebih disebabkan kurangnya pengetahuan, keterampilan pemahaman pembuat kebijakan (Smith, 2003) atas berbagai kebutuhan yang menjadi tuntutan publik. Lazimnya, kebijakan demikian kurang didukung informasi (Dunn, 2000), hasil penelitian atau survai atas berbagai kebutuhan yang menjadi tuntutan publik (needs & demands public). Dalam kaitan ini Islamy (2001) mengemukakan bahwa kebijakan demikian seringkali harus dihapus disesuaikan dengan tuntutan tuntutan baru (new demands) atau melalui negosiasi secara langsung dengan masyarakat yang kena dampak maupun dengan policy stakeholder (Pusdiklat Spimnas, 2001).
3) Kebijaksanaan bernasib jelek (bad luck)
Kebijakan bernasib jelek (bad luck) biasanya berlangsung secara kondisional dan temporer. Seperti dikemukakan Islamy (2001) bahwa para pembuat maupun pelaksana kebijakan publik harus menyiapkan keahlian teknis yang dibutuhkan untuk mampu memprediksi dan meramalkan secara lebih baik dan meyakinkan konsekuensi konsekuensi dari setiap alternatif kebijakan yang dipilihnya. Alvin Toffler (dalam Pradiansyah 2002) menyebut masa depan sebagai "terra incognita", yaitu daerah yang tidak dikenal. Robert Heilbroner (dalam Tilaar,1997) mengatakan: Masa depan atau esok hari hanya dapat dibayangkan dan tidak dapat dipastikan. Masa depan tidak dapat diramalkan. Manusia hanya dapat mengontrol secara efektif kekuatan kekuatan yang membentuk masa depan pada hari ini
2.5. Dampak Implementasi Kebijakan
Dampak kebijakan merupakan salah satu dari lingkup studi analisis kebijakan dan telaah mengenai dampak atau evaluasi kebijakan yaitu dimaksudkan untuk mengkaji akibat-akibat suatu kebijaksanaan, atau dengan kata lain untuk mencari jawaban apa yang terjadi sebagai akibat dari implementasi kebijaksanaan membahas "hubungan antara cara-cara yang digunakan dan hasil yang dicapai
Dampak kebijakan di sini adalah seluruh dampak pada kondisi dunia nyata (the impact of a policy is all its on real-world conditions) Thomas R. Dye, (dalam Abdul Wahab (1997). Menurut Thomas R. Dye (1981) yang termasuk dampak kebijakan adalah; (1) the impact on the target situations or group, (2) the impact on situations or group other than the target ("spilover effect"), (3) its impact on future as well as immediate conditions, (4) its direct cost in term of resources devote to the program, and (5) its indirect cost, including loss of opportunities to do other things
Sedangkan yang dimaksud dengan policy output adalah apa-apa yang telah dihasilkan dengan adanya program proses perumusan kebijaksanaan (Islamy, 1994). Dari pengertian ini maka dampak mengacu pada adanya perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh suatu implementasi kebijakan. Setiap kebijakan yang telah dibuat dan dilaksanakan, menurut Islamy (1997) akan membawa dampak tertentu terhadap kelompok sasaran, baik yang positif (intended) maupun yang negatif (unintended).
Untuk menilai dampak suatu kebijakan atau implementasi kebijakan publik, maka Patton dan Sawicki (1986) memberikan petunjuk analisis dengan beberapa karakteristik dan model analisisnya, seperti analisis 1). Before-and-after comparisons, 2). With and without comparisons, 3). Actual -versus-planned performance, 4). Experimental models, 5). Quasi-experimental models, 6). Cost-Oriented approached.
Dengan demikian, konteks implementasi kebijakan kemitraan SMK yang sebelumnya dapat memberikan gambaran bahwa kontribusi SMK terhadap pengangguran di Kota Tarakan cukup signifikan dilihat dari sisi besaran siswa atau alumni yang tidak terserap pada lapangan kerja yang relevan. Pemanfaatan pendekatan before and-after comparison berdasarkan penjelasan Patton dan Sawicki (1986) sebelumnya dalam kaitan ini dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena dampak yang dicapai dari hasil implementasi kebijakan kemitraan SMK, baik dampak itu berkaitan dengan hasil implementasi kebijakan seperti menurunnya mutu lulusan SMK, yang kemudian menyebabkan angka pengangguran meningkat, maupun secara tidak langsung terhadap proporsi angka penyerapan tenaga kerja di Kota Tarakan.
Di samping itu untuk memahami seberapa besar dampak implementasi kebijakan yang dilakukan adalah penelitian ini menggunakan konsep yang mengacu pada pandangan Thomas R. Dye (1981) seperti dijelaskan di atas, bahwa konsep dampak implementasi yang seringkali dilakukan dalam penelitian kebijakan adalah melihat seberapa dampak yang ditimbulkan baik potensial maupun riil terhadap kelompok sasaran kebijakan (target group) yang tergolong pada bagian pertama dari empat dimensi dampak implementasi kebijakan yang dilakukan selama kurung waktu tertentu.
2.6. Strategi Kebijakan Pengembangan Pendidikan di Era Otonomi Daerah
2.6.1. Kebijakan Otonomi Daerah
Pemberlakuan Undang-undang otonomi daerah yang dimulai dengan diterpakannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan kemudian disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dengan diserahkannya sejumlah kewenangan yang semula menjadi urusan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, mengakibatkan terjadinya perubahan dalam berbagai aspek pembangunan di Indonesia termasuk juga dalam aspek pendidikan.
Jumlah kewenangan yang begitu besar tersebut membawa perubahan struktur dalam pengelolaan pendidikan, dan berlaku juga pada penentuan stake holders di dalamnya. Jika pada masa sebelumnya diberlakukan otonomi daerah, stakeholders pendidikan sepenuhnya berada ditangan aparat pemerintah pusat, maka di era otonomi dearah pendidikan sekarang ini peranan stakeholders akan tersebar kepada berbagai pihak yang berkepentingan ( Hasbullah,2006)
2.6.2. Kebijakan Desentralisasi Pendidikan
Desentarlisasi pendidikan merupakan political choice yang dimabil oleh pemerintah puast ( Dun,2000), desentarlisasi diartikan sebagai penyerahan urusan pemerintah kepada pemerintah daerah sehingga wewenang pengelolaan pendidikan dasar dan menengah sepenuhnya menjadi tanggungjawab daerah ( PP No.25/2000 tentang pelimpahan kewenangan pemerintah kepada pemerintah daerah) dimana memberi kewenangan dalam menentukan kebijakan perencanaan, pelaksanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi maupun yang menyangkut segi-segi pembiayaan dan pengelolaan personalia (staf)
Kebijakan desentralisasi adalah sebagai salah satu instrumen yang diharapkan mampu melenyapkan berbagai persoalan mendasar, seperti disparitas pendapatan, pelayanan pendidikan dibawah standar ( Abdul wahab,2002).
Pendapat senada yang dikemukakan oleh Smith ( dalam Abdul Wahab,2002) bahwa kebijakan desentralisasi merupakan indikator dan prasyarat penting bagi dimungkinkan proses pembangunan di bidang sosial, pendidikan, ekonomi, politik yang demokratis. Dengan demikian, desentarlisasi dapat diajdikan rujukan untuk meningkatkan dan memperkokoh mutu pendidikan (Osbon & Plastrik,1996; dan Pollit, Birchall & Putnam,1998;).
2.6.3 Kebijakan Otonomi Pendidikan
Di dalam koridor reformasi, otonomi pendidikan mempunyai dua arti menurut Aronowitz (dalam Tilaar 2002), yaitu pertama, menata kembali sistem pendidikan nasional yang sentralistis menuju kepada suatu sistem yang memberikan kesempatan luas pada inisiatif masyarakat. Otonomi pendidikan juga berarti demokratisasi sistem pendidikan yang mengembangkan hak dan kewajiban masyarakat untuk mengurus pendidikannya; Kedua, otonomi pendidikan bukan berarti melepas segala ikatan untuk membangun negara kesatuan Republik Indonesia, justru memperkuat dasar-dasar pendidikan pada tingkat grass-root untuk membentuk suatu masyarakat bersatu berdasarkan kebhinekaan, sehingga masyarakat langsung bertanggung jawab atas kekerabatan dan proses pendidikan yang dimiliki, karena pendidikan dikembalikan kepada the stakeholders
Sementara itu menurut Hasbullah (2006) bahwa penyelenggaraan pendidikan yang bermutu dan semakin merata akan menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Efesiensi pendidikan menuntut pengelolaan yang semakin terdesentralisasikan, aparatur pendidikan daerah harus semakin mampu mengelola dan melaksanakan teknis kependidikan secara otonomi. Hal ini diperlukan untuk membangun masyarakat di daerah masing-masing ke arah kemandirian untuk mencapai kehidupan yang semakin merata dan sejahtera.
2.6.4 Kebijakan Peningkatan Mutu dan Relevansi Lulusan SMK di Era Otonomi Daerah
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 kemudian direvisi dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan undang-undang ini lebih lazim disebut Undang-undang otonomi derah yang meletakkan kewenangan sebagian besar pemerintahan dibidang pendidikan yang selama ini dikelola oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.( PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang pembagian kewenagan pemerintah kepada pemerintah daerah).
Hal ini terlihat dalam kenyataan bahwa berbagai program investasi perluasan akses pendidikan dan peningkatan mutu yang telah dilakukan belum dapat mencapai hasil seperti yang diharapkan. Karena itu, otonomi (sistem dan pengelolaan pendidikan merupakan suatu keharusan). Menurut Grisay and Mahlck (dalam Puslitjak Depdiknas, 2002 ) menyatakan bahwa :
Pendidikan dikatakan bermutu apabila produk atau hasil dari pendidikan yang diselenggarakan ( ilmu pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai yang dikuasai siswa) sudah memenuhi standar yang ditetapkan dalam tujuan pendidikan dan hasil tersebut sudah sesuai dengan kondisi masyarakat dan lingkungan serta kebutuhan
Sejalan dengan pandangan ini dinyatakan oleh Salmon ( 1987) bahwa suatu program atau lembaga pendidikan disebut memiliki mutu yang lebih tinggi apabila program atau lembaga tersebut memiliki dampak positif yang lebih besar terhadp siswa dan masyarakat secara umum
2.6.4.1. Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi
Pendidikan merupakan proses yang sangat menentukan untuk perkembangan individu dan perkembangan masyarakat. Kemajuan suatu masyarakat dapat dilihat dari pengembangan pedidikannya. Kurikulum berfungsi sebagai alat dalam proses pendidikan disekolah , didalamnya bukan hanya berisi tentang arah dan tujuan yang ingin dicapai, akan tetapi juga menyangkut isi, pedoman dalam menyusun presedur atau strategi mencapai tujuan serta, cara mengevaluasi keberhasilan pencapaian tujuan itu ( Sanjaya, 2005)
Kurikulum dapat diartikan secara sempit dan luas, pada jaman yunani kuno kurikulum diartikan secara sempit yakni sebagai kumpulan mata pelajaran yang harus disampaikan guru atau dipelajari siswa ( Nana Syaodih dalam Riyanto,1998). Kemudian Taba (dalam Riyanto, 1998) mendifinisikan kurikulum sebagai “ Plan for learning “, Demikian pula juga menurut Gleny G.Unruh dan Adolph Unruh ( dalam Riayntoi,1998) kurikulum sebagai suatu rencana tentang tentang tujuan dan isi dari apa yang dipelajari, dan didalamnya terdapat antisipasi hasil-hasil pembelajaran.
Sejalan dengan pandangan tersebut, Sidi (2001) menayatakan bahwa kurikulum nasional dikembangkan berdasarkan kompetensi dasar ( competency-based curriculum), dalam konsep ini kurikulum disusun berdasarkan kemampuan dasar minimal yang harus dikuasai seseorang peserta didik setelah yang bersangkutan menyelesaikan satu unit pelajaran,satu satuan waktu dan atau satuan pendidikan.
Maka dengan kebijakan kemitaraan pendidikan kejuruan yang dilaksanakan saat ini sangat relevan dengan ketiga komponen tersebut dengan melakukan sinkronisasi kurikulum antara SMK dengan dunia usaha industri (Dunia kerja) sehingga program yang pembelajaran yang dilakukan disekolah senantiasa memenuhi tuntutan dunia kerja, disamping itu kurikulum juga memuat bagaiamana menciptakan lulusan yang tidak hanya berorientasi pada lulusan SMK yang siap bekerja tetapi lulusan SMK yang siap menciptakan lapangan kerja, maka materi pembelajaran berbasis kewirausahaan sangat perlu diberikan pada semua siswa
2.6.4.2. Manajemen Pendidikan
Perbaikan manajemen pendidikan diarahkan untuk lebih memberdayakan sekolah sebagai unit pelaksana terdepan dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah, hal ini dimaksudkan agar sekolah lebih mandiri dan bersikap kreatif, dapat mengembangkan iklim kompetitif antar sekolah diwilayahnya, serta bertanggungjawab terhadap stakeholders pendidikan didaerah, khususnya orang tua dan masyarakat yang di era otonomi ini tergabung dalam komite sekolah dan dewan pendidikan.
Menurut Sidi (2001) bahwa dalam pelaksanaannya, manajemen pendidikan harus lebih terbuka , accountable dan mengoptimalkan partisipasi orangtua dan masyarakat, serta dapat mengelola semua sumber daya yang tersedia disekolah dan lingkungannya untuk digunkan seluas-luasnya bagi peningkatan prestasi siswa dan mutu pendidikan.
2.6.4.3 Sarana dan Prasarana Pendidikan
Standar pelayanan minimal di bidang pendidikan adalah tolak ukur kinerja pelayanan pendidikan yang diselenggarakan oleh daerah dan pemerintah daerah berkewajiban untuk memenuhinya sebagaimana diatur dalam Kepmendiknas RI Nomor 129a/U/2004 tentang standar pelayanan minimal bidang pendidikan khususnya pasal 4 poin 2 tentang pendidikan SMK yaitu 90 persen sekolah memiliki sarana prasarana minimal sesuai dengan standar teknis yang ditetapkan secara nasional,
Sarana prasarana merupakan unsur penting dalam penyelenggaraan pendidikan, karena dikembangkan secara integral berdasar acuan standar kualitas baku diantaranya ruang kelas, ruang praktek, laboratorium, perpustakaan, gedung admnistrasi, buku pelajaran, alat dan media pendidikan dikembangkan dalam satu kesatuan yang untuh dan sesuai standar pelayanan minimal pendidikan.
2.6.4.4. Tenaga Kependidikan
Pengembangan tenaga kependidikan sebagai unsur dominan dalam proses belajar mengajar diarahkan untuk meningkatkan kualifaikasi, kompotensi dan profesionalisme. Karena itu, semua upaya peningkatan kinerja tenaga kependidikan dilakukan melalui lembaga-lembaga profesional dan atau perguruan tinggi yang memenuhi syarat
Hal ini sejalan dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005, pasal 8 yang menyatakan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akdemik, kompetensi, sertfikasi pendidik, sehat jasmani dan rohani serta memiliki kemapuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Dengan demikian uapaya peningkatan mutu tenaga kerja kependidikan ini bisa sesuai dengan konsep manajemen berbasis sekolah (Sidi,2001).
2.6.4.5. Pembiayaan Pendidikan (Dana Operasional)
Salah satu faktor yang memberikan pengaruh terhadap mutu pendidikan dan relevansi pendidikan adalah dana operasional atau anggaran pendidikan yang memadai sebagiamana Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional mengamanatkan untuk anggaran pendidikan di APBN dan APBD dilur gaji dan pendidikan kedinasan minimal 20 persen , ternyata ini sangat sulit dipahami oleh berbagai pihak terutama para eksekutif dan legislatif sehingga masih terus menajdi perdebatan.
Menurut Hasbullah ( 2006) bahwa pembiyaan pendidikan atau sekolah adalah kegiatan mendapatkan biaya serta mengelola anggaran pendapatan dan belanja pendidikan. Kegiatan ini dimulai dari perencanaan biaya, usaha mendaptkan dana yang mendukung rencana itu, penggunaan, serta pengawasan penggunaan anggaran yang sudah ditetapkan.
2.6.4.6. Peserta Didik ( Siswa )
Pengembangan peserta didik SMK harus mengacu pada kerangka kebutuhan dunia kerja karena itu siswa harus dibekali dengan kompetensi – kompetensi yang lebih luwes yang mencakup kompetensi kunci dan kompetensi pada bidang keahlian tertentu serta kompetensi kewirausahaan.
Selanjutnya di era otonomi daerah ini, proses rekrutmen (penerimaan) peserta didik pada SMK, pelaksanaan rekrutmen (penerimaan) peserta didik harus lebih awal melibatkan dunia usaha industri (dunia kerja) sebagai tim seleksi siswa baru, demikian juga ketika melakukan penjurusan sehingga dunia usaha merasa sejak dini mengatahui kondisi awal siswa dan ikut bertanggungjawab terhadap keberadaan siswa selama berada dibangku sekolah. Keikut sertaan dunia usaha indsutri ini sampai dengan siswa lulus.
2.6.5 Dunia Usaha Indudstri ( Dunia Kerja)
2.6.5.1. Konsep Dunia Usaha Industri (Dunia Kerja ) sebagai Wadah Praktek Siswa Sekolah Menengah Kejuruan ( SMK)
Dunia usaha industri merupakan salah satu elemen yang penting dalam dunia ketenagakerjaan, hal ini tidak bisa dipungkiri karena dunia usaha industri merupakan salah satu penyerap tenaga kerja yang cukup dominan sehingga perlu adanya penyesuian antara dunia usaha industri dengan dunia pendidikan sebagai sumber penghasil tenaga kerja.
Chang (1994) mengemukakan bahwa industri adalah tempat yang paling tepat bagi siswa-siswa SMK untuk melatih kemampuan penyesuaian diri terhadap lapangan kerja. Chang lebih lanjut mengemukakan bahwa industri atau lapangan kerja hendaknya sebagai bagian dari tempat pendidikan keterampilan. Dunia usaha/industri dalam penyelenggaraan kemitraan SMK dengan dunia usaha/industri menjadi penting, mengingat siswa belajar praktek langsung, dan siswa memperoleh pengalaman kerja. Pengalaman bekerja di industri dilihat sebagai sebuah laboratorium / bengkel lapangan.
Hasil penelitian Pakpahan (1995) mengatakan bahwa kendala utama dalam pelaksanaan PSG adalah bagaimana melibatkan dunia usaha / industri dan dibutuhkan keterlibatan atau komitmen dari pihak dunia usaha/industri. Jadi salah satu aspek yang sangat esensial dalam pelaksanaan PSG pada pendidikan kejuruan adalah komitmen industri membantu pendidikan kejuruan . Kesuksesan PSG sangat dipengaruhi oleh keterliba tan pihak industri.
2.6.5.2. Kegiatan Praktek di Dunia usaha/Industri
Macam pekerjaan praktek yang diterima oleh siswa di industri merupakan salah satu komponen yang paling menentukan kualitas pembelajaran pada PSG (Kiel,1990; Berryamen,1993). Selanjutnya Kiel (1980) dalam studinya menemukan bahwa karakteristik dari pekerjaan yang diberikan kepada siswa, merupakan variabel yang sangat vital dalam menentukan kesuksesan dalam suatu pendidikan kejuruan. Berrymen (1993) lebih lanjut mengungkapkan pentingnya pekerjaan semakin berkurang bila tugas praktek yang diberikan jelas dan rinci.
Schoenfelt ,1992 (dalam Riyanto,1998) menyatakan bahwa kesuksesan dual system di German sangat dipengaruhi oleh hubungan erat antara pelajaran teori yang bersifat akademis di sekolah dan pengalaman praktek yang diberikan di industri. Menurut Bailey (1993) bahwa industri yang berbeda mungkin memberikan pengalaman belajar yang tidak seragam kepada siswa. Demikian pula satu industri mungkin memberikan pengalaman praktek yang tidak seragam kepada siswa. Keragaman tersebut terjadi karena penempatan siswa pada pekerjaan produksi yang beragam baik pada satu industri maupun antara industri.
2.6.6. Partisipasi Masyarakat
Sebagaimana amanah Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 54 ayat 1 menyatakan bahwa peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaran dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan
Masyarakat dan orangtua sudah saatnya diikut sertakan dalam pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sekolah melalui komite sekolah yang beranggotakan unsur perwakilan orangtua, tokoh masyarakat, LSM, guru, dan siswa yang bertugas sebagai forum pengambil keputusan bersama sekolah dan masyarakat dalam perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi program kerja yang dilakukan oleh sekolah ( Sidi,2001)
Di era otonomi daerah ini peran serta masyarakat dalam pendidikan sangat diharapkan utamanya dalam meningkatan mutu pelayanan pendidikan sebagaimana diungkap dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 56 ayat 1 bahwa masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengwasan dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah.
2.7. Implementasi Kebijakan Pendidikan
Dengan diberlakukannya otonomi daerah memberi kebebasan daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri bukan berarti bahwa kebijakan pendidikan pada level nasional terputus dengan kebijakan lokal daerah. Kebijakan nasional tetap menjadi pijakan dan dasar acuan dalam perumusan implementasi kebijakan pada tingkat daerah, lokal, dan sekolah terutama bagi negara yang berbentuk kesatuan. Maka upaya pembangunan pendidikan nasional diarahkan untuk mengikuti, mengimbangi, dan mampu memanfaatkan peluang yang dihasilkan oleh proses globalisasi dengan mengarahkan semua potensi masyarakat, pemerintah, dan negara untuk menghasilkan proses dan produksi pendidikan nasional yang berkualitas.
Untuk itu sangat diperlukan adanya perbaikan sistem dan perencanaan pendidikan bukan berarti pendidikan harus” siap pakai “seperti banyak didiskusikan pada akhir-akhir ini, yang dimaksud dengan “term” siap pakai melainkan lembaga pendidikan di masing-masing daerah memberikan bekal kepada peserta didiknya agar dapat memiliki kemampuan “menyesuaikan diri “ (siap suai, ready for orientation) secara cepat dalam menghadapi persoalan rutin di bidang yang dipelajarinya dan mengembangkan cara baru untuk mengatasi beberapa persoalan teknis yang sudah berkembang di lapangan (Salladien, 1996 ).
Dalam kenyataan, kebijakan pendidikan yang diimplementasikan tidak serta merta diterima oleh guru begitu saja, akan tetapi selalu disaring (filtered). Bahkan guru cenderung melaksanakan hanya bagian bagian yang sesuai dengan perspektif pribadi dan intuisi guru berdasarkan pengalaman dan pemahaman mereka (Smith, 2003). Kemampuan memodifikasi kebijakan merupakan hasil kreatif guru yang terbentuk melalui pendidikan demokratis dan diwujudkan dalam tindakan otonom, maka berdasarkan pandangan tersebut Visi pendidikan harus diarahkan untuk menyelesaikan berbagai masalah serta diarahkan untuk menyesuaiakan terhadap perubahan paradigma.
Berdasarkan berbagai pandangan tersebut maka untuk mengimplementasikan kebijakan pendidikan diperlukan kesesuaian dengan kebutuhan masyarakat , demikian pula untuk mengimplementasikan kebijakan pendidikan kejuruan sangat diperlukan adanya kesesuain dengan kebutuhan dunia kerja atau dunia usaha industri.
2.7.1. Implementasi Pendidikan Dalam Dimensi Human Capital
Pada prinsipnya pendekatan pendidikan dalam jenjang menengah dan pendidikan tinggi senantiasa berkaitan dengan seberapa besar pengeluaran yang dilakukan dengan berapa besar jumlah pengembalian yang dilakukan untuk menciptakan dan mereinvestasi pengeluaran yang diberikannya itu. Vandenberghe (1999) mengungkap bahwa kebijakan pendidikan mestinya mampu menjawab dua permasalahan pokok terkait dengan investasi sumber daya manusia, yaitu: pertama, adalah mengidentifikasi mekanisme alokasi secara optimal pada setiap orang di sekolah-sekolah. Kedua, adalah menyepakati seluruh komponen untuk memahami mekanisme alokasi seperti itu.
Pendidikan kejuruan merupakan bagian dari sistem pendidikan yang mempersiapkan seseorang agar lebih mampu bekerja pada satu kelompok pekerjaan atau satu bidang pekerjaan daripada bidang pekerjaan lainnya (Rupert Evans,1978) . Definisi ini mengandung pengertian bahwa setiap bidang studi adalah pendidikan kejuruan sepanjang bidang studi tersebut dipelajari lebih mendalam daripada bidang studi lainnya dan ke dalam itu dimaksudkan sebagai bekal memasuki dunia kerja.
Di samping itu untuk mencapai sasaran pendidikan dalam perspektif human capital, maka diperlukan beberapa asumsi di antaranya adalah bahwa sistem pendidikan yang berlaku dapat menghasilkan output pendidikan, khususnya lulusan yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja dan masyarakat, baik pengetahuan dan keterampilan maupun sikap dan perilakunya, baik jumlah maupun jenisnya. Di samping itu, sistem dan keadaan perekonomian yang ada dapat memanfaatkan dan mengoptimalkan potensi dan kapasitas keluaran pendidikan tersebut. (Ghozali, 2004).
Dari berbagai pandangan tentang teori human capital seperti dijelaskan sebelumnya dan jika dikaitkan dengan implementasi kebijakan kemitraan SMK, maka dapat disimpulkan bahwa pendekatan pembelajaran melalui kebijakan pendidikan sistem ganda (PSG) dan seluruh proses belajar mengajar yang berlangsung dalam konteks pendidikan SMK selalu diharapkan untuk dapat menghasilkan alumni atau output kebijakan yang positif dan mampu secara minimal memberikan pengembalian modal (return investment) yang dilakukan tatkala mereka berada dalam proses pembelajaran.
2.7.2. Implementasi Kebijakan Pendidikan Kejuruan
Tujuan pendidikan kejuruan adalah membekali siswa agar memiliki kompetensi prilaku dalam bidang kejuruan tertentu sehingga yang bersangkutan mampu bekerja (memiliki kinerja) demi masa depan dan untuk kesejahteraan bangsa. Untuk itu siswa harus dibekali pengetahuan teori dan keterampilan praktis , juga sikap dan pola tingkah laku sosial serta wawasan politik tertentu, itu semua mutlak diperlukan sebagai bekal yang berharga guna meraih sukses dalam rangka memasuki dunia kerja , baik sebagai pekerja di perusahaan ataupun sebagai wirausaha yang mandiri dan untuk menjadi warga masyarakat yang bertanggungjawab (Schiopepers dan patriana,1994)
Pendidikan kejuruan memiliki karakteristik yang berbeda dengan pendidikan umum, ditinjau dari kriteria pendidikan, substansi pelajaran, dan lulusannya. Kriteria yang harus dimiliki oleh pendidikan kejuruan: (1) orientasi pada kinerja individu dalam dunia kerja; (2) Justifikasi khusus pada kebutuhan nyata di lapangan; (3) fokus kurikulum pada aspek-aspek psikomotorik, afektif, dan kognitif; (4) tolok ukur keberhasilan tidak hanya terbatas di sekolah; (5) kepekaan terhadap perkembangan dunia kerja; (6) memerlukan sarana prasarana yang memadai, dan (7) adanya dukungan masyarakat. Financ & Crunkilton (dalam Sonhaji 2000).
Kalau kita kaji Keputusan Mendiknas RI Nomor 122/U/2001 tentang Rencana Strategis Pembangunan Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Tahun 2000-2004 bahwa pendidikan kejuruan dalam upaya peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan kejuruan: (1) melakukan reformasi kurikulum kejuruan agar sesuai dengan tuntutan dunia kerja; (2) melakukan analisis dan pengkajian potensi wilayah sehingga dapat menunjukkan keseimbangan antara kebutuhan dan persediaan tenaga kerja tamatan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) menurut sektor ekonomi jenis okupasi dan status pekerjaan; (3) melakukan penelitian dan kajian secara intensif dan menyeluruh terhadap efektivitas Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), terutama dalam kaitannya dengan tuntutan lapangan kerja akan keterampilan dan keahlian lulusannya, tingkat balikan terhadap pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), serta pemetaan kebutuhan tenaga kerja tingkat menengah yang berorientasi pada pengembangan potensi daerah; (4) untuk peningkatan penyerapan lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) oleh lapangan usaha, akan dilakukan penataan kembali di bidang keahlian di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) agar menghasilkan lulusan yang kompeten dan relevan dengan kebutuhan melalui pengembangan kurikulum dan program pendidikan yang lebih fleksibel sesuai dengan perbedaan karakteristik wilayah tanpa mengabaikan standar kompetensi yang ditentukan secara nasional dan secara bertahap mulai memperhitungkan standar kompetensi regional dan internasional.
2.7.3. Kebijakan Pendidikan Sistem Ganda (PSG)
Pendidikan sistem ganda (PSG) adalah merupakan salah satu strategi pokok dalam rangka operasionalisasi “link and match“ di mana suatu proses pendidikan yang melibatkan sekolah satu sisi dan industri pada sisi lain . Dengan menerapkan pendidikan sistem ganda ini diharapkan kesenjangan kualitas lulusan sekolah teknologi dengan kebutuhan kualitas tenaga kerja oleh industri dapat ditekan. Dewasa ini pendidikan sistem ganda digunakan sebagai salah satu upaya untuk mempersiapkan tenaga-tenaga profesional yang siap pakai sesuai dengan kebutuhan berbagai sektor perekonomian ( Sutrisno ,1996 )
Dalam implementasi perubahan paradigma pendidikan kejuruan diwujudkan dalam suatu model yang disebut Pendidikan Sistem Ganda (PSG) yang merupakan bentuk penyelenggaraan pendidikan keahlian kejuruan, yang memadukan secara sistemik dan sinkron program pendidikan di sekolah dan program belajar melalui kegiatan bekerja langsung pada bidang pekerjaan yang relevan, terarah untuk mencapai penguasaan kemampuan keahlian tertentu (Pakpahan, 1994); Dietrich (1992) mengartikan sistem ganda (dual system) sebagai “to place of learning of equal value and of the same standard are combined together to form a system“. Pandangan ini menggambarkan bahwa sistem ganda merupakan suatu sistem yang mengabungkan dua tempat belajar yang memiliki nilai dan standar yang sama.
Selanjutnya Schipers & Patriana (1994) dan Pakpahan ( 1994 ) menyatakan bahwa sistem ganda merupakan konsep atau model penyelenggaraan pendidikan kejuruan yang perencanaan dan pelaksanaan pendidikan diwujudkan melalui kemitraan antara dunia kerja dan sekolah, dan penyelenggara pendidikannya dilaksanakan sebagian sekolah dan sebagian lagi di industri. Djojonegoro (1999) menyatakan bahwa karakteristik pendidikan sistem ganda sebagai salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan kejuruan , didukung oleh beberapa faktor yang menjadi komponen-komponennya, antara lain institusi pasangan, program pendidikan dan pelatihan bersama, kelembagaan kerjasama, nilai tambah dan jaminan kelangsungan ( Sustainability)
Pendidikan sistem ganda (PSG) dipandang sebagai suatu sistem dan semua komponen yang terlibat menyadari fungsinya masing-masing untuk dapat memaksimalkan fungsi sistem , maka akan tercipta suatu bentuk kerjasama yang permanen antara dunia usaha/industri (DUDI) dan sekolah dengan kesadaran saling menguntungkan dan membutuhkan. Melalui kerjasama tersebut dapat memperoleh output dan outcome yang optimal yaitu terciptanya sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas sesuai kebutuhan masyarakat dan pasar kerja (Anwar, 2004).
Berdasarkan batasan tersebut di atas, maka pendidikan sistem ganda adalah suatu sistem penyelenggaraan pendidikan yang mengintegrasikan program pendidikan di sekolah dengan program penguasaan keahlian (kegiatan praktek) di Dunia Usaha/Industri (DUDI). Jadi ada dua pihak yang sangat berkepentingan dan bersama-sama dalam penyelenggaraan pendidikan, yaitu pihak Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Dunia Usaha/Industri (DUDI) baik negeri maupun swasta yang kedua pihak tersebut bertanggungjawab mulai perencanaan sampai evaluasi dan bahkan sampai kepada kelanjutan tamatannya (Riyanto, 1998).
2.7.3.1. Manfaat Pendidikan Sistem Ganda
Sistem ganda (dual system) merupakan bentuk implementasi kebijakan link and match pada pendidikan kejuruan, di mana sistem ganda ini merupakan suatu sistem pendidikan yang secara langsung melibatkan dunia usaha dan industri sebagai pelaku ekonomi dalam pendidikan kejuruan (Djojonegoro dan Suryadi, 1995) Keterlibatan dunia usaha dan industri pada semua aspek pendidikan meliputi perencanaan, pengembangan kurikulum, penyediaan biaya, sarana prasarana, proses pendidikan, ujian dan penilaian serta penempatan lulusan. Maka dalam pelaksanaan Pendidikan Sistem Ganda (PSG) jika ditinjau dari sudut kemitraan (partnership) SMK dengan dunia usaha dan industri ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh baik SMK maupun dunia usaha dan Industri.
2.8. Konsep dan Model Pendekatan Kemitraan Pendidikan
2.8.1. Konsep Kemitraan
Istilah kemitraan pada pokoknya seringkali digunakan dalam kaitannya dengan kerjasama antar lembaga yang akan melakukan suatu kegiatan kerjasama, maka kemitraan dapat dimaknai sebagai suatu bentuk persekutuan antara dua pihak atau lebih yang membentuk suatu ikatan kerjasama atas dasar kesepakatan dan rasa saling membutuhkan dalam rangka meningkatkan kapasitas dan kapabilitas di suatu bidang usaha tertentu, atau tujuan tertentu sehingga dapat memperoleh hasil yang lebih baik (Ambar, 2004).
Savas (1997) selanjutnya menjelaskan ruang lingkup kemitraan publik dan swasta, khususnya dalam kaitannya dengan upaya kemitraan tersebut menyediakan fasilitas untuk meningkatkan aktivitas berbagai kelembagaan yang terlibat dalam aktivitas kemitraan. Kasus kerjasama yang sedang berlangsung dewasa ini adalah lebih dominan dalam bentuk susunan kerjasama antara organisasi pemerintahan (intergovernmental), partisipasi warga masyarakat, serta partnership publik dan swasta (Teisman dan Erik Hans, 2002).
Berdasarkan kedua pendapat tersebut, kemudian Ambar (2004) secara rinci menyebutkan bahwa kemitraan dapat terbentuk jika memenuhi persyaratan yaitu : (1) ada dua pihak atau lebih; (2) memiliki kesamaan Visi dalam mencapai tujuan ; (3) ada kesepakatan; (4) saling membutuhkan. Selanjutnya Jafar (2002) menjelaskan bahwa untuk membangun kemitraan bukan hanya membangun keterkaitan usaha saja, tetapi membangun kemitraan yang dicita-citakan dan terwujudnya kemitraan yang sehat harus diawali persiapan yang mantap dan ditambah dengan pembinaan,
2.8.2. Model–model Kemitraan
Untuk mewujudkan suatu kemitraan dalam mencapai hasil yang lebih baik, dengan saling memberikan manfaat antara pihak yang bermitra, menurut Lendrum,(2003), ditentukan oleh tiga elemen penting yaitu lingkungan (environment), proses (process) dancmanusia (people), ketiaga elemen penting ini secara bersama-sama (integrated) akan sanagat menentukan keberhasilan dan efektifiatas kerjasama (kemitraan) yang dilakukan, maka perlu menyesuaiakan dan mengetahui model-model kemitraan yang akan dilaksanakan.
Model kemitraan yang akan dilaksanakan tentunya harus disesuaikan program kemitraan dan tujuan dilaksanakannya kemitraan dari organisasi/lembaga yang melaksanakan kemitraan Dengan demikian, kemitraan yang dilaksanakan dapat memberikan keuntungan kepada pihak-pihak yang bermitra, dan untuk terjadinya sebuah kemitraan yang kuat dan saling menguntungkan serta memperbesar manfaat memerlukan komitmen yang seimbang antara satu dengan lainnya. ( Jafar ,2000 ; Ambar, 2004).. Demikian pula pendapat yang lain disampiakan oleh Ambar (2004) bahwa model kemitraan yang dapat dikembangkan adalah Subordinatate union of partnership , Linear union of partnership dan Linear collaborative of partnership,
Berdasarkan ketiga model kemitraan tersebut, maka model Linear collaborative of partnership adalah relevan dengan kasus kemitraan SMK rumpun teknologi dan industri serta rumpun ekonomi dan bisnis di Kota Tarakan, oleh karena model kemitraan ini dapat menjelaskan perihal adanya pola keseimbangan para aktor yang terlibat dalam proses kemitraan tersebut, baik aktor negara (pemerintah), Majelis Sekolah, Organisasi atau Dunia usaha maupun masyarakat pada umumnya.
2.8.3. Model Kemitraan di Bidang Pendidikan
Hasil penelitian yang diungkap oleh Prater dan Sileo (2002) menyatakan bahwa terdapat beberapa bentuk kemitraan baik dalam bentuk formal maupun nonformal yang disintesiskan sebagai berikut (1) kemitraan secara formal yang seringkali melibatkan para siswa dan guru dalam proses memberikan pelajaran tertentu yang diperlukan di lapangan, (2).kemitraan dalam bentuk nonformal bagi siswa yang baru masuk, terutama untuk meningkatkan pemahaman mereka dengan konsultasi dengan guru mereka secara informal,(3).formalitas kemitraan antara lembaga perguruan tinggi dengan sekolah adalah demikian luasnya.
Dari dua pendapat yang diungkap di atas berkaitan dengan model partnership di bidang pendidikan secara umum dapat disimpulkan bahwa pada umumnya konsep dan model kemitraan) tidaklah memiliki keseragaman baik dalam pendefinisian maupun rumusan model yang dikembangkan oleh para ahli. (Timothy, 2001). Permasalahan yang seringkali muncul dalam proses pelaksanaan kemitraan adalah apakah kemitraan ini akan dapat menyelesaikan permasalahan organisasi, khususnya pada lembaga-lembaga yang terlibat dalam aktivitas itu?
Dengan demikian faktor kemitraan adalah suatu bentuk kerjasama yang di dalamnya memerlukan kerjasama antara berbagai lembaga yang terlibat dalam proses tersebut. Dan hal ini berarti bahwa masing-masing kelembagaan mempunyai kekuatan dan kelemahan tertentu yang dapat terpecahkan melalui wadah kemitraan
2.8.4. Model Kemitraan di Bidang Pendidikan Kejuruan
Dalam era globalisasi dan informasi, kemampuan SDM dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) bukan hanya merupakan kebutuhan, tetapi sudah menjadi keharusan apabila bangsa Indonesia ingin berperan dalam persaingan global dan selayaknya harus segera disikapi dengan program yang berorientasi pada percepatan peningkatan “mutu pendidikan atau kualitas SDM Indonesia yang salah satunya melalui program kemitraan antara pemerintah daerah, dunia pendidikan (SMK) dan dunia usaha dan industri dalam rangka terlaksananya link and match (keterkaitan dan kesepadanan) antara dunia pendidikan dengan dunia usaha dan industri sebagai upaya nyata untuk mewujudkan dan membangun “suasana sinergis“ dalam menyiapkan tenaga kerja yang siap bersaing dalam era globalisasi.
Djojonegoro ( 1999) menyatakan bahwa kebijakan link and match membuka dan mendorong kemitraan (kerjasama) antara pendidikan kejuruan dengan dunia usaha/industri yang pada dasarnya mendekatkan supplay-demand atau antara pasokan alumni dan kebutuhan tenaga terampil, Savas (2000 ) menyatakan bahwa perusahaan swasta semakin berperan penting dalam mengelola berbagai layanan melalui kontrak dan konsesi/kelonggaran, membuat rencana-operasi-transfer, kerjasama patungan (joint venture) antara publik -swasta, kerjasama informal dengan pemerintah
Dan hal ini dipertegas oleh Abdul Wahab (2002) menyatakan bahwa negara kini harus rela berbagi peran, berbagi kekuasaan (sharing of power) dan bekerjasama (yang saling menguntung) dengan kekuatan-kekuatan sosial otonomi dalam masyarakat ( statet-civic cooperation ), sejalan dengan teori “good governmance” (Tjokroamidjojo, 2003) yang banyak dikembangkan oleh lembaga donor internasional terdapat model umum partnership yang seringkali dinyatakan sebagai model segi tiga antara sektor publik, swasta, dan masyarakat pada umumnya.
Model tersebut dapat divisualisasikan berdasarkan Keputusan Bersama Mendikbud dan Ketua Umum Kadin Nomor 0267a/U/1994 dan Nomor 84/KU/X/1994 Tanggal 17 Oktober 1994 sebagai berikut:
Gambar 5: Model dan pendekatan partnership yang dilaksanakan pada SMK
BAB III
METODE PENELITIAN
2.9. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini bertujuan menemukan, memahami , menjelaskan dan memperoleh gambaran fenomena-fenomena yang dikaji oleh karena itu penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif naturalistik, dalam bidang sosial (social sciences) sebagaimana diungkap oleh Lincon & Guba (1985). Melalui pendekatan tersebut, peneliti dapat mengetahui tanggapan dan persepsi dari berbagai kalangan, seperti terhadap kelompok sasaran kebijakan kemitraan, para pelaksana program, serta badan dan instansi yang relevan (Asisten Administrasi dan Pembangunan,Kepala Dinas Pendidikan,Kepala Kantor Tenaga Kerja, Komisi Pendidikan DPRD , SMKN 1 ,SMKN 2, PT.Intraca Wood Mfg, PT.Idec Abadi Wood Indonesia, dan PT.Medco E & P ) yaitu tentang proses dan dampak implementasi kebijakan kemitraan SMK Negeri dengan Dunia usaha / industri yang telah dilaksanakan di Kota Tarakan Propinsi Kalimantan Timur sejak tahun 2001-2005
Secara spesifik penelitian ini mengkaji secara mendalam berdasarkan pendekatan yang telah diungkap oleh Edward III bahwa ada empat faktor penting dalam proses implementasi kebijakan, yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi . Pendekatan ini melihat implementasi kebijakan Kemitraan SMK melalui metode dan mekanisme antara lain adanya aspek komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi . Berkaitan dengan implementasi kebijakan kemitraan pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Kota Tarakan Propinsi Kalimantan Timur yang digunakan menjadi referensi adalah dengan menggunakan teori Edward III (1980) sebagai pendekatan utama penelitian ini, yang dianggap dapat dipakai sebagai instrumen untuk menjelaskan kasus proses dan belum terpenuhinya sasaran kebijakan (dampak) dari kebijakan Kemitraan SMK, di mana Edward III (1980) merujuk perlunya pemanfaatan sumber daya kebijakan untuk melaksanakan dan mengimplementasikan kebijakan publik.
3.2. Fokus Penelitian
3.2.1. Persiapan Implementasi Kebijakan Kemitraan SMK – DUDI
3.2.2. Proses implementasi kebijakan kemitraan pada SMK tahun 2001 – 2005
3.2.3. Faktor pendukung dan penghambat
3.2.4. Dampak implementasi kebijakan kemitraan (Praktek Industri)
3.3. Kehadiran Peneliti di Lapangan
3.3.1. Memasuki Lokasi Penelitian (Getting In)
Dalam penelitian kualitatif lazimnya peneliti adalah Instrumen utama yang turun langsung kelapangan. Peneliti sebagai instrumen utama (Human as instrument) tidak dapat digantikan dengan alat lain untuk mengumpulkan data. Pelibatan peneliti sebagai instrumen utama bukan berarti menghilangkan esensi manusiawinya tetapi kapasitas jiwaraganya dalam mengamati, bertanya melacak, mengeksplorasi, memahami, menilai, mengoreksi, mengabstraksikan dan menginterpretasikan, merupakan alat utama yang tidak dapat digantikan oleh siapapun dengan alat manapun. Sebagaimana diungkap oleh Riyanto (2003) bahwa dalam penelitian kualitatif, peneliti selain berperan sebagai pengelola penelitian adalah juga tidak dapat digantikan oleh instrumen lainnya, seperti yang terjadi pada kuesioner dan lain-lain.
3.3.2. Berada di Lokasi Penelitian (Getting along)
Kehadiran dan keberadaan peneliti di lapangan benar-benar meyakinkan informan, sebab kehadiran peneliti dan tujuan penelitian diketahui secara terbuka oleh subjek penelitian, apalagi peneliti datang ke lokasi penelitian dengan membawa rekomendasi dari Pemerintah Kota Tarakan untuk melakukan penelitian di Kota Tarakan sehingga semua Instansi, perusahaan/dunia usaha industri dan Sekolah menengah kejuruan (SMK) yang menjadi subjek penelitian dapat menerima dengan senang hati, penuh rasa percaya dan terbuka, sehingga data yang diperlukan peneliti dengan mudah mendapatnya.
3.3.3. Mengumpulkan Data ( Logging data)
Pengumpulan data secara holistic dan integrative, serta memperhatikan relevansi data dengan fokus, rumusan masalah dan tujuan, digunakan tiga teknik pengumpulan data yang lazim digunakan dalam penelitian kualitatif, yaitu: (1). wawancara mendalam, (2) observasi partisipasi, dan (3) studi dokumentasi. Tiga teknik tersebut dapat dikatakan merupakan tiga teknik dasar dalam penelitian kualitatif yang disepakati oleh sebagian besar penulis (Bogdan & Biklen, 1982; Nasution, 1988; Manca, 2003)
3.4. Lokasi dan Latar Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Kota Tarakan Provinsi Kalimantan Timur, yang secara spesifik latar yang mendasari pemilihan situs tersebut sebagai situs penelitian adalah:
1. Kesamaan karakteristik: (1). Kedua SMK Negeri tersebut mempunyai peluang atau kewenangan yang sama untuk menyelenggarakan program kemitraan (partnership) dengan dunia usaha industri, (2) Tujuan kemitraan untuk meningkatkan mutu lulusan, (3) Setiap tahun mempunyai kewajiban menyelenggarakan program praktek industri selama 3 - 4 bulan,(4) Ada peluang praktek industri pada perusahaan yang sama (PT. Intraca Wood Mfg, PT.Idec Abadi Wood Indonesia, dan PT. Medco E & P)
2. Perbedaan karakteristik : (1) SMK Negeri 1 rumpun bisnis manajemen dan SMK Negeri 2 rumpun teknologi Industri, (2) Waktu penyelenggaraan praktek industri SMKN 1 selama 4 bulan dan SMKN 2 selama 3 bulan, (3) Dalam implementasinya menimbulkan beberapa perbedaan baik dalam proses pelaksanaannya maupun karakteristik dampak yang ditimbulkannya.
3.5. Jenis Data, Sumber Data dan Instrumen Penelitian
3.5.1. Jenis Data
Data yang dikumpulkan melalui penelitian ini adalah data yang sesuai dengan fokus penelitian, yaitu implementasi kebijakan kemitraan SMK dan Dunia Usaha/Industri. Jenis data dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu (1) Data primer dan ( 2) Data Sekunder. Data primer diperoleh dalam bentuk verbal atau kata-kata atau ucapan lisan dan prilaku dari subjek (informan) yang berkaitan dengan implementasi kebijakan kemitraan SMK dan Dunia Usaha/Industri yang meliputi perencanaan implementasi kebijakan, proses implementasi kebijakan, faktor-faktor pendukung dan penghambat dan dampak implementasi kebijakan.
Sedangkan data sekunder bersumber dari dokumen-dokumen, foto-foto, dan benda-benda yang digunakan sebagai pelengkap data primer. Karakteristik data sekunder yaitu berupa tulisan-tulisan, rekaman, gambar-gambar atau foto-foto, peta grafik yang berhubungan dengan implementasi kebijakan kemitraan SMK dan dunia usaha/industri.
3.5.2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua yaitu : (1) Orang, (2) bukan orang. Sumber data berfungsi sebagai subjek atau informan kunci (key informants), sedangkan sumber data bukan berupa dokumen yang relevan dengan fokus penelitian, seperti gambar, foto, arsip surat, catatan rapat, atau tulisan yang ada kaitannya dengan fokus penelitian
3.5.3. Instrumen Penelitian
Untuk memahami makna dan kualitas penafsiran terhadap fenomena dan simbol-simbol di 2 SMK dan 3 DUDI tersebut yang dijadikan situs penelitian, dibutuhkan keterlibatan dan penghayatan langsung oleh peneliti terhadap objek dilapangan. Karena itu instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri sebagai intrumen utama yang secara langsung berhadapan dengan subjek-subjek yang diteliti dan tidak dapat digantikan oleh alat lain ataupun oleh orang lain.
Keuntungan peneliti sebagai instrumen utama, karena sifatnya yang responsive dan adaptable dalam menanggapi berbagai peristiwa dan tingkah laku subjek yang diwawancara dan diobservasi
3.6. Metode Analisis Data
3.6.1. Analisis Data Situs Tunggal
Analisis data situs tunggal adalah analisis data pada masing masing latar yang dijadikan sebagai kajian situs. Penganalisaan data kualitatif dalam penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan rancangan analisis data menurut model interaksi data kualitatif menurut Miles dan Huberman, (1984). Sebagaimana terlihat pada gambar di bawah ini tampak bahwa interaksi analisis data melalui proses: (1) pengumpulan data (data collection), (2) reduksi data (data reduction), (3) penyajian data (data display), dan (4) penarikan kesimpulan/verifikasi (conclusions: drawing/verifying) merupakan suatu proses siklus atau proses interaktif. Proses analisis data dimaksudkan sebagai suatu siklis alternatif dapat dilihat pada gambar berikut
Gambar 7. Komponen analisis data model interakti
(Sumber : Miles dan Huberman ,1984)
3.6.2. Analisis Data Lintas Situs
Analisis data lintas situs dengan cara memadukan dan membandingkan temuan temuan yang dihasilkan dari kedua situs tersebut di atas. Pada awalnya temuan diperoleh dari SMK negeri 1 dan SMK negeri 2 Kota Tarakan diidentifikasi, disusun menurut kategori sesuai fokus penelitian, dianalisis secara induktif konseptual dan dibuat penjelasan naratif, kemudian disusun menjadi kesimpulan-kesimpulan sementara. Perbedaan kedua kasus ini dijadikan temuan sementara untuk dikonfirmasi pada kasus berikutnya
Pada tahap akhir dilakukan analisis secara simultan untuk merekonstruksi hasil temuan dan menyusun konsepsi tentang persamaan kasus I, dan II selanjutnya dilakukan analisis lintas situs antara kasus I dan II dengan teknik yang sama. Analisis ini dimaksudkan untuk menyusun konsepsi sistematis berdasarkan hasil analisis data dan interpretasi teoritik yang bersifat naratif berupa kesimpulan sebagai temuan akhir.
3.7. Keabsahan Data
3.7.1. Derajat Kepercayaan (credibility)
Untuk memeriksa derajat kepercayaan (credibility) dilakukan kegiatan sebagai berikut: 1).Memperpanjang masa observasi,2)Pengamatan yang terus menerus ,3)Triangulasi 4) Membicarakannya dengan teman sejawat (pear debrieffing), 5).Menggunakan bahan referensi,6)Mengadakan member check
3.7.2. Keteralihan (transferability).
Cara yang digunakan untuk membangun keteralihan temuan penelitian ialah dengan cara “uraian rinci“. Dengan teknik ini hasil penelitian secermat mungkin yang menggambarkan konteks penelitian diselenggarakan dengan mengacu pada masalah penelitian Untuk itu hasil penelitian kebijakan kemitraan pendidikan kejuruan yang dilaksanakan di Kota Tarakan dapat ditransfer pada daerah yang memiliki kesamaan dengan konteks dan situasi yang sama dengan Kota Tarakan.
3.7.3. Ketergantungan (Dependability)
Dependabilitas adalah kriteria untuk menilai apakah proses penelitian bermutu atau tidak. Cara untuk menetapkan bahwa proses penelitian dapat dipertahankan ialah dengan audit dependabilitas oleh auditor internal (promotor dan ko-promotor) dan eksternal (konsultan ahli, perumus kebijakan atau pelaksana kebijakan) guna mengkaji kegiatan yang dilakukan peneliti
3.7.4. Konfirmabilitas
Konfirmabilitas adalah kriteria untuk menilai kualitas hasil penelitian dengan perekaman pada pelacakan data dan informasi serta interpretasi yang didukung oleh materi yang ada pada penelusuran atau pelacakan audit (audit trail).
BAB IV
TEMUAN PENELITIAN
Temuan lapangan berkaitan dengan proses implementasi kebijakan kemitraan di Kota Tarakan dengan menggunakan wawancara mendalam (deep interview), observasi dan dokumentasi adalah dapat dijelaskan berdasarkan pendekatan teori yang digunakan yaitu teori Edward III (1980) yang mengungkap adanya empat faktor penting dalam proses implementasi kebijakan, yaitu komunikasi, sumber daya, struktur birokrasi, dan disposisi.
4.1. Persiapan Implementasi Kebijakan Praktek Industri Di Kota Tarakan
4.1.1. Dasar Pelaksanaan Praktek Industri di Kota Tarakan
Berdasarkan temuan di lapangan bahwa untuk penyelenggaraan kemitraan dalam rangka penyelenggaraan praktek industri:
1) Pemerintah Kota Tarakan belum melaksanakan secara operasional Renstra Dinas Pendidikan Kota Tarakan tahun 2001–2005 tersebut sehingga sampai saat ini Pemerintah Kota Tarakan melalui Dinas Pendidikan Kota Tarakan belum membuat peraturan yang berkenaan dengan penyelenggaraan praktek industri melainkan tetap mengacu pada juknis dan juklak yang dibuat oleh pemerintah berdasarkan Keputusan Mendikbud Nomor 0490/1992 tentang kerjasama SMK dengan dunia usaha dan industri (DUDI) yang bertujuan untuk meningkatkan kesesuaian program SMK dengan kebutuhan dunia kerja dan Kepmendikbud nomor 0267a/U/1994 dan nomor 84/KU/X/1994, tanggal 17 Oktober 1994 serta keputusan Mendikbud Nomor 323/tahun1996 yang mengatur tentang penyelenggaraan pendidikan sistem ganda (PSG) yang di dalamnya memuat tentang kewajiban penyelenggaraan praktek industri bagi siswa SMK.
2) Untuk penyelenggaraan praktek industri bagi siswa SMK Negeri 1 dan SMK Negeri 2 Tarakan, Dinas Pendidikan Kota Tarakan menyerahkan sepenuhnya pada pihak Sekolah untuk implementasi kebijakan tersebut. Dan penyerahan kewenangan ini hanya melalui rapat dinas yang dihadiri oleh Kepala Dinas, Subdin Dikmen, Pengawas Sekolah dan Kepala SMK Se-Kota Tarakan tanpa ditindak lanjuti dengan Surat Keputusan Walikota atau Kepala Dinas Pendidikan.
3) Berdasarkan kewenangan tersebut maka SMK Negeri 1 dan SMK Negeri 2 Tarakan, telah memasukkan program kemitraan dalam rangka pelaksanaan praktek industri dalam program tahunan sekolah dan teralokasikan pada Anggaran Belanja Sekolah (APBS) setiap tahun pembelajaran kesemuanya dokumen tersebut dikuatkan dengan Surat Keputusan Kepala Sekolah
4) Setiap tahun pembelajaran di terbitkan Surat Keputusan Kepala Sekolah yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan kemitraan dalam rangka praktek industri baik di SMK Negeri 1 maupun di SMK Negeri 2 Tarakan, hal ini telah berlangsung sejak tahun 2001, namun ditemukan bahwa tidak semua guru memahami subtansi kebijakan kemitraan dalam rangaka praktek industri.
4.1.2. Standar Pelaksanaan Praktek Industri di Kota Tarakan
Adapun yang harus dipersiapkan tim kelompok kerja untuk pelaksanaan kegiatan praktik industri sebagai berikut.
(1) Pembuatan naskah kerjasama (MOU) sebagai dasar pelaksanaan praktik industri, namun pada kenyataannya baik yang ada ikatan atau tidak tetap bersedia menerima peserta praktik industri. Hal itu seharusnya tidak terjadi karena dapat berdampak pada kualitas pelaksanaan praktik industri.
(2) Pembentukan tim kelompok kerja sesuai dengan struktur organisasi pada SMK Negeri 1 maupun SMK Negeri 2 Tarakan, ditemukan unsur yang terlibat hanya berasal dari unsur sekolah, seharusnya dunia usaha industri terlibat sebagai anggota atau bagian dari kelompok kerja tersebut.
(3) Penyusunan buku panduan praktik industri, ditemukan buku panduan namun dibuat pada tahun 1998 oleh Tim Pokja SMK Negeri 1 dan SMK Negeri 2 Tarakan.
(4) Penyusunan pedoman pendataan industri relevan, ditemukan belum ada pedoman pendataan industri relevan baik pada SMK Negeri 1 maupun SMK Negeri 2 Tarakan.
(5) Penyusunan pedoman kegiatan administrasi, ditemukan pedoman kegiatan administrasi baik pada SMK Negeri 1 maupun SMK Negeri 2 Tarakan.
(6) Pembuatan pedoman pembekalan, ditemukan pedoman pembekalan/santiaji pada SMK Negeri 1 maupun SMK Negeri 2 Tarakan.
(7) Pembuatan pedoman penyusunan kurikulum, ditemukan belum ada pedoman penyusunan kurikulum terpadu (bersama) antara SMK Negeri 1 dengan dunia usaha industri demikian juga SMK Negeri 2 Tarakan.
(8) Pembuatan pedoman penyusunan modul, ditemukan belum ada pedoman penyusunan modul pembelajaran selama siswa berada di dunia usaha industri pada SMK Negeri 1 maupun SMK Negeri 2 Tarakan.
(9) Pedoman bimbingan tersedia, tetapi tidak dilaksanakan oleh guru pembimbing dan instruktur industri (karyawan perusahaan).
(10) Pedoman monitoring tersedia tetapi tidak maksimal dilaksanakan oleh guru pembimbing.
(11) Pembuatan jurnal kegiatan siswa, yang dibuat setiap tahun oleh tim kelompok kerja dan dibagikan kepada siswa baik pada SMK Negeri 1 dan SMK Negeri 2 Tarakan untuk dibawa ketika melaksanakan praktik industri.
(12) Pedoman penilaian/sertifikasi tersedia dan selama kegiatan pembelajaran di dunia usaha industri, instruktur industri melakukan penilaian terhadap kompetensi siswa.
(13) Pedoman penggunaan dana (anggaran) operasional praktik industri, ditemukan belum tersedia pedoman penggunaan dana operasional praktik industri pada SMK Negeri 1 maupun SMK Negeri 2 Tarakan, namun ada dalam APBS SMK Negeri 1 dan SMK Negeri 2 Tarakan setiap tahun pembelajaran.
4.1.3. Pembuatan Pedoman pelaksanaan praktek Industri
Pedoman pelaksanaan praktek industri dalam rangka PSG SMK Negeri 1 dan SMK Negeri 2 Tarakan yang disusun pada tahun 1998.Pedoman pelaksanaan praktek industri ini sejak dirumuskan oleh Tim Pokja Praktek industri tahun 1998, sampai saat masih dipergunakan SMK Negeri 1 dan SMK Negeri 2, karena masih dianggap relevan dengan penyelenggaraan praktek industri di era otonomi daerah apalagi juknis dan juklak praktek industri belum mengalami perubahan baik yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sebagai lembaga yang berwenang menyelenggarakan pendidikan kejuruan.
Seharusnya pedoman pelaksanaan Praktek Industri yang ada harus di evaluasi setiap tahun berdasarkan masukan dari hasil evaluasi kegiatan penyelenggaraan praktek industri yang dilakukan oleh Tim kelompok kerja dan Sekolah bersama dunia usaha industri, sehingga pedoman yang ada terus mengalami perbaikan karena pedoman ini akan menjadi acuan Sekolah, dunia usaha industri, Tim kelompok kerja, orang tua dan siswa dalam penyelenggaraan praktek industri.
4.1,4. Sosialisasi Implementasi Kebijakan Praktek Industri
Pada awal munculnya kebijakan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) tahun 1992 sampai tahun 1994 tentang adanya perangkat–perangkat kebijakan yang mendukung dilaksanakannya praktek industri telah disosialisasikan oleh sekolah bersama Majelis Sekolah (MS) kepada pihak warga sekolah (guru, tata usaha,orang tua siswa, pengurus BP3 saat itu dan siswa) dan dunia usaha/industri, namun hal ini hanya dilakukan di awal munculnya kebijakan tersebut. Akan tetapi, sejak tahun 2001-2005 atau setelah otonomi daerah, seiring berubahnya kewenangan penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah, pihak SMK Negeri 1 dan SMK Negeri 2 Tarakan bersama majelis sekolah (MS) tidak pernah menyosialisasikan kebijakan kemitraan tersebut.
Berdasarkan snow-ball sampling kepada Suwito ketua program studi Mesin Produksi, Drs. Patahangi ketua program studi Mekanik Otomotif dan Suheriyanto Ketua Pokja SMK Negeri 2 Kota Tarakan, demikian juga pihak SMK Negeri 1 Kota Tarakan diperoleh informasi bahwa sosialisasi dilakukan oleh sekolah hanya pada awal program dilaksanakan dan akan tetapi, sejak otonomi daerah tahun 2001 pihak sekolah maupun pokja belum pernah melakukan sosialisasi baik terhadap warga sekolah, dunia kerja maupun pemerintah
Dengan demikian, dalam proses persiapan pelaksanaan implementasi kebijakan Kemitraan Pendidikan Kejuruan, sosialisasi merupakan bagian dari komunikasi yang sangat menentukan untuk pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik, komunikasi yang efektif antara pembuat kebijakan dengan pelaksana kebijakan sehingga dapat mengetahui apa yang harus dilakukan. Sehingga seharusnya begitu pendidikan kejuruan menjadi kewenangan Pemerintah Kota sesuai undang-undang otonomi daerah, maka Dinas Pendidikan tidak hanya memasukkan dalam rencana strategis (renstra), tetapi juga melakukan sosialisasi kepada semua stakeholders pendidikan kejuruan.
4.1.5. Mengidentifikasi Sumber daya SMK Negeri 1 dan SMK Negeri 2 Tarakan
4.1.5.1.Keadaan SDM SMK Negeri 1 dan SMK Negeri 2 Tarakan
Maka berdasarkan data temuan lapangan bahwa kualitas sumber daya manusia (SDM) kedua sekolah sudah cukup memadai hal ini di buktikan kualifikasi pendidikan guru SMK Negeri 1 kurang lebih 77 % berkualifikasi SI sementara SMK Negeri 2 kurang lebih 94 % berkualifikasi S1 bahkan sudah ada yang berkualifikasi S2. Namun yang memiliki kompetensi kewirausahaan sangat terbatas sehingga untuk upaya melakukan kompetisi masih sangat rendah apa lagi yang punyai inisiatif untuk melakukan kolaborasi dengan dunia usaha industri dalam pengembangan program sangat kurang dan rata-rata masih berorientasi pada tugas sebagai guru.
Permasalahan terkait dengan kecukupan sumber daya pelaksana praktek industri di Kota Tarakan selama ini ditanggapi oleh responden Drs. Sarmin sebagai Kepala SMK Negeri 2 Tarakan, bahwa sumber daya Manusia (SDM) SMK Negeri 2 Tarakan sudah cukup memadai baik dari dilihat dari rasio jumlah guru dengan siswa, spesialisasi keterampilan,dan kualifikasi pendidikan namun kemauan untuk melakukan inovasi masih perlu ditingkatkan dan sangat sedikit memiliki pengalaman berwirausaha. (Wawancara, 30 Juli 2005)
Berdasarkan gambaran tersebut di atas, dapat diinterpretasikan bahwa persoalan yang terkait dengan sumber daya pelaksana dalam proses pelaksanaan praktek industri saat ini tidak dapat dipermasalahkan oleh karena dianggap tidak lagi menjadi persoalan.
4.1.5.2. Pembuatan Kurikulum Terpadu (Sinkronisasi Kurikulum)
Kurikulum yang digunakan oleh SMK Negeri 1 dan SMK Negeri 2 Tarakan pada tahun pembelajaran 2001/2002 – 2004/2005, masih menggunakan kurikulum tahun 1994 dan tahun pembelajaran 2005/2006 menggunakan kurikulum 2004, dan program pembelajaran yang direncanakan adalah menyesuaikan kurikulum yang berlak saat itu dan target kompetensi tamatan yang akan dicapai.
Hal ini disebabkan oleh karena Kurikulum yang digunakan masih mengacu pada kurikulum nasional tahun 1999 dan 2004 dan belum memiliki kurikulum terpadu antara SMK Negeri Tarakan dengan dunia usaha/industri demikian juga SMK Negeri 2 Tarakan belum memiliki kurikulum terpadu dengan dunia usaha industri, sehingga program yang diberikan di dunia usaha dan industri tidak sejalan dengan apa yang di programkan oleh sekolah.
Untuk meningkatkan kebermaknaan proses belajar di SMK Negeri 1 dan SMK Negeri 2 Tarakan sebagai satu kesatuan yang utuh untuk mencapai kompetensi lulusan yang dibutuhkan dunia kerja dan kebutuhan sekolah perlu adanya kurikulum terpadu atau perlu dilakukan sinkronisasi kurikulum. Pendapat ini seperti dikemukakan oleh pihak dunia usaha dan industri dalam hal ini responden Ir. Edi Lenggono sebagai Manager Umum (GM) PT. Intraca Wood Mfg menyatakan bahwa selama pelaksanaan praktek industri di perusahaan kami, belum terdapat kurikulum terpadu antara SMK dengan dunia usaha dan industri. Bahkan penyusunannya belum pernah dilakukan. Padahal kurikulum terpadu tersebut dapat menjadi pedoman sekolah maupun industri dalam proses praktek industri (Wawancara, 15 Oktober 2005)
Dengan demikian salah satu usaha untuk memenuhi keterpaduan program sekolah dan dunia usaha industri, adalah terdapatnya sinkronisasi kurikulum yang juga merupakan kebutuhan utama untuk terwujudnya kompetensi lulusan berbasis industri. Dengan deskripsi berbagai kasus di atas dapat diinterpretasi bahwa selama ini pelaksanaan kegiatan praktek industri yang dilakukan pada berbagai dunia industri dan usaha diakibatkan aspek komunikasi yang terbangun antara SMK Negeri 1 dan SMK Negeri 2 Tarakan dengan dunia usaha industri yang sangat kurang yang mengakibatkan belum adanya kurikulum yang terpadu antara SMK Negeri 1 dan SMK Negeri 2 Tarakan dengan dunia usaha industri.
4.1.5.3. Fasilitas praktek SMK Negeri 1 dan SMK Negeri 2 Tarakan
Selama beberapa tahun terakhir, fasilitas sekolah yang ada di bangku SMK cenderung kondisinya menurun, jika dibandingkan dengan keadaan tahun-tahun sebelumnya. Sehingga dalam beberapa sudut sekolah yang diteliti ternyata berpengaruh terhadap pelaksanaan proses belajar mengajar yang diinginkan untuk mendorong proses pembelajaran yang efektif. Misalnya di SMK masih terdapat berbagai fasilitas yang sudah tua yang harus diganti oleh fasilitas yang lebih baik dengan menyesuaikan tuntutan dunia usaha industri.
Kejadian ini ternyata dialami oleh SMK Negeri 2 yang diungkap oleh Drs. Patahangi seorang Ketua Jurusan Otomotif pada SMK Negeri 2 yang menjelaskan bahwa kondisi peralatan yang dimiliki sekolah sangat terbatas dan usianya sudah tua sehingga agak sulit mengikuti kecepatan perkembangan teknologi di industri dan belum lagi di Tarakan dan sekitarnya banyak DUDI menggunakan alat berat sementara di SMK tidak memiliki mesin alat berat sehingga mengakibatkan siswa kesulitan ketika menemukan saat praktik alat berat (Wawancara,22 Juli 2005).
Berkaitan dengan pendapat tersebut realitas beberapa sekolah yang jumlah dan kualitas fasilitasnya cukup memprihatinkan, oleh karena di antaranya tidak lagi dapat digunakan untuk melaksanakan proses belajar mengajar. Kondisi ini lebih diperparah oleh kondisi ekonomi Indonesia saat ini yang tengah dilanda oleh krisis multidimensi saat ini, termasuk kasus perekonomian yang kurang mendukung adanya fasilitas sekolah yang lebih baik.
Fakta lapangan memberikan informasi bahwa terdapat indikasi jumlah siswa SMK Negeri 1 dan SMK Negeri 2 Tarakan tidak seimbang dengan jumlah alat/mesin sehingga kompetensi dasar siswa sangat bervariasi, seperti ada yang memiliki kompetensi yang baik dan ada yang tidak. Pengaruh langsung yang ditimbulkan oleh keterbatasan peralatan tersebut adalah menurunnya motivasi siswa dan juga bervariasi serta kurangnya kemauan untuk bertanya sehingga kalau dirata-rata prestasi mereka ya stabil tidak ada peningkatan dan sama dari tahun-tahun sebelumnya.
4.1.5.4. Dana Operasional ( sumber dana ) Praktek Industri
Penelitian ini mengungkap bahwa selama ini proses pendanaan implementasi kebijakan praktek industri sebelum otonomi daerah diperoleh dari partisipasi siswa baru dan iuran bulan siswa dan sejak tahun 2001 otonomi daerah dilaksanakan, maka sejak Pendidikan Dasar dan Menengah menjadi kewenangan Kabupaten dan Kota, maka pemerintah Kota Tarakan telah mengalokasikan dana operasional sekolah pada APBD Dinas pendidikan dan perencanaan pengalokasian/penggunaan dana operasional tersebut diserahkan kepada Sekolah masing-masing termasuk SMK Negeri 1 dan SMK Negeri 2 Tarakan
Berdasarkan data anggaran SMK Negeri 1 dan SMK Negeri 2 Tarakan tersebut terdapat perbedaan yang mencolok di mana pengalokasian dana penyelenggaraan praktek industri yang bersumber dari APBD terlihat pada SMK Negeri 1 agak kecil sementara pada SMK Negeri 2 agak besar, sementara yang bersumber dari iuran komite sekolah dan partisipasi siswa baru terlihat pada SMK Negeri 1 lebih besar sementara pada SMK Negeri 2 lebih kecil.Berdasarkan data pada kedua tersebut, bahwa sejak otonomi daerah dilaksanakan, dana operasional diperoleh sekolah adalah lewat APBD II Kota Tarakan dan komite sekolah (orangtua siswa).
Sementara itu untuk dunia usaha industri, ada yang memberikan langsung dana transportasi/uang sabun kepada siswa pada akhir kegiatan praktek industri dan sebagian tidak memberi. Bahkan dalam tiap tahun pelajaran dari komite sekolah juga telah mengalokasikan anggaran untuk kegiatan praktek industri dan uji kompetensi melalui mekanisme APBS yang bersumber dari iuran bulanan siswa dan partisipasi siswa.
Demikian pula ditemukan bahwa pembiayaan yang diperuntukkan terhadap kegiatan praktik industri bukan hanya berasal dari pihak sekolah baik melalui anggaran rutin sekolah maupun dari sektor sumber penerimaan bantuan sumbangan murid atau siswa, adalah pembiayaan tersebut juga menjadi pembiayaan dari sudut perusahaan di mana siswa melaksanakan kegiatan praktek industri Kasus yang sama terhadap pembiayaan kegiatan praktek industri yang dilakukan dan dianggarkan oleh perusahaan telah dilakukan oleh PT. Idec Awi yang diungkap oleh Ir. Mirza selaku Manager Perusahaan tersebut bahwa kami setiap bulan memberi uang saku kepada siswa peserta praktek industri, tetapi pada 2 tahun terakhir ini uang saku itu tidak berupa uang kami berikan tetapi dalam bentuk makan siang bersama karyawan dan program ini masuk dalam program kerja perusahaan (wawancara, 6 Desember 2005).
4.1.5.5. Model Proses Belajar Mengajar Di sekolah
Untuk meningkatkan kebermaknaan proses belajar di SMK Negeri 1 dan SMK Negeri 2 Tarakan sebagai satu kesatuan yang utuh untuk mencapai kompetensi lulusan yang dibutuhkan dunia kerja, selanjutnya dilakukan pemilihan metode kegiatan belajar mengajar (KBM) yang disesuaikan dengan karakteristik materi pelajaran dan siswa serta diarahkan ke kondisi dunia kerja (khususnya teori dasar kejuruan) dengan menggunakan metode pembelajaran yang sangat populer diterapkan selama ini.
Dalam hal hasil praktek industri dengan berdasarkan pada aktivitas metode mengajar mengungkap bahwa PBM saat ini belum berjalan sebagaimana mestinya. Misalnya saja ditemukan bahwa siswa yang terjun melakukan praktek industri di suatu perusahaan seharusnya dibekali dengan modul agar siswa dapat membandingkan teori yang ada dengan praktik sehingga ketuntasan kurikulum dap Sebagai wujud interaksi kebijakan dalam rangkaian proses implementasi kebijakan praktek industri di berbagai perusahaan di Kota Tarakan, pihak pelaksana program di tingkat sekolah menjelaskan bahwa pada umumnya aktivitas yang dilakukan untuk mendukung kegiatan implementasi tersebut adalah melalui pemberian materi yang sangat relevan dengan tuntutan proses praktek industri yang akan dijalankan. Dengan demikian diskresi kebijakan yang dilakukan selama ini dalam proses implementasi kebijakan praktek industri di Kota Tarakan sangat membantu pelaksana dalam meningkatkan kualitas dan capaian program yang diinginkan.
4.1.6. Pendataan Dunia Usaha/Industri yang relevan dengan keahlian siswa
Berdasarkan data temuan bahwa jumlah dunia usaha industri di Kota Tarakan yang menjadi tempat praktek industri siswa SMKN 1 sebanyak 65 dunia usaha industri dan dari 65 dunia uasaha industri tersebut yang relevan sekitar 80 persen , kesemuanya berlokasi di Kota Tarakan sedangakan SMKN 2 sebanyak 62 dunia usaha industri dan dari 62 dunia uasaha industri tersebut yang relevan sekitar 70 persen yang relevan dan berlokasi di Kota Tarakan, Kabupaten Bulungan, Berau, Malinau, dan Nunukan.
Untuk memenuhi jumlah siswa dengan alokasi daya tampung peserta praktek industri maka pada SMK Negeri 1 dilakukan 1 angkatan tersebar di Kota Tarakan sementara di SMK Negeri 2 dilaksanakan 2 angkatan yang tersebar di Kota Tarakan, Bulungan, Berau, Nunukan, dan Malinau berdasarkan kompetensi (jenis usaha) dunia usaha/industri. Hal ini berarti bahwa komitmen perusahaan untuk tetap melaksanakan program praktek industri sampai saat tertentu masih tinggi seperti tercermin dari adanya pelaksanaan praktek industri di perusahaan tersebut meskipun dalam beberapa kasus tidak ditemukan adanya naskah kerja sama.
Berdasarkan data yang diperoleh pada SMK negeri 1 dan SMK negeri 2 Tarakan ditemukan data tempat pelaksanaan praktek industri berdasarkan alokasi siswa melaksanakan praktik industri sejak tahun pelajaran 2001 sampai dengan tahun 2005
Dari sekian banyak dunia usaha industri yang menjadi tempat pelaksanaan praktek industri baik yang telah menjalin ikatan kemitraan maupun tidak, masih ditemukan dunia usaha industri yang belum relevan dengan program studi yang ada pada SMK Negeri 1 dan SMK Negeri 2 Tarakan demikian juga dari segi kesiapan sumberdayanya, sehingga hal ini berpengaruh dengan hasil capaian tujuan implementasi.
4.1.7. Naskah kerjasama (MOU) SMK dengan Dunia usaha industri
Berdasarkan observasi terhadap naskah kerjasama (MOU) SMK dengan dunia usaha industri ditemukan bahwa naskah kerjasama tersebut dibuat pada tahun 1994 dan belum pernah diperpanjang samapi saat ini dan justru digunakan sebagai dasar pelaksanaan praktek industri .
Maka ditemukan isi naskah kerjasama tersebut khususnya yang berkenaan dengan Tujuan, Lingkup kerjasama, dan kewajiban SMK Negeri 1 dan SMK Negeri 2 serta Dunia usaha industri yang pada tahun 1994 telah ditandatangani oleh pihak SMK Negeri 1 dan SMK Negeri 2 dan dunia usaha/industri, di mana kedua pihak sepakat untuk melakukan kerjasama dalam rangka peningkatan mutu pendidikan dan keahlian pada SMK Negeri 1 dan SMK Negeri 2 Tarakan sesuai dengan kebutuhan dunia usaha/industri dan tuntutan kemajuan ilmu dan teknologi, dengan jangka waktu masing-masing 3 tahun kemudian naskah kerjasama ini dapat diperpanjang jika ternyata berdasarkan evaluasi dan pengamatan pelaksanaan menguntungkan kedua belah pihak.Dengan demikian, faktor penghambat dalam melaksanakan dan mengoptimalkan aktivitas praktek industri, secara kelembagaan adalah belum adanya efek komunikasi dan kerjasama yang lebih baik antara berbagai lembaga yang relevan
4.2. Proses implementasi kebijakan kemitraan pada SMK tahun 2001- 2005
4.2.1. Penetapan Struktur Kelompok Kerja (Pokja) Praktek Industri (PI)
Adapun struktur organisasi kelompok kerja praktek industri pada SMK Negeri 1 Tarakan yang merupakan bagian dari struktur organisasi SMK Negeri 1 Tarakan , Sedangkan struktur organisasi kelompok kerja praktek industri pada SMK Negeri 2 Tarakan yang merupakan bagian dari struktur organisasi sekolah, tetapi untuk penanganan kelompok kerja (POKJA) Praktek Industri merupakan bagian struktur yang terpisah dari waka humas/hubin tetapi bertanggungjawab kepada kepala sekolah melalui waka huma/hubin
Keberadaan Kelompok Kerja (Pokja) SMK Negeri 1 dan SMK Negeri 2 Tarakan yang merupakan bagian dari Struktur organisasi sekolah bertujuan mempermudah dan memperlancar penanganan program praktek industri dan merupakan sarana strategis untuk meningkatkan aksesibilitas dan konsistensi pelaksanaan program praktek industri, dan seharusnya pihak dunia industri juga harus terlibat dalam tim kelompok kerja tersebut dengan harapan terus terbangun komunikasi yang konsisten antara sekolah dengan dunia kerja .
4.2.2. Rapat Tim Kelompok Kerja Praktek Industri
Berdasarkan temua dalam berita acara rapat bahwa rapat tim kelompok kerja pada SMK Negeri 1 setiap rapat dipimpin oleh kepala sekolah dan didampingi wakil kepala sekolah bidang humas dan industri serta dihadiri oleh ketua program strudi dan kepala bengkel dan anggoata kelompok kerja, dengan agenda rapat koordinasi pelaksanaan praktik industri, demikian juga di SMK Negeri 2 ditemukan dalam berita acara bahwa acara rapat dipimpin oleh wakil kepala sekolah bidang humas dan hubungan industri yang didampingi oleh ketua pokja praktik industriserta dihadiri oleh ketua program studi, kepala bengkel dan koordinator praktik industri masing-masin jurusan dengan agenda acara rapat penyusunan dan evaluasi program praktik industri .
4.2.3. Penyusunan Jurnal Kegiatan siswa
Penyusunan jurnal kegiatan siswa ini disusun oleh tim kelompok kerja (pokja) praktik industri pada setiap tahun pembelajaran .dan ditemukan pada SMK Negeri 1 Tarakan bahwa jurnal disusun oleh Tim yang terdiri dari koordinator jurusan dengan maksud agar isi junal dapat disesuaikan dengan kebutuhan jurusan masing-masing sementara pada SMK Negeri 2 ditemukan bahwa jurnal disusun langsung tim pokja dan disesuaikan dengan masukan pada rapat timpokja.
Secara umum jurnal kegiatan siswa ini baik pada SMK Negeri 1 maupun SMK Negeri 2 berisi identitas peserta Praktik Industri, identitas dunia usaha industri dan laporan kegiatan praktik siswa , jurnal kegiatan ini untuk mengetahui kegiatan peserta praktik industri selama 3-4 bulan berada di dunia usaha industri dan sekaligus menjadi pedoman pemantauan ( monitoring) kegiatan siswa selama praktik industri.
4.2.4. Pertemuan dengan Komite sekolah dan orangtua/wali siswa
Dan setiap awal semester baik pada SMK Negeri 1 maupun SMK Negeri 2 Tarakan, tim Pokja juga mengumpulkan orang tua siswa dan juga dihadiri oleh komite sekolah serta dewan guru yang mengajar di kelas III dengan bahasan tentang pelaksanaan praktek industri yang sekaligus memberi informasi tentang tata cara pelaksanaan praktek industri, hak dan kewajiban siswa selama berada di industri serta pembiayaan praktek industri.
Berdasarkan hasil observasi bahwa saat pertemuan tersebut orang tua hadir dengan antusias dan terjadi dialog dengan sekolah sekitar persoalan pembiayaan praktek industri, hak dan kewajiban siswa selama melaksanakan praktek industri yang waktu pelaksanaannya kurang lebih 3-4 bulan lamanya. Pertemuan antara orang tua, komite sekolah dengan sekolah merupakan sarana komunikasi antara sekolah dengan orang tua yang lebih efektif dan sangat membantu sekolah dalam pelaksanaan program kerja sekolah termasuk dalam mengatasi keterbatasan dana,
Komunikasi antara stakeholders (Kepala sekolah, guru, tata usaha, orang tua, dan pengurus komite sekolah) dalam konteks pelaksanaan kegiatan praktek industri sangat penting dan strategis mengingat bahwa efek komunikasi ini seringkali menciptakan kekuatan pelaksanaan praktek industri.
4.2.5. Kegiatan Administrasi Praktik industri
Untuk mengoptimalkan pelaksanaan praktik industri, kegiatan administrasi merupakan kegiatan yang harus dilakukan oleh tim kelompok kerja, maka berdasarkan temuan pada SMK Negeri 1 dan SMK Negeri 2 Tarakan bahwa kegiatan yang dilakukan sebagai berikut : pendataan jumlah calon siswa peserta praktik industri; menyiapkan danmengisi formulir bagi calon peserta pratik industri; seleksi peserta pratik industri; pengiriman surat ke dunia usaha industri untuk meminta kesedian industri menerima peserta pratik industri; membuat data penempatan sesuai dengan isian siswa, pengambilan gambar (foto); membuat buku evaluasi bagi siswa , mempersiapkan jurnal kegiatan siswa dan penyelesaian biaya admnistrasi
Kegiatan admnistrasi yang dilakukan kedua sekolah tersebut dari tahun ke tahun tidak mengalami perubahan dan sifatnya monoton, dan jika kita lihat standar pelaksanaan praktik industri pada kedua sekolah tersebut masih banyak yang perlu dipersiapkan secara admnistrasi , miaslnya pembuatan pendataan .
4.2.6. Pembekalan Siswa peserta praktek industri
Untuk mempersiapkan siswa melaksanakan praktek industri maka pihak SMK Negeri 1 dan SMK Negeri 2 setiap tahun pembelajaran melaksanakan pembekalan kepada siswa sebelum diberangkatkan ke dunia usaha/industri dengan melibatkan pihak dunia usaha/industri, dan kantor tenaga kerja dengan materi yang diberikan sebagai berikut: (1) Disiplin kerja, etos kerja,dan etika disamapiakan oleh unsur perusahaan; (2) Sistematika penulisan laporan praktek industri disampaikan oleh Guru SMK Negeri 1 dan SMK Negeri 2; (3) Keselamatan kerja disampaikan oleh Perusahaan (4) Kewirausahaan dan ketenagakerjaan disampiakan oleh Kantor Tenaga Kerja; ; (5) Penjelasan pembuatan jurnal kegiatan siswa disampiakan oleh Pokja SMK Negeri 1 dan SMK Negeri 2
Dan dalam temuan pada SMK Negeri 1 maupun SMK Negeri 2 Tarakan bahwa kedua sekolah tersebut tidak melakukan bimbingan teknis pada hal bimbingan teknis ini sangat penting bagi pembekalan kemampuan keahlian kejuruan siswa, yang telah diprogramkan misalnya penjelasan keterampilan dasar dan praktek keahlian produktif yang akan dilaksanakan, pemahaman tentang teori-teori pendukung serta bimbingan program keahlian spesifikasi jenis pekerjaan selama di industri yang berorientasi bisnis.
Berkaitan dengan proses pembekalan praktek industri yang dilakukan oleh pihak SMK Negeri 1 dan SMK Negeri 2, adalah dipersepsikan oleh responden dengan berbagai dimensi dan pandangan, terutama terkait dengan kesiapan sekolah dalam mengimplementasikan program praktek kerja tersebut. Ini berarti pula bahwa selama proses implementasi kebijakan tersebut pihak sekolah selalu konsisten untuk menerapkan asas pelibatan pihak terkait dalam melaksanakan tugas pembinaan dan pelatihan industri. Dari pernyataan tersebut, kemudian diperkuat oleh pandangan Ketua Tim Pokja SMK Negeri 2 menyatakan bahwa:
Setiap pembekalan peserta praktek industri kami melibatkan pihak dunia usaha/industri untuk memberi materi tentang keselamatan kerja dan pihak kantor tenaga kerja dilibatkan memberi materi tentang ketenagakerjaan dan selebihnya materi diberikan oleh Waka Hubinmas atau guru SMKN2 (Wawancara, 10 September 2005)
Dengan demikian aktivitas awal implementasi program kemitraan Pendidikan Kejuruan Kota Tarakan adalah harus diawali oleh keinginan semua stakeholder untuk melibatkan berbagai pihak dalam proses penanganan masalah peningkatan kualitas sumber daya manusia, khususnya alumni SMK Negeri dan SMK Negeri 2. Sehingga kesadaran bagi berbagai pihak untuk melibatkan diri dalam proses mencapai sasaran pengembangan kualitas yang sesuai tujuan yang hendak dicapai.
4.2.7. Seleksi Penempatan siswa peserta praktek industri
Untuk penempatan siswa peserta praktek industri yang dilaksanakan di SMK Negeri 1 dan SMK Negeri 2 adalah (1) siswa mencari industri yang akan ditempati praktek industri kemudian dilaporkan kepada pokja untuk proses administrasi penempatan, (2) Koordinator jurusan membagi formulir pendaftaran peserta praktek industri kemudian diolah sesuai kebutuhan industri dan selanjutnya ditempatkan dengan demikian dapat disimpulkan bahwa proses tersebut tidak memerlukan sistem seleksi awal secara khusus yang disesuaikan dengan kompetensi siswa dan ataupun kebutuhan industri.
Dalam kenyataannya bahwa pelaksanaan seleksi penempatan peserta praktek selalu didasarkan pada beberapa aspek, pertama atas alokasi peluang pada dunia usaha industri yang relevan dengan jurusan yang dimiliki siswa kedua sesuai pengamatan dan penilaian koordinator pokja jurusan bahwa siswa tersebut layak untuk di tempatkan pada perusahaan tersebut dan ketiga atas dasar permohonan siswa untuk ditempatkan pada dunia usaha/industri atau perusahaan yang dipilih dan relevan dengan jurusan siswa. Proses penempatan siswa yang dilakukan melalui proses seleksi dan penempatan siswa adalah terkait dengan lembaga perusahaan sebagai institusi yang akan menggunakan tenaga tersebut. Dalam kaitan ini pihak perusahaan selalu menerapkan pendekatan seoptimal mungkin terhadap pemakaian sesuai dengan kondisi keahlian siswa.
Berdasarkan data tersebut, maka nampaknya proses yang dilakukan oleh pihak perusahaan tersebut dalam berbagai bentuknya juga berharap bahwa di masa akan datang pihak sekolah hendaknya membekali siswanya tentang profil kompetensi berdasarkan kurikulum sinkronisasi yang akan diperoleh siswa selama di industri. Harapan tersebut sesuai dengan misi dan visi perusahaan dalam hal terampil untuk mengelola industri yang dijalankannya adalah selalu direlevansikan dengan kebutuhan dunia industri.
Pernyataan responden tersebut mengisyaratkan bahwa proses seleksi siswa untuk menempati suatu proses pelatihan adalah diperlukan untuk proses penempatan dengan berbagai bentuk seleksi dan program pembekalannya. Masalah yang dihadapi adalah seringkali terjadi ketidakcocokan antara kebutuhan dunia industri dan juga apa yang dilakukan pada tingkatan sekolah. Artinya proses pelatihan tersebut dianggap kurang relevan dengan kebutuhan industri, oleh karena adanya kekurangan yang terjadi pada sisi proses pembelajaran di sekolah yang selama ini diterapkan dan diimplementasikan.
Implementasi program seperti ini pada prinsipnya dalam pendekatan Goerge Edward III seringkali dihadapi kendala dalam berbagai hal. Misalnya kendala dari sisi kesepahaman dan komunikasi yang terjadi antara pihak industri sebagai pelaksana di tingkat lapangan dengan praktek pembelajaran selama ini di sekolah. Pihak sekolah sendiri dalam hal ini selalu melihat adanya kepentingan proses pembelajaran itu dalam konteks untuk memahami lingkungan dunia usaha dengan berbagai proses dan teknik kerjanya yang demikian kompleks dan cenderung variatif sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini diungkap oleh salah seorang pembimbing siswa dalam proses praktek kerja industri yang berasal dari SMKN 1 dan mendapat tugas agar membimbing anak didiknya melakukan praktek kerja lapangan pada PT. Medco E & P.
Karakteristik implementasi kebijakan praktek industri dilihat dari sisi proses perbekalan yang dilakukan di tingkat sekolah adalah mempunyai andil yang sangat besar dalam mendorong siswa peserta didik agar dapat memanfaatkan kesempatan seperti ini dengan lebih baik dan dapat melakukan berbagai penyesuaian yang diperlukan pada tingkat industri.
4.2.8. Penempatan dan Pelaksanaan praktek Industri
4.2.8.1. Penempatan peserta
Penempatan siswa pada SMK Negeri 1 dan SMK Negeri 2 dilakukan berdasarkan hasil seleksi penempatan yang dilaksanakan koordinator jurusan masing-masing dan siswa diantar oleh guru pembimbing masing-msing ke lokasi praktek industri dan sekaligus penyerahan siswa peserta praktek industri kepada dunia usaha industri . Untuk penempatan siswa pada SMK Negeri 1 dilakukan satu angkatan sedangkan SMK Negeri 2 dilakukan dalam dua angkatan.
Kegiatan penempatan ini merupakan langkah selanjutnya yang dilakukan sebagai rangkaian proses implementasi program praktek industri di SMK Negeri 1 dan SMK Negeri 2 dan kegiatan ini sangat terkait secara langsung terhadap proses pembekalan tingkat sekolah maupun industri di Kota Tarakan. Selama dalam proses pelaksanaan kegiatan praktek industri, proses penempatan siswa peserta ditanggapi secara nyata oleh Suheriyanto, S.Pd Ketua Pokja Praktek Industri SMKN 2 bahwa:
Penempatan peserta praktek industri ini dilakukan oleh tim bersama Guru pembimbing, dan peserta praktek industri diantar langsung oleh Guru pembimbing ke dunia usaha industri dan dengan harapan guru pembimbing dapat melakukan komunikasi awal program. (Wawancara, 16 Juli 2005)
Proses penempatan siswa merupakan rangkaian implementasi kebijakan praktek industri, sehingga sangat dibutuhkan adanya komunikasi dan komitmen yang kuat untuk melaksanakan program, baik antara guru pembimbing dengan instruktur pembimbing sehingga segala sesuatu yang berkenaan dengan praktek industri dapat terselesaikan.
4.2.8.2. Pealaksanaan Praktek Industri
Untuk pelaksanaan praktek industri SMK Negeri 1 dilaksanakan 1 angkatan dan SMK Negeri 2 dibagi menjadi 2 angkatan. Selama kurang lebih 4 bulan siswa melaksanakan praktek industri, siswa dibimbing oleh instruktur/pembimbing industri dan diberi tugas melaksanakan pekerjaan yang ada di industri sesuai dengan jenis pekerjaan yang ada di industri. Namun dalam kenyataannya, ketika awal melaksanakan praktek industri mereka diberi waktu untuk menyesuaikan dengan situasi kondisi perusahaan, kemudian pembagian tugas sesuai jurusan yang dimiliki siswa.
Disamping itu juga terdapat beberapa pekerjaan yang diberikan kepada siswa tidak sesuai dengan jurusan yang dimiliki siswa khususnya pada beberapa industri, seperti PT. Intraca Wood, yang dalam beberapa bentuknya siswa SMK Negeri 1 jurusan Akuntansi, tetapi kemudian diberikan pekerjaan oleh managemen perusahaan yang tidak sesuai, misalnya diberikan pekerjaan pengetikan
Penyelenggaraan praktek industri ini belum bisa dilaksanakan dengan baik atau sekedar menggugurkan kewajiban saja dikarenakan berbagai keterbatasan sekolah maupun pihak dunia usaha industri sehingga dapat kami katakan bahwa pelaksanaannya belum memenuhi tujuan program praktek industri apalagi dikaitkan dengan upaya peningkatan mutu lulusan SMK.
Dengan demikian masuk dari berbagai pihak untuk dapat meningkatkan pemahaman siswa sebelum mereka masuk menjadi peserta dalam kegiatan praktek industri di berbagai industri adalah mutlak diperlukan dan pada dasarnya merupakan prasyarat utama untuk mencapai keberhasilan dan sasaran program dan kebijakan praktek industri yang dilakukan di tingkat perusahaan.
Di samping itu bahwa siswa dapat berperan sebagai tenaga bantuan pada pekerjaan yang jangka pendek (proyek tertentu) dari pada merekrut tenaga lagi maka lebih baik memanfaatkan siswa peserta praktek industri yang ada dan sekaligus merupakan wujud dari community development perusahaan
4.2.8.3. Model pelaksanaan pembelajaran yang disepakati SMK dengan DUDI dalam rangka pelaksanaan Praktek Industri
Berdasarkan pasal 1 Naskah kerjasama (MOU) SMK Negeri 1 dan SMK Negeri 2 dengan Dunia Usaha industri bahwa tujuan kerjasama SMK dan Dunia usaha industri selama ini adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan dan keahlian profesi siswa SMK Negeri 1 dan 2 Tarakan, sesuai dengan kebutuhan dunia usaha/industri dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Berkenaan dengan implementasi tersebut, pihak SMK Negeri 1 melaksanakan model ke 1, di mana pembekalan kemampuan produktif dimulai pada tahun ketiga semester V selama 4 bulan. Sedangkan kemampuan dasar kejuruan sepenuhnya dilaksanakan di sekolah, dengan pertimbangan rasio siswa dan jumlah dunia usaha masih seimbang (siswa dapat tertampung semua).
Demikian pula dalam kenyataannya dalam setiap praktek industri selama lima tahun terakhir ini, pihak SMK Negeri 2 melaksanakan model ke 1. Hal ini dapat dilihat dari sisi pembekalan kemampuan produktif dimulai pada tahun ketiga semester V selama 3 bulan sedangkan kemampuan dasar kejuruan sepenuhnya dilaksanakan di sekolah. Model seperti ini dilakukan sesungguhnya sebagai salah satu strategi di mana rasio siswa dengan jumlah dunia usaha/industri yang cukup tajam, sehingga dibuat menjadi 2 angkatan dan ditempatkan pada dunia usaha/industri dan tersebar di berbagai wilayah Kota Taraka Nunukan, Malinau, Bulungan, dan Berau.
Kelihatannya program praktek industri yang dilakukan pada beberapa perusahaan cenderung lebih integratif jika dilakukan berdasarkan apa yang diinginkan dan ditekankan serta difokuskan pada perusahaan itu sendiri. Dengan jalan konsentrasi pada beberapa keterkaitan dunia usaha industri dan pihak sekolah, adalah dapat dicapai sasaran kebijakan yang lebih optimal.
4.2.8.4. Proses pembelajaran (produktif ) di dunia usaha / industri
Hasil penelitian di PT Intraca Wood Mfg, PT Idec abadi Wood, dan PT Medco E & P menunjukkan bahwa selama praktek industri, siswa bekerja di lini produksi di bawah bimbingan dan tanggung jawab instruktur. Kemampuan yang diterapkan dan dikembangkan bukan hanya kemampuan keahlian profesi saja, tetapi juga kemampuan menerapkan nilai-nilai mata pelajaran normatif dan adaptif. Siswa diwajibkan membuat jurnal kegiatan selama praktek di industri yang memuat jenis pekerjaan dan kemampuan profesi yang dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaan tersebut dan harus diisi setiap hari atau setiap akhir tahap pekerjaan.
Pada prinsipnya proses pembelajaran melalui aktivitas praktek industri dalam konteks implementasi kebijakan kemitraan SMK dan DUDI di Kota Tarakan adalah untuk mencapai sasaran meningkatkan kualitas peserta didik agar dapat menghasilkan lulusan yang selain dapat dipersiapkan sebagai tenaga terampil dan unggul juga agar dapat dicapai adanya kemampuan dasar dalam memahami dunia industri dan juga menciptakan lapangan kerja melalui praktek industri tersebut.
Sementara itu juga terdeteksi di tingkat lapangan bahwa proses pembekalan di sekolah selama ini tidak berjalan sesuai dengan kompetensi yang diinginkan oleh praktek industri tersebut. Bahkan cenderung terkesan dilakukan hanya sekedar menggugurkan kewajiban dan melaksanakan kebijakan praktek industri tersebut apa adanya. Pada aspek lain, pembinaan mental dan aspek psikologis pada peserta didik juga dilakukan pada tingkat perusahaan dengan tujuan agar dapat mencapai kesetaraan perkembangan fisik dan mentalnya yang mungkin masih kurang dilakukan di tingkat sekolah.
Dengan demikian proses pelaksanaan praktek industri dari sisi pembelajaran di tingkat industri adalah dipengaruhi oleh aktivitas pembelajaran yang sebelumnya dilakukan pada organisasi sekolah, di mana pembelajaran itu seringkali dalam kenyataannya belum optimal melakukan penyesuaian dengan kondisi riil praktek kerja di berbagai perusahaan.
4.2.8.5. Sistem pembimbingan siswa di sekolah dan di dunia usaha/industri
Pembimbingan siswa SMK Negeri 1 dan SMK Negeri 2 dilaksanakan selama proses pembelajaran berlangsung, baik di sekolah maupun dilakukan di dunia industri. Sementara itu, ruang lingkup bimbingan diarahkan kepada penyiapan siswa memasuki dunia kerja, melalui pelaksanaan pembelajaran dan evaluasi hasil pembelajaran.
Dalam prakteknya, bahwa konsep pembinaan yang dilakukan dalam rangka proses implementasi program praktik industri melalui kerjasama SMK dan Dunia usaha di Kota Tarakan, adalah dapat terjadinya sinergitas pelaksanaan program peningkatan kualitas sumber daya yang sesuai dengan tuntutan dunia kerja selama ini.
Proses pembinaan itu sendiri belum mencapai sasaran seperti yang diinginkan oleh program praktek industri. Hasil wawancara dengan Drs. Usman seorang Guru Senior pada SMKN 1 mengungkap:
Pembinaan belum berjalan sesuai standar dan sekolah harus mencari metode atau pola-pola yang baru agar berjalan dengan baik. (Wawancara, 20 Agustus 2005 ).
Pada pihak lain gejala semakin terbatasnya jangkauan pelaksanaan pembinaan dan pembimbingan yang dilakukan di tingkat sekolah dan industri serta-merta tidak mencapai sasaran program yang diinginkan. Kebanyakan pelaksanaan pembinaan dan pembimbingan tersebut di pihak sekolah kurang tepat dan cenderung dilaksanakan tanpa memperhatikan konteks kebutuhan industri yang ada.
Pada sisi kepentingan industri bahwa praktek industri yang dilaksanakan selama ini berdasarkan prinsip pembimbingan siswa selama di industri menunjukkan bahwa proses pembimbingan industri adalah umumnya dilakukan oleh karyawan yang spesialis di bidangnya. Misalnya oleh supervisor atau kepala bagian di unit masing-masing bahkan ada pembimbing umum dari internal education dan setiap 2 Minggu sekali kami melakukan evaluasi dan sekaligus koordinasi tentang perkembangan siswa. Kondisi seperti ini dengan sendirinya memberikan keleluasaan pada murid yang melaksanakan praktek industri yang ada dengan menggunakan pendekatan pembimbingan secara tuntas.
Menarik dibahas di sini bahwa aspek komunikasi dalam rangkaian proses pembimbingan praktek industri merupakan hubungan fungsional pelaksanaan program praktek industri dengan perumus kebijakan praktek industri itu sendiri adalah menjadi bagian penting daripada keberhasilan proses praktek industri di tingkat perusahaan.
Hal ini berarti bahwa meskipun pelaksanaan praktek industri dilaksanakan secara lebih ketat dan juga lebih konsisten, namun masih diperlukan adanya kesinambungan komunikasi antara perumus program dan pelaksananya di lapangan.
Berkaitan dengan itu juga diperlukan adanya responsivitas guru pembimbing sebagai unsur pelaksana lapangan bagi proses praktek industri agar dapat menentukan arah yang jelas dan semakin menampakkan kekuatan pelaksanaannya di lapangan.
Demikian pula ditemukan bahwa dimensi waktu pada umumnya memiliki kontribusi yang cukup besar dalam mendorong proses praktek industri yang lebih baik di lapangan. Para supervisor dan pembimbing nampaknya memiliki kendala dari persoalan waktu dalam melaksanakan monitoring yang diperlukan untuk meningkatkan aksesibilitas dan kontinuitas pelaksanaan program yang dapat menjembatani berbagai kendala yang ada.
Beberapa temuan di atas dapat memberikan penjelasan bahwa praktek industri yang dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas tenaga terampil para lulusan SMK di Kota Tarakan pada umumnya dilakukan berdasarkan prinsip sesuai dengan kondisi lokal dan pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada para instruktur indusatri sebagai tenaga lapangan dan guru pembimbing untuk melaksanakan tugas praktek industri.
4.2.8.6. Fasilitas Belajar Mengajar di dunia usaha industri
Untuk mensikronkan kebutuhan sekolah dengan kebutuhan industri, faktor fasilitas belajar mengajar yang tersedia di industri sangat menentukan tingkat keterampilan/pengalaman bekerja siswa selama melaksanakan praktek industri, maka berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada PT Intraca Wood Mfg, PT Idec abadi Wood dan PT Medco E & P ditemukan kondisi fasilitas industri sangat mendukung profil kompetensi lulusan SMK dan kondisi peralatan sangat terawat dengan baik, sehingga semua peralatan siap pakai walaupun usia peralatannya sudah berusia 10 tahun ke atas dan ada juga peralatan yang tersedia di industri tetapi tidak tersedia di sekolah, misal mesin alat berat, demikian juga sebaliknya beberapa peralatan yang tersedia di sekolah tetapi tidak tersedia di industri.
Ketiga perusahaan PT Intraca Wood Mfg, PT Idec abadi Wood dan PT Medco E & P yang menjadi mitra kerja dalam konteks praktek industri antara SMK dan dunia usaha dan industri di Kota Tarakan, secara umum memiliki peralatan yang layak pakai ditinjau dari sisi kondisi peralatan nya yang terkait dengan pelaksanaan praktek industri. Demikian pula bahwa keseluruhan peralatan yang ada seringkali dilakukan pemeliharaan oleh perusahaan tersebut, sehingga dapat meningkatkan kualitas peralatan itu sendiri.
4.2.8.7. Kesesuaian kompetensi sekolah dengan kompetensi dunia usaha/ industri
Proses belajar mengajar yang kurang didukung oleh sistem pembelajaran berbasis pada kompetensi siswa, tentu saja memberikan dampak kurang menggembirakan ditinjau dari sisi pengembangan kapasitas siswa yang mengikuti kegiatan praktek industri.
Salah satu prinsip penerapan asas kompetensi tersebut adalah terdapat proses pembelajaran yang mengarah pada kombinasi materi pembelajaran dengan kondisi nyata dunia kerja yang diinginkan dilihat dari segi materi yang diberikan tatkala siswa melaksanakan kegiatan praktek industri.
Dalam kenyataannya hingga saat ini fasilitas proses pembelajaran yang digunakan masih sangat kurang mendukung peningkatan kompetensi siswa terutama pada SMK Negeri 1 kelompok bisnis manajemen, yang mayoritas mata pelajarannya di sekolah belum relevan dengan kondisi nyata dunia usaha atau dunia kerja
Meskipun terdapat persoalan tentang kompetensi siswa sehingga menngakibatkan siswa mengalami kesulitan dalam menyesuaikan dan melakuan adaptasi ketika berada di dunia kerja dan dunia usaha tempat mereka melakukan praktek industri. awancara, 26 Agustus 2005 ).
Kompetensi yang diajarkan di SMK Negeri dan SMK Negeri 2 dengan di industri kadang-kadang belum relevan dan tidak sesuai dengan kondisi riil dengan apa yang senyatanya terjadi di dunia industri. Hal ini juga disebabkan oleh efek terbatasnya sarana prasarana yang ada di sekolah dengan di industri. Pada pihak lain kondisi ini seringkali menunjukkan fakta bahwa belum sesuai kompetensi lulusan SMK karena di sekolah dituntut sesuai kompetensi yang berdasarkan kurikulum nasional yang ada sementara di industri siswa bekerja secara serabutan tidak sesuai dengan tuntutan kurikulum nasional..
Fakta lain terungkap bahwa dimensi teori yang di berikan di sekolah dengan apa yang dilakukan di pihak industri sangat berhubungan, namun keterkaitan antara pelajaran-pelajaran teori maupun praktek yang di dapat di sekolah sangat berbeda dengan pengalaman praktek di industri. Misalnya dilihat dari sisi bahwa di sekolah melakukan pekerjaan tidak nyata (simulasi) dan tidak mandiri sedangkan pekerjaan di industri bersifat nyata (aplikasi) dan lebih mandiri serta banyak hal-hal baru yang kami dapatkan yang di sekolah belum pernah kami dapatkan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keterkaitan dimensi pelajaran di sekolah dengan praktek di berbagai industri terdapat perbedaan di antaranya di sekolah memberi pelajaran teori dan praktek lebih memberi penekanan pada kendaraan ringan dan bahan bakar bensin sementara di industri lebih menekankan pada kendaraan alat berat dan bahan bakar solar. Pada sisi lain tentang penggunaan alat-alat kerja dan praktek yang diajarkan disekolah sudah sangat mendukung pelaksanaan praktek di industri.
Mengingat masih rendahnya sikap kerja dan etos kerja siswa maka sebaiknya di sekolah ditingkatkan pembekalan tentang bagaimana bekerja dengan baik dan penuh disiplin serta materi pelajaran produktif lebih bersifat praktek lebih ditingkatkan dan diberi waktu yang lebih kepada siswa sehingga dapat berlatih dengan baik dan materi praktek lebih bersifat produktif sesuai kebutuhan pasar.
4.2.8.8. Monitoring guru pembimbing ke dunia usaha/industri
Proses implementasi selanjutnya adalah dengan melaksanakan mekanisme monitoring yang dilakukan oleh guru pembimbing ke dunia usaha atau dunia industri di mana siswa tersebut melaksanakan kegiatan praktek industri. Hal ini dilaksanakan untuk melakukan sinkronisasi program pelaksanaan praktek kerja praktek industri itu sendiri di lapangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan monitoring ini seringkali kurang efisien dilaksanakan oleh para guru pembimbing yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan monitoring terhadap kegiatan praktek industri.
Maka untuk mengoptimalkan hasil monitoring yang dilakukan oleh guru pembimbing frekuensinya harus ditingkatkan sehingga guru pembimbing dapat memahami apa yang dilakukan siswa selama di industri dan dapat membantu siswa memecahkan persoalan yang dihadapi selama di industri.
Sementara pelaksanaan monitoring pada perusahaan dilakukan berdasarkan dengan maksimal dimana pelaksana yang ditugaskan cukup kapabel, karena selaian karyawan yang spesialis di bidangnya dalam hal ini supervisor atau kepala bagian di unit masing-masing bahkan ada pembimbing umum dari internal education atau bagian SDM dan setiap 2 Minggu sekali kami melakukan evaluasi dan sekaligus koordinasi tentang perkembangan siswa.
Bahkan dalam kasus yang lebih spesifik terungkap bahwa fungsi petugas monitoring belum berjalan maksimal karena mereka hanya sampai di bagian internal education atau bagian SDM PT Intraca Wood Mfg, demikian juga terjadi di PT Medco E&P dan PT Idec Abadi Wood Indonesia hanya sampai pada bidang SDM ,dan selama ini terputus komunikasi guru pembimbing dengan kami sehingga mereka tidak mengetahui perkembangan siswanya selama industri.
Program monitoring untuk memonitor siswa sudah berjalan tetapi program belum efektif dikarenakan volume pelaksanaan monitoring harus disesuaikan program yang disusun bersama untuk pembelajaran yang dilakukan. Salah satu penyebabnya diungkap oleh Drs. Hendi Suhendi,MT selaku Koordinator Pengawas SMK menyatakan :
Untuk mengimplementasikan kebijakan kemitraan ini perlukan komitmen dari semua pihak termasuk guru sehingga segala aktivitas kegiatan praktek industri ini dapat berjalan dengan baik termasuk menyangkut pelaksanaan monitoring oleh guru pembimbing perlu dimaksimalkan minimal 1 kali satu bulan dan monirtoring dimanfaatkan sebagai media untuk berkomunikasi dengan dunia usaha dan industri . (Wawancara, 24 September 2005).
Dari beberapa pandangan responden bahwa frekuensi pelaksanaan monitoring sangat menentukan keberhasilan program praktek industri di perusahaan, agar dapat lebih efektif dan dapat mengetahui perkembangan bimbingannya, maka pola monitoring yang dilakukan saat ini perlu ditingkatkan frekuensinya sehingga guru pembimbing dapat memahami apa yang dilakukan siswa selama di industri dan dapat membantu siswa memecahkan persoalan yang dihadapi selama di industri.
4.2.8.9. Penjemputan dan Laporan Peserta (siswa ) Praktek Industri.
Aktivitas penjemputan yang dilakukan oleh Tim Kelompok Kerja (Pokja) SMK Negeri 1 dan SMK Negeri 2 adalah sangat sesuai dengan proses akhir dari rangkaian proses kegiatan praktek industri di berbagai industri yang ditempati oleh siswa melaksanakan praktek kerja untuk melakukan proses adaptasi dan penyesuaian. Tahapan penjemputan dan laporan peserta sesungguhnya mempunyai implikasi selesainya acara dan program praktek industri yang telah dilakukan berdasarkan kerjasama industri dan SMK selama ini.
Penjemputan ini sangat penting di mana dapat menjadi bahan untuk melihat apa yang dikerjakan siswa ketika di dunia usaha industri (DUDI), di lain pihak untuk mencari masukan dari dunia usaha/industri sebagaimana jurnal kegiatan siswa. Sementara itu fakta lapangan menunjukkan bahwa pola penjemputan siswa saat ini perlu diperbaiki sehingga guru yang bertugas menjemput tidak hanya menjemput siswa tetapi juga melakukan koordinasi dengan dunia usaha industri (DUDI) dan sekaligus memasarkan alumni.
Dengan demikian bahwa akhir kegiatan praktek industri selama ini adalah dilakukan dengan jalan menjemput. Namun disayangkan bahwa guru datang hanya sekedar menjemput tetapi sebaiknya guru pembimbing melakukan komunikasi dengan pembimbing industri sehingga mengetahui secara pasti tentang kondisi siswanya.
4.2.8.10. Penilaian dan sertifikasi
Untuk mengukur tingkat keberhasilan pelaksanaan praktek industri maka pihak PT Intraca Wood Mfg,PT Idec Abadi Wood Indonesia dan PT Medco E&P melaksanakan kegiatan penilaian dan sertifikasi yang dimaksudkan agar peserta kegiatan tersebut dapat dijamin dan diberikan semacam garansi yang dapat membuka wawasan dan penilaian objektif bagi seluruh siswa peserta praktek industri tersebut dan sertifikat tersebut akan digunakan peserta untuk menjadi referensi pengalaman kerja saat melamar pekerjaan
Berdasarkan data bahwa tingkat keberhasilan siswa SMK Negeri 1 pada uji kompetensi ini rata-rata 70-75 % setiap tahun sementara untuk SMK Negeri 2 rata-rata 80-85%. Selanjutnya penilaian profesi juga harus dilakukan tetapi penilaian ini tidak dapat dilakukan baik di SMK Negeri 1 maupun di SMK Negeri 2 Tarakan dikarenakan tidak tersedianya tenaga asessor maupun Asosiasi profesi, sementara upaya dari pihak Pemerintah Kota (Dinas Pendidikan maupun Kantor Tenaga Kerja) untuk mengupayakan adanya tenaga assesor atau mengadakan pelatihan tenaga assesor melalui asosiasi di tingkat provinsi maupun dari tingkat pusat. Dan dengan tidak dilaksanakannya uji profesi ini maka tidak dapat diketahui kompetensi profesi (spesialisasi) dimiliki siswa.
Ketidaktersediaan tenaga assesor di Kota Tarakan menjadi permasalahan tersendiri dalam penyelenggaraan uji profesi dan hal mengakibatkan uji profesi belum pernah dilakukan SMK Negeri 1 dan SMK Negeri 2 Tarakan. Tindakan selanjutnya yang menyulitkan pada tahap ini adalah kesulitan mencari asosiasi profesi di Kota Tarakan sehingga dalam penyelenggaraan uji kompetensi dan uji profesi ini kami serahkan kepada pihak dunai usaha industri yang menurut kami relevan dengan program studi / jurusan yang ada di SMK Negeri 2 Tarakan.
Malahan beberapa pihak menganggap bahwa pelaksanaan sertifikasi ini masih perlu ditinjau ulang, sehingga ada pembeda antara siswa yang lulus (memiliki sertifikat) dengan yang tidak lulus (tidak memiliki sertifikat) pada saat melamar pekerjaan. Yang tujuannya adalah agar dapat memberikan kepastian bagi peserta program dalam kaitannya dengan lingkup, sasaran dan tujuan daripada pelaksanaan sertifikasi tersebut
Ditinjau dari segi pelaksanaannya, maka aspek kompetensi bagi siswa SMK sebaiknya yang menguji dari tenaga independen (asosiasi profesi) atau dari instansi pemerintah daerah terkait yang memenuhi Kriteria tetapi bukan dari perusahaan tempat siswa melaksanakan praktek Industri sehingga sertifikat siswa tersebut dapat digunakan untuk mencari pekerjaan dan diakui oleh dunia usaha/industri lainnya.
4.2.9. Peran dan Fungsi Majelis Sekolah (MS) dalam Implementasi Kebijakan kemitraan SMK-DUDI (Praktek Industri)
Berdasarkan data bahwa awal pelaksanaan praktek industri mengacu pada Juknis dan juklak pelaksanaan Praktek industri tahun 1996i maka Kepala SMK Negeri 1 dan SMK Negeri 2 yang difasilitasi oleh Kepala Kandep Dikbud Kab. Bulungan mengadakan pertemuan dengan menghadirkan Kakandep Naker, Kadin, Perwakilan DUDI, Gapensi dan Pemerintah Kotatip Tarakan, dan disepakati terbentuknya Majelis Sekolah (MS) dan saat itu di ketuai oleh Kakandep Naker Tarakan.
Selanjutnya ditemukan bahwa setelah kewenangan pendidikan kejuruan diserahkan kepada pemerintah Kabupaten/kota, majelis Sekolah yang telah terbentuk tersebut tidak berfungsi, dan apa lagi personil yang ada sudah banyak yang tidak berdomisili di kota Tarakan jadi perlu dibentuk kembali, namun baik dari pihak SMK maupun Dinas pendidikan belum pernah mengambil inisiatif untuk membentuk majelis sekolah (MS). Sesuai tugas dan fungsi majelis sekolah (MS) maka sejak tahun 2001 sd 2005 majelis sekolah tidak berfungsi hal ini dikarenakan personalia yang dulu tidak ada lagi yang aktif bahkan segala sesuatu persoalan SMK dengan DUDI ditangani oleh Kepala SMK bersama pokja.
Dengan demikian pada dasarnya majelis sekolah sangat membantu dalam upaya penyiapan lulusan SMK yang siap kerja tetapi kalau melihat implementasinya bahwa Majelis Sekolah (MS) tersebut seharusnya berperan memfasilitasi kepentingan sekolah dengan DUDI. Tetapi kenyataannya bahwa hanya kadin yang berperan dan bahkan bersedia menanda tangani sertifikat uji kompetensi, sementara unsur lain sama sekali tidak berfungsi. Hal yang sama juga terjadi pada tingkat perusahaan di mana siswa melaksanakan kegiatan praktek industri, bahwa diakui oleh para pihak perusahaan majelis sekolah memiliki fungsi strategis,
Dengan demikian peningkatan peran dan fungsi majelis sekolah sangat penting untuk dapat memfasilitasi kepentingan sekolah dengan dunia usaha dan industri demikian juga untuk melakukan sinkronisasi program. Salah satu upaya konkrit yang diperlukan adalah melalui pembenahan kepengurusan dan konsolidasi organisasi. Bahwa Majelis Sekolah, Komite Sekolah dan LSM Pendidikan tidak berfungsi, pada hal majelis sekolah merupakan perangkat untuk menjembatani kepentingan sekolah dengan dunia kerja tetapi tidak berfungsi. Dengan demikian, pembenahan kepengurusan dan peran serta fungsinya harus dimaksimalkan sehingga upaya peningkatan mutu lulusan SMK dapat terlaksana
4.2.10. Peran Pemerintah Kota Tarakan dalam Implementasi Kebijakan Kemitraan (Pelaksanaan Praktek Industri)
Sejak ditetapkannya UU No.22/1999 ( revisi UU No.32/2004) dan PP No.25/2000, pengelolaan pendidikan kejuruan telah menjadi kewenangan pemerintah daerah tetapi penyelenggaraan kemitraan SMK dengan dunia usaha industri (DUD)I dalam pelaksanaan praktek industri ternyata pemerintah daerah tidak banyak berbuat melainkan sebatas penyediaan alokasi anggaran, hal ini dikarenakan kekurangtahuan aparatur terkait termasuk dinas pendidikan tidak memadai
Peran pemerintah daerah dalam era otonomi daerah ini yang baru terlihat adalah adanya komitmen terhadap tersedianya alokasi anggaran yang diperuntukkan untuk dana pendukung operasionalisasi pelaksanaan praktek industri di Kota Tarakan, namun dari aspek lain dalam pelaksanaan kemitraan SMK dengan dunia usaha industri (DUDI) yaitu.masih kurang sehingga belum dapat memfasilitasi kepentingan sekolah dengan dunia usaha dan industri .
Demikian pula dari aspek sarana dan prasarana yang diperlukan untuk kegiatan dan operasionalisasi praktek industri. Salah satu bentuknya adalah kontribusi pemerintah daerah dalam menyediakan sarana praktek yang diperlukan sangat terbatas pada tingkat sekolah, sehingga sanagat menghambat dalam pelaksanaan proses belajar mengajar untuk bidang studi praktik dan hal ini dikeluhkan oleh siswa dan guru karena kesulitan untuk menyesuaikan dengan tuntutan dunia kerja .
Hal ini berarti bahwa komitmen perusahaan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui kegiatan praktek industri dalam konteks kerjasama dan kemitraan SMK dan Dunia usaha dan industri adalah cukup tinggi. Seperti diindikasikan dari adanya upaya pihak industri untuk melakukan pembenahan dari segi struktur kurikulum yang senantiasa disesuaikan dengan kondisi objektif perusahaan dan dunia usaha pada umumnya.
Perhatian pemerintah terhadap upaya peningkatan mutu SMK dan penyediaan lapangan kerja di Kota Tarakan belum terlihat ada upaya yang optimal, apalagi pemerintah kota atau dinas pendidikan belum melakukan evaluasi kegiatan khususnya upaya peningkatan mutu lulusan SMK yang siap kerja.
4.3. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi dari persepsi Stakeholders kebijakan Kemitraan (Praktek Industri)
4.3.1. Faktor Pendukung Implementasi Kebijakan Praktek Industri
Temuan lapangan menunjukkan bahwa faktor Pendukung dalam proses Implementasi Kebijakan Kemitraan juga disebut sebagai faktor lingkungan kebijakan kemitraan Sekolah Kejuruan. Seperti dijelaskan oleh Perumus Kebijakan dalam hal ini Pemerintah Kota (Asisten Pembangunan, Asisten Administrasi dan Dinas Pendidikan), dan DPRD Kota Tarakan bahwa beberapa faktor lingkungan kebijakan itu dapat berbentuk (1). Keputusan Mendikbud Nomor 0490/1992 tentang kerjasama SMK dengan dunia usaha dan industri (DUDI), (2) Kepmendikbud No.323/1996 tentang PSG; (3). UU No.22/1999 ( Revisi UU No.32/2004) tentang pemerintahan daerah, (4). PP No.25/2000 tentang kewenangan Pemda, (5) Naskah Kerjasama ( MOU) SMK bersama dunia usaha industri.
Di samping itu dalam pandangan perumus kebijakan kemitraan sekolah, maka lingkup lain yang tergolong dalam konteks lingkungan kebijakan non aturan, yang juga menentukan kualitas capaian program adalah
1. Adanya MOU antara SMK Negeri 1 dan 2 dengan DUDI
2. Masuknya program kemitraan dalam Renstra Dinas Pendidikan Kota Tarakan 2001-2005
3. Adanya dana operasional sekolah pada APBD tiap tahun
4. Adanya otonomi sekolah untuk berkreasi dan berinovasi
5. Adanya komitmen Pemkot / DPRD terhadap peningkatan Kualiats SDM
Dari sisi Tim Pelaksana kegiatan praktek industri, maka peluang pelaksanaan praktek industri tersebut dapat dikelompokkan seperti berikut:
1. Adanya komitmen Kepala Sekolah untuk mengimplementasikan kebijakan kemitraan praktek industri.
2. Teralokasikannya dana Operasional Praktek Industri pada APBS tiap Tahun ajaran
3. Kelompok Kerja (Pokja) merupakan bagian Struktur Organisasi Sekolah
Sedangkan pihak Guru, maka peluang pelaksanaan praktek industri tersebut di Kota Tarakan diungkap sebagai berikut:
1. Tersedianya guru kejuruan yang memadai sesuai jurusan yang ada di SMK
2. Adanya Kesediaan guru untuk menjadi Guru Pembimbing
3. Adanya kemauan Guru Pembimbing untuk melakukan monitoring ke dunia usaha industri
Sementara itu pandangan Orang tua siswa berkenaan dengan hambatan dan peluang pelaksanaan kegiatan praktek industri adalah antara lain disebutkan sebagai (1). tingginya Apresiasi Orang tua terhadap pelaksanaan Praktek Industri; dan (2). Adanya dukungan dana dari orang tua melalui dana iuran bulanan Komite Sekolah /partisipasi.
Dari pihak Siswa memandang pelaksanaan praktek industri selama ini mempunyai beberapa keuntungan seperti, terdapatnya (1). Kemauan siswa mengikuti program praktek industri; (2). Tingginya motivasi siswa untuk praktek industri; (3). Adanya kemauan siswa untuk memiliki ASTEK serta (4). Unsur Transportasi yang mudah dijangkau
Bagi Dunia usaha/Industri, maka pelaksanaan program praktek industri yang dilakukan di perusahaan mereka cukup memberikan kontribusi positif dalam hal, yaitu bahwa perusahaan selama proses pelaksanaan praktek industri saat ini telah dimasukkannya Program Praktek industri dalam program tahunan perusahaan yang juga memberikan implikasi langsung terhadap teralokasikannya dana peserta praktek industri pada anggaran belanja perusahaan berupa uang saku, serta juga terdapat indikasi tingginya apresiasi industri untuk melakukan kerjasama dengan pihak pemerintah daerah dan juga pihak sekolah.
Selama beberapa tahun terakhir (2001-2005) pelaksanaan praktek industri di tingkat sekolah dilakukan berdasarkan prinsip kerjasama dan hal ini telah diterapkan oleh kedua organisasi yang telah bekerjasama tersebut. Kerjasama ini dianggap sebagai fasilitas pendukung pelaksanaan program, oleh karena dapat membantu berbagai pihak yang terlibat untuk melaksanakan program praktek industri berdasarkan kesepahaman di antara mereka.
Dukungan guru dan kelompok pengajar dan pembimbing yang koperatif dalam melaksanakan program praktek industri inilah yang menyebabkan pelaksanaan program tersebut semakin diharapkan adanya perkembangan pelaksanaannya. Demikian pula dari sisi dukungan orang tua juga cukup memberikan dukungan dalam proses pelaksanaan praktek industri yang memadai.
Berbagai Faktor yang diungkapkan di atas yang secara langsung mempengaruhi aktivitas praktek industri selama ini membuat dimensi lain dalam tataran praktis bahwa implementasi kebijakan kemitraan selama ini tentu saja tidak dapat berjalan dengan sebaik-baiknya tanpa dukungan berbagai pihak dan dipastikan tidak dapat mencapai sasaran peningkatan kualitas sumber daya manusia seperti diindikasikan dari semakin terbukanya kesempatan dan terbukanya keahlian siswa peserta praktek industri.
4.3.2. Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan Praktek Industri :
Temuan lapangan yang diperoleh terkait dengan faktor lain yang mempengaruhi proses pelaksanaan kebijakan praktek industri di Kota Tarakan, adalah diungkap oleh berbagai stakehoders kebijakan praktek industri sebagai berikut:
Persepsi Pembuat Kebijakan dalam hal ini Pemerintah Kota (Asisten Pembangunan, Asisten Administrasi dan Dinas Pendidikan) dan Komisi 4 membidangi Pendidikan DPRD Kota Tarakan bahwa faktor penghambat dalam proses implementasi kebijakan praktek industri di Kota Tarakan adalah dirinci sebagai berikut:
1) Belum adanya Perda yang sangat relevan berkenaan dengan Sistem pendidikan yang mengatur penyelenggaraan program kemitraan SMK dengan DUDI dalam pelaksanaan Praktek Industri, khususnya di Kota Tarakan
2) Kurangnya komitmen stakeholders dan kesiapan aparatur pelaksana yang membawahi pendidikan kejuruan masih kurang
3) Kurang berperannya pengawas sekolah dalam melakukan pengawasan implementasi program kemitraan praktek industri.
4) Belum adanya evaluasi kebijakan kemitraan dalam pelaksanaan praktek industri yang sudah berlangsung kurang lebih 10 tahun
5) Terbatasnya dana operasional praktek industri
Sementara itu tanggapan Tim Pelaksana program praktek industri, yang terdiri dari Kepala Sekolah, Kelompok Kerja (Pokja) dan institusi Majelis Sekolah, bahwa hambatan dalam proses pelaksanaan praktek industri dapat dirumuskan sebagai berikut:
1) Kondisi Majelis Sekolah (MS) tidak berfungsi
2) Pokja yang terbentuk didominasi oleh guru tanpa keterlibatan dunia usaha/industri
3) Monitoring dan pembimbingan dari guru sekolah masih kurang.
4) Kurikulum terpadu (Sinkronisasi kurikulum) belum tersusun
5) Kurang tersosialisasinya isi naskah kerjasama kepada warga sekolah, pihak industri, orangtua, pemerintah daerah, DPRD dan masyarakat
6) Proses pembekalan yang diakukan oleh sekolah tidak fokus tentang keterampilan siswa sesuai dunia kerja.
7) Sarana dan prasarana yang ada di sekolah kurang mendukung (kondisi mesin sudah tua)
8) Belum adanya inisiatif kepala sekolah mengundang Guru tamu dari perusahaan atau melaksanakan program magang bagi guru.
Pada titik pelaksana di lapangan yang juga dikenal sebagai ”street level bureaucracy”, seperti para Guru pada SMK 1 dan SMK 2 Kota Tarakan mempunyai persepsi bahwa kendala dan hambatan pelaksanaan program praktek industri dapat dikemukakan sebagai berikut:
1) Belum adanya kesempatan guru untuk magang di perusahaan yang diberikan oleh kepala sekolah
2) Kurangnya komunikasi guru pembimbing dengan pembimbing industri
3) Belum adanya modul pelajaran bagi siswa peserta Praktek Industri.
4) Monitoring yang dilakukan oleh guru pembimbing juga tidak fokus dan bahkan sekedar datang saja ke industri
Analisis lebih lanjut diuraikan melalui pandangan dan persepsi Orang tua siswa (Komite Sekolah) terkait dengan kendala dan hambatan yang dihadapi dalam proses pelaksanaan praktek industri, seperti belum dilibatkannya orang tua terhadap pengawasan pelaksanaan praktek industri, belum terbangunnya komunikasi orang tua dengan guru pembimbing dan pembimbing industri, serta belum dilibatkannya orang tua dalam evaluasi penyelenggaraan praktek industri dan pada gilirannya melahirkan inisiatif dari BP3/komite Sekolah yang kurang untuk melakukan upaya pelibatan diri dalam penyelenggaraan praktek industri.
Sementara itu bagi Siswa memandang bahwa hambatan dalam pelaksanaan praktek industri yang dilakukan di Kota Tarakan, yaitu:
1) Kurangnya kemauan siswa untuk bertanya tentang tugas yang diberikan dan selalu hanya menunggu apa tugas yang diberikan selanjutnya
2) Siswa kurang dapat berkomunikasi dengan personil/instruktur di perusahaan
3) Ratio siswa dengan dunai usaha industri I tidak seimbang (DUDI terbatas
4) Ratio peralatan dengan jumlah siswa tidak seimbang ( 1: 5 – 1: 8)
Pada pihak lain, pandangan dan persepsi Dunia usaha/Industri selama melaksanakan kegiatan praktek industri merasakan adanya beberapa kendala pelaksanaannya di lapangan, yaitu dalam berbagai hal pihak dunai usaha industri kurang memahami manfaat praktek industri bagi siswa (sikap acuh tak acuh atau kurang tanggap), dan juga relatif kurang relevannya kompetensi siswa dengan apa yang didapat di industri. Di samping itu kepedulian industri terhadap siswa masih kurang dan juga dunai usaha industri I terlalu berorientasi pada aspek ekonomi/profit.
Dengan demikian pada tingkat pelaksanaan, bahwa faktor penghambat pelaksanaan program dapat dikategorikan pada beberapa hal, seperti (1). kurang adanya dana pendukung kegiatan praktek industri, (2). ketidaksesuaian penempatan siswa, (3). Sikap menambah jam belajar yang di Uji nasionalkan serta, (4). mengganggu PBM guru kelas I dan II.
4.4. Dampak implementasi kebijakan kemitraan (Praktek Industri)
Beberapa dampak yang terjadi setelah program praktek industri melalui prinsip kebijakan kemitraan diterapkan antara SMK dan dunia usaha dan industri di Kota Tarakan, ditemukan sebagai berikut :
4.4.1. Dampak terhadap Sekolah
Selama masa proses penyelenggaraan kegiatan praktek industri di Kota Tarakan, maka ditemukan adanya beberapa dampak yang dapat dilihat berkenaan dengan implementasi kebijakan tersebut yang dapat dirinci sebagai berikut:
1) Dampak terhadap Sarana dan Prasarana : Kegiatan praktek industri yang dilakukan baik di tingkat sekolah maupun industri saat ini telah memberikan dampak terhadap dimensi yang membantu dalam mengatasi keterbatasan/kekurangan peralatan atau sarana prasarana praktek siswa di sekolah
2) Pembiayaan pendidikan pada SMK : Dalam hal pembiayaan dalam kaitannya dengan praktek industri, adalah telah dirasakan sangat membantu keterbatasan dana operasional praktek siswa selama satu semester atau telah terjadinya efisiensi anggaran
3) Guru Teori dan Praktek : Dampak yang nyata dapat dilihat dari sisi guru adalah bahwa sebagian besar guru telah mengetahui pekerjaan mana yang banyak diperlukan di pasar kerja (dunia usaha industri), namun guru belum banyak mengikuti perkembangan teknologi di dunia usaha dan industri
Dampak selanjutnya adalah dengan kegiatan kemitraan tersebut pihak guru dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang kesesuaian antara kurikulum dan ruang lingkup kerja yang di tingkat dunia usaha dan industri.
4.4.2. Dampak terhadap siswa
Berdasarkan data tersebut menujukkan bahwa dampak selanjutnya setelah proses implementasi, tentu saja dilain pihak terdapat peningkatan kompetensi dan wawasan siswa yang secara otomatis dapat berpengaruh pada motivasi pada siswa dalam mendalami bidang keahliannya, mengembangkan ilmu yang telah diperoleh di sekolah dan dapat membedakan antara kegiatan proses belajar di sekolah dengan dunia kerja/dunia usaha industri, walaupun materi yang didapatkan selama berada didunia usaha industri terkadang tidak relevan dengan kompetensi program studi atau lulusan SMK sehingga berdampak pada kompetensi yang dimiliki siswa setelah selesai melaksanakan prakti industri
Dan diperparah lagi dengan adanya siswa mengetahui bahwa tidak ada jaminan setelah praktik industri dapat diterima bekerja pada perusahaan tempat praktik industri atau menggunakan sertifikat yang diperoleh untuk melamar pekerjaan pada dunia usaha industri lain, dan dengan demikian hal ini berpengaruh pada motivasi belajar siswa menurun setelah pulang dari melaknsanakan praktik industri
4.4.3. Dampak terhadap DUDI
Melalui proses dan program kemitraan dalam rangka pelaksanaan praktik industri, setidak-tidaknya pihak perusahaan dapat mengetahui sikap, kedisplinan, kemampuan dan keterampilan awal siswa sebagai calon tenaga kerja yang akan mengisi peluang kerja yang ada, sehingga sewaktu-waktu perusahaan akan merekrut karyawan baru, maka pihak perusahaan tidak susah-susah melakukan seleksi karena telah memiliki data potensi siswa yang telah melaksanakan praktik indutri.
Namun pada kenyatannya bahwa dunia usaha industri merasakan bahwa dengan adanya pelaksanaan praktik industri masih kurang berpengaruh terhadap produksi perusahaan karena siswa belum dapat diposisikan pada lini produksi. Demikian juga dalam rekrutmen karyawan, siswa atau alumni (lulusan) SMK yang telah melaksanakan praktik industri dan lulusan SMA diperlakukan sama pada saat pealaksanaan rekrutmen karyawan dimana seluruh peserta harus mengikuti tes atau seleksi sebagaimana calon karyawan lain
Lulusan atau alumni SMK awal memasuki dunia kerja masih membutuhkan waktu untuk penyesuaian dan setelah mereka bekerja kurang lebih 6 bulan – 1 tahun lamanya, bagi lulusan SMK mendaptan prioritas pertama untuk menduduki posisi operator jika dibanding dengan lulusan SMA sehingga hampir semua operator merupakan alumni SMK
4.4.4. Dampak terhadap Pemda
Komitmen pemerintah daerah tehadap upaya peningkan kualitas sumberdaya manusia (SDM) Kota Tarakan masih terlihat pada kebijakan pemerintah daerah yang lebih fokus pada peningkatan mutu lulusan pendidikan dasar dan menengah secara umum, pada hal sesuai UU No.20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional khususnya pasal 15 bahwa pendidikan kejuruan diarahkan untuk siap kerja, sehingga disamping meningkatkan mutu, juga harus berusaha meningkatkan relevansi lulusan SMK dalam rangka memenuhi kebutuhan dunia kerja.
Dalam upaya penyiapan lulusan SMK untuk siap kerja, kebijakan pemerintah daerah masih belum optimal mengarah pada upaya penyiapan lulusan SMK yang siap kerja, hal ini ditunjukkan dengan alokasi dana pelaksanaan praktik industri dan uji kompetensi belum teralokasikan pada APBD Dinas Pendidikan Kota Tarakan (Diknas,2005) demikian pula sarana prasarana khususnya pralatan praktik SMK sangat terbatas bahkan hanya 25 - 40 persen yang dapat digunakan ( Daftar Inventaris SMKN 1 & 2)
Berdasarkan uraian temuan penelitian di atas, untuk memberikan gambaran tentang existing model implementasi kebijakan kemitraan pendidikan kejuruan yang telah dilakukan di Kota Tarakan sebagai dasar implementasi kebijakan kemitraan. Existing model kebijakan kemitraan pendidikan kejuruan di Kota Tarakan provinsi Kalimantan Timur dapat dilihat pada visualisasi sebagaimana gambar berikut :
BAB V
PEMBAHASAN TEMUAN PENELITIAN
5.1. Persiapan Implementasi
Pelaksanaan kebijakan kemitraan Sekolah Kejuruan sebelum, selama dan setelah masa otonomi daerah selalu mengacu pada Keputusan Mendikbud Nomor 0490/1992 tentang kerjasama SMK dengan dunia usaha dan industri (DUDI). Tujuan kebijakan ini adalah untuk meningkatkan kesesuaian program SMK dengan kebutuhan dunia kerja yang diusahakan.
Di samping itu juga terdapat Keputusan Bersama Mendikbud dan Ketua Umum Kadin, nomor 0267a/U/1994 dam nomor 84/KU/X/1994, tanggal 17 Oktober 1994. Berbagai aturan tersebut ditegaskan kembali melalui Keputusan Mendikbud Nomor 323/tahun 1996 tentang pendidikan sistem ganda (PSG).
Bahwa setiap SMK wajib melaksanakan praktek industri selama 3 – 4 bulan lamanya pada dunia usaha/industri disesuaikan dengan kompetensi yang akan dicapai. Hal ini berarti bahwa proses pelaksanaan kegiatan praktek industri sekolah kejuruan selalu mengacu pada upaya untuk mencapai sasaran terciptanya dan tercapainya kompetensi yang telah disusun sebelumnya. Mekanisme kerjanya adalah melakukan penyesuaian dengan situasi dan kondisi sekolah dan dunia usaha/industri dengan memilih satu model yang tepat.
Maka selama proses pelaksanaan praktek industri di Kota Tarakan, persoalan relevansi antara program studi yang ada di SMK dengan kebutuhan dunia kerja tidak terlalu mengkhawatirkan bagi kalangan pelaksana program jika dilihat dari aspek juknis dan juklak sebagaimana Kepmendikbud Nomor 323/1996, namun jika dilihat dari Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 (revisi UU Nomor 32 Tahun 2004) tentang pemerintahan daerah masih belum optimal persiapan implementasi kebijakan yang dilakukan baik dari aspek perumus dan pelaksana kebijakan
Berdasarkan bahasan proses persiapan dalam rangka implementasi kebijakan praktek industri di Kota Tarakan yang melibatkan sejumlah stakeholder kebijakan dapat disusun proposisi sebagai berikut
Proposisi 1) : Jika persiapan implementasi dilengkapi dengan perangkat peraturan sesuai kewenangan daerah,standar pelaksanaan, pedoman praktek industri, dan dilakukan sosialisasi dan didukung, sumberdaya SMK dan dunia usaha industri, data dunia usaha industri yang akurat, dan dituangkan dalam naskah kerjasama (MOU) yang menjadi acuan kermitraani, maka pelaksanaan implementasi kebijakan kemitraan dalam rangka praktek industri dapat berjalan secara efektif yang sesuai sasaran capaian kebijakan.
5.2. Proses pelaksanaan kebijakan praktek industri
Proses pelaksanaan kebijakan praktek industri yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pihak sekolah dan industri, pada umumnya terjadi dalam beberapa kegiatan yaitu lebih bersifat prosedural. Hal ini diindikasikan seperti terdapatnya beberapa komponen yang mesti secara mekanistik dan prosedural harus dilakukan sebelum kegiatan lain dalam seluruh rangkaian kegiatan pelaksanaan praktek industri, mulai dari proses penetapan struktur organisasi sekolah hingga pada tahapan penilaian peserta didik.
Perspektif implementasi kebijakan yang berbasis pada mekanistik dan cenderung prosedural seperti tercermin dalam konteks implementasi kebijakan kemitraan sekolah kejuruan di Kota Tarakan adalah relatif memiliki kesamaan dengan teori dan pendekatan implementasi yang diungkap oleh Mazmanian dan Sabatier (1983) dan Rhodes,(dalam Abdul wahab ,2004).
Nampaknya proses yang dilakukan oleh pihak perusahaan tersebut dalam berbagai bentuknya juga berharap bahwa di masa akan datang pihak sekolah hendaknya membekali siswanya tentang profil kompetensi berdasarkan kurikulum sinkronisasi yang akan diperoleh siswa selama di industri. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa proses implementasi kebijakan membutuhkan adanya standar operasional procedure (SOP) yang diungkap oleh Linebery (1978), Anderson (1979) dan Hartono (2002).
Berdasarkan bahasan proses implementasi kebijakan praktek industri di Kota Tarakan yang melibatkan sejumlah stakeholder kebijakan dapat disusun proposisi sebagai berikut
Proposisi 2) Jika struktur organisasi dan mekanisme kerja tim kelompok kerja berfungsi, rapat tim pokja terlaksana secara rutin,jurnal kegiatan siswa tersedia, kegiatan administrasi terpenuhi,pertemuan yang rutin dengan komite sekolah dan orangtua terlaksana secara rutin,pembekalan teknis dilakukan sesuai kebutuhan sekolah dan dunia kerja,komunikasi antara guru pembimbing dengan instruktur industri terbangun dengan efektif,monitoring dilaksanakan secara efektif, serta tenaga penguji dan materi uji kompetensi/uji profesi tersedia sesuai standar kompetensi dunia kerja, maka proses implementasi dapat berjalan lebih efektif serta upaya peningkatan mutu dan relevansi lulusan SMK dapat tercapai
Menurut Grindel (1980) bahwa keberhasilan implementasi kebijakan amat ditentukan oleh Content of policy yaitu Type of Benefits atau terdapat beberapa manfaat bagi pengimplementasi kebijakan yang hendak dilaksanakan. Selanjutnya dipertegas dengan pendapat Islamy (1997) mengatakan bahwa suatu kebijakan negara akan menjadi efektif bila dilaksanakan dan mempunyai dampak positif bagi anggota-anggota masyarakat
5.3. Pembahasan Faktor-faktor yang Berpengaruh
Dengan memerhatikan dua dimensi yaitu faktor internal dan eksternal tersebut yang pada prinsipnya dapat diungkapkan sebagai pengaruh lingkungan kebijakan publik, disimpulkan bahwa kedua lingkungan kebijakan tersebut, masing-masing, memiliki derajat pengaruh terhadap aktivitas praktik industri pada tingkat sekolah. Keduanya secara nyata telah menimbulkan beberapa perubahan mendasar bagi pihak pelaksana program untuk melakukan proses penyesuaian dan penyederhanaan kegiatan yang terkait satu sama lain dengan upaya untuk mencapai sasaran pendidikan sistem ganda.
Persoalan ini menurut pandangan Grindle (1980) bahwa implementasi sebagai proses politik dan administrasi dan dipertegas oleh Van Meter dan Van Horn yang mengatakan bahwa tipologi kebijakan yaitu jumlah masing masing perubahan yang akan dihasilkan dan jangkauan atau lingkup kesepakatan terhadap tujuan di antara pihak pihak yang terlibat dalam proses implementasi
Berangkat dari pembahasan tersebut, penulis kemudian menyusun proposisi sebagai berikut.
Proposisi 3a) Jika lingkungan kebijakan internal maupun eksternal dapat memengaruhi upaya peningkatan mutu dan relevansi lulusan SMK, pada era otonomi daerah ini faktor lingkungan kebijakan internal maupun eksternal menjadi sangat penting untuk diperhatikan karena secara nyata dapat menentukan capaian target sasaran implementasi kebijakan kemitraan
Sistem komunikasi merupakan rangkain kegiatan yang harus dibangun antara perumus kebijakan, stakeholders dan pelaksana kebijakan utamanya yang menekankan pentingnya informasi yang berhubungan dengan program atau kegiatan yang akan dilaksanakan.
Faktor komunikasi yang dijalankan dengan baik antar pelaksana dan perumus program dan juga antara stakeholder dan pihak pelaksana secara langsung mempengaruhi dimensi komitmen staf pelaksana (disposisi). Sehingga kelihatannya kedua faktor inilah yang memiliki sinergi yang sangat besar untuk mendorong capaian dan keberhasilan perjalanan implementasi kebijakan praktek industri.
Proposisi 3b) Jika komunikasi antara perumus program, stakeholders, dan pelaksana program dalam proses pelaksanaan kebijakan kemitraan berlangsung dengan efektif, akan memberikan dampak terhadap keberhasilan pelaksanaan program kemitraan yang secara bersamaan memengaruhi dimensi disposisi.
Dengan penekanan dan temuan penelitian tentang pelaksanaan praktek industri yang ditentukan bukan hanya dalam struktur internal birokrasi pelaksana maupun perumus program, tetapi juga oleh stakeholder yang sangat menentukan kualitas capaian program praktek industri itu sendiri.
Proposisi 3c) Jika faktor internal seperti kepala sekolah,guru,aparat Dinas Pendidikan dan eksternal birokrasi pelaksana, seperti majelis sekolah, pihak orangtua siswa,dunia kerja dan stakeholdes yang ada mendukung program praktik industri, akan memengaruhi capaian program praktik industri yang dilakukan.
Aktivitas pembelajaran dalam konteks praktek industri yang dilaksanakan telah membawa dampak perubahan kinerja pembelajaran pada tingkat sekolah, seperti adanya keharusan pihak sekolah untuk melakukan penyesuaian kurikulum seperti dituntut oleh pihak dunia usaha dan industri, sehingga sangat diperlukan adanya kurikulum terpadu yang dibuat oleh sekolah bersama dunia usaha industri.
Proposisi 3d) Jika penyusunan kurikulum terpadu dilakukan dengan pendekatan: berbasis kompetensi, berbasis luas dan mendasar, dan pengembangan kecakapan hidup kemudian dikomunikasikan secara intensif kepada perumus kebijakan,stakeholders dan pelaksana kebijakan, maka untuk upaya menyiapakan lulusan SMK yang bermutu dan relevan dapat terpenuhi sesuai kebutuhan dunia kerja dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus mengalami percepatan dan berpengaruh terhadap dunia kerja
Ketiadaan sarana yang memadai pada institusi penyelenggaraan praktek industri pada gilirannya mempengaruhi capaian sasaran praktek industri itu sendiri. Dalam kenyataannya dampak menurunnya dan terbatasnya saranan dan prasarana pembelajaran itu lebih disebabkan oleh kurangnya intensitas komunikasi yang dilakukan oleh pihak SMK dan DUDI.
Proposisi 3e) Jika sarana dan prasarana pembelajaran seperti fasilitas praktik, yang ada pada SMK dan dunia usaha industri terpenuhi sesuai dengan standar pelayanan minimal (SPM), maka secara simultan memberikan efek peningkatan motivasi belajar, dan kompetensi / keterampilan siswa .
Adanya kesalahan interpretasi dalam proses pelaksanaan program kemitraan seringkali juga menjadi faktor pengganggu di dalam konteks praktek industri, sehingga pihak pelaksana kadang-kadang melaksanakan kegiatan praktek industri tidak sesuai dengan petunjuk teknis yang ada. Aspek monitoring dan evaluasi penyelenggaraannya dengan cara seperti itu merupakan aspek utama yang dapat mempengaruhi kinerja pelaksanaan praktek industri.
Proposisi 3f) Jika pelaksanaan monitoring dilakukan oleh para guru pembimbing secara optimal dan penuh variasi (variatif), secara praktis dapat memengaruhi kinerja pelaksanaan praktik industri.
5.4. Dampak implementasi
Sebagaimana pandangan yang dikemukan oleh Islamy (1997) bahwa setiap kebijakan yang telah dibuat dan dilaksanakan akan membawa dampak tertentu terhadap kelompok sasaran, baik yang positif (intended) maupun yang negatif (unintended) dan sesuai data temuan bahwa kegiatan praktik industri yang dilakukan saat ini telah memberikan dampak terhadap sekolah yaitu membantu dalam mengatasi keterbatasan/kekurangan peralatan atau sarana dan prasarana praktik siswa di sekolah, sangat membantu keterbatasan dana operasional praktik siswa selama satu semester atau telah terjadi efisiensi anggaran, dan mendapat mitra unit produksi serta mendaptkan tempat penyaluran tenaga kerja.
Hal ini sesuai dengan pandangan Patton dan Sawicki (1986) bahwa perubahan kondisional dimaksudkan sebagai adanya perubahan yang terjadi dan diakibatkan oleh implementasi kebijakan publik, baik perubahan secara langsung (direct outcomes) dan perubahan yang secara tidak langsung (indirect outcomes). Islamy (1997). Ia mengatakan bahwa suatu kebijakan negara akan menjadi efektif jika dilaksanakan dan mempunyai dampak positif bagi anggota-anggota masyarakat.
Dampak yang nyata dapat dilihat dari sisi guru bahwa sebagian besar guru telah mengetahui pekerjaan mana yang banyak diperlukan di pasar kerja (dunia usaha industri), dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang kesesuaian antara kurikulum dan ruang lingkup kerja yang ada di tingkat dunia usaha dan industri. Selanjutnya adalah bahwa guru belum banyak mengikuti perkembangan teknologi dan mengenal karakteristik di dunia usaha industri serta belum ada upaya untuk melakukan sinkronisasi bahan ajar di sekolah dengan dunia usaha industri sehingga berakibat guru tidak melakukan inovasi pembelajaran di kelas, pada hal peluang untuk melakukan kegiatan tersebut agar proses pembelajaran yang dilakukan lebih bermakna sebagaimana konsep kurikulum berbasis kompetensi
Berangkat dari pembahasan tersebut, penulis kemudian menyusun proposisi sebagai berikut
Proposisi 4a : Jika guru memiliki wawasan dan kompetensi sesuai perkembangan teknologi dan kebutuhan pasar kerja (dunia usaha industri), maka sangat berpengaruh terhadap capaian implementasi kebijakan misalnya guru dapat melakukan inovasi pembelajaran di kelas sesuai kebutuhan dunia kerja
Faktor guru cukup berpengaruh dalam implementasi kebijakan dan berdamapk langsung pada perubahan sekolah sebagai sistem sekolah (Prawat,1992) . Faktor guru tentang konsep mengajar, motif berpresatasi dan persiapan mengajar mempengaruhi pelaksanaan pembelajaran di kelas (Nana syaodih,1983) . Pengetahuan, kemapauan dan sikap guru atau instruktrur sangat berperan dalam implemenatsi suatu perubahan, Kepedulian guru sebagai pelaksana inovsai, sangat berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi
Dampak langsung yang terjadi terkait dengan pencapaian sasaran praktik industri terhadap para siswa peserta praktik industri adalah para siswa setelah mengikuti kegiatan praktik industri umumnya dapat menambah rasa percaya diri dan pengalaman kerja. Hal ini diperkuat oleh Ghozali (2000) dan Pshacaropoulus (1987) dalam perspektif teori human capital, bahwa pendidikan merupakan salah satu bentuk investasi manusia yang menanamkan ilmu pengetahuan, keterampilan/keahlian, nilai, norma, sikap, dan perilaku yang berguna bagi manusia sehingga manusia tersebut dapat meningkatkan kapasitas belajar dan produktifnya
Dengan demikian melalui media itu mereka dapat menambah pengetahuan dan keterampilan. Demikian pula dampak selanjutnya setelah proses implementasi, tentu saja terdapat peningkatan kompetensi siswa dan juga secara otomatis dapat meningkatkan motivasi pada siswa dalam mendalami bidang keahliannya, mengembangkan ilmu yang telah diperoleh di sekolah dan dapat membedakan antara kegiatan proses belajar di sekolah dengan dunia kerja/dunia usaha industri.
Sementara itu, siswa setelah pulang dari melaksanakan praktik industri, motivasi belajarnya di sekolah menurun. Hal itu diakibatkan tidak adanya jaminan setelah praktik industri dapat diterima bekerja pada perusahaan tempat praktik industri, belum lagi ketika siswa melaksanakan praktik industri, mereka hanya ditempatlkan pada sublini produksi yang tidak sesuai dengan kompetensi jurusan yang mereka miliki
Dengan demikian pandangan yang berbeda dikemukakan oleh Kiel (1990) dan Berryamen,(1993). menyatakan bahwa jenis pekerjaan yang dilakukan oleh siswa selama mengikuti praktik industri merupakan salah satu komponen yang paling menentukan kualitas pembelajaran
Berangkat dari pembahasan tersebut, penulis kemudian menyusun proposisi sebagai berikut :
Proposisi 4b) : Jika sistem pembelajaran yang mempersiapkan siswa agar lebih mampu bekerja pada satu kelompok pekerjaan atau satu bidang pekerjaan tertentu, maka akan didapatkan lulusan SMK yang memiliki potensi dasar yang eksploratif, mandiri, inovatif, dan profesional yang saiap memasuki dunia kerja formal dan informal
Dunia usaha industri merupakan salah satu elemen yang penting dalam dunia ketenagakerjaan, hal ini tidak bisa dipungkiri karena dunia usaha industri merupakan salah satu penyerap tenaga kerja yang cukup dominan sehingga perlu adanya penyesuian antara dunia usaha industri dengan dunia pendidikan sebagai sumber penghasil tenaga kerja.
Untuk itu, siswa harus dibekali pengetahuan teori dan keterampilan praktis juga sikap dan pola tingkah laku sosial serta wawasan politik tertentu. Itu semua mutlak diperlukan sebagai bekal yang berharga untuk meraih sukses dalam rangka memasuki dunia kerja baik sebagai pekerja di perusahaan ataupun sebagai wirausaha yang mandiri dan untuk menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab (Schiopepers dan Patriana, 1994).
Sementara itu, dunia usaha industri merasakan bahwa dengan adanya pelaksanaan praktik industri masih kurang berpengaruh terhadap produksi perusahaan, karena siswa belum memiliki kompetensi sesuai kebutuhan dunia kerja sehingga belum dapat diposisikan pada lini produksi. Demikian juga dalam rekrutmen karyawan, siswa peserta praktik industri harus mengikuti tes atau seleksi sebagaimana calon karyawan lain.
Proposisi 4c) Jika dunia usaha industri telah memiliki komitmen tinggi dan menempatkan siswa praktik industri pada lini produksi, maka lulusan SMK yang telah melaksanakan praktik industri akan memiliki keterampilan sesuai kebutuhan dunia kerja dan memudahkan siswa mendapatkan peluang untuk mendapatkan pekerjaan setelah lulus
Namun jika kita lihat dari perspektif kebijakan pendidikan kejuruan yang tentunya berbeda dengan pendidikan umum, apalagi jika dikaitnkan dengan kewenangan daerah untuk meningkatkan mutu dan relevansi lulusan SMK maka hal itu belum mampu mengangkat pelaksanaan program kemitraan secara lebih profesional karena masih bersifat umum, padahal persoalan pengelolaan SMK agak berbeda dengan pendidikan lainnya. Hal tersebut menujukkan bahwa komitmen Pemkot/DPRD terhadap peningkatan mutu dan relevansi lulusan SMK masih perlu ditingkatkan baik dari sisi pelaksanaannya maupun implementasi program-programnya.
Sementara sebagian dunia kerja (dunia usaha industri) telah menglokasikan anggarannya untuk program parktik industri melalui program tahunan perusahaan tetapi ada juga tidak menglokasikan dana untuk kegitan tersebut. Menurut Hasbullah ( 2006) bahwa pembiyaan pendidikan atau sekolah adalah kegiatan mendapatkan biaya serta mengelola anggaran pendapatan dan belanja pendidikan
Proposisi 4d): Jika Pemerintah daerah dapat melibatkan stakeholders pendidikan untuk berpartisiapsi dalam meningkatkan anggaran pendidikan dengan cara menetapkan peraturan daerah tentang retribusi pendidikan bagi pengusaha/investor dan masyarkat, maka upaya pencarian sumber pendapatan pendidikan bagi pembiayaan pendidikan bagi SMK dapat ditingkatkan sesuai kebutuhan sekolah, dengan tanpa banyak membebani APBD setiap tahun anggaran
5.5. Rekonstruksi ( Reconstruction) Teori
Berdasarkan seluruh temuan penelitian, teori Edward III ( 1980) dan proposisi minor yang telah disusun, maka dapat dirumuskan :
Proposisi Mayor: Jika persiapan dan proses implementasi kebijakan yang didukung faktor lingkungan kebijakan internal maupun eksternal, komunikasi antara perumus program, stakeholders dan pelaksana, internal dan eksternal birokrasi pelaksana dan stakeholders, penyusunan kurikulum terpadu, sarana dan prasarana pembelajaran terpenuhi sesuai standar prosedur operasional, pelaksanaan monitoring dilakukan secara optimal dan penuh variasi (variatif), maka tujuan dari implementasi kebijakan kemitraan pendidikan kejuruan dalam rangka untuk meningkatkan mutu dan relevansi lulusan SMK akan tercapai
Berdasarkan proposisi tersebut bahwa tujuan dan sasaran implementasi kebijakan kemitraan pendidikan kejuruan dalam rangka meningkatkan mutu dan relevansi lulusan dapat tercapai sangat ditentukan oleh persiapan dan proses implementasi kebijkan dilakuakan oleh perumus, stakeholders dan pelaksana kebijakan dan dengan memperhatikana beberapa faktor-faktor yang berpengaruh yaitu lingkungan kebijakan internal maupun eksternal, komunikasi antara perumus program, stakeholders dan pelaksana, pelaksanaan monitoring dilakukan secara optimal dan penuh variasi (variatif), penyusunan kurikulum terpadu, sarana dan prasarana pembelajaran terpenuhi sesuai standar prosedur operasional dan internal dan eksternal birokrasi pelaksana dan stakeholders
Proposisi yang dibangun oleh peneliti berkenaan dengan implementasi kebijakan praktek industri melalui kemitraan SMK dan Dunia usaha dan industri di Kota Tarakan, mendukung penelitian yang dilakukan oleh Bukit (1997) , Stansaker dan Aamodt (2002) lebih melihat dampak kebijakan sebagai sesuatu yang dipengaruhi oleh komitmen stafnya. Selain itu penelitian Riyanto (1998), Anwar (2002), Birtwhistle (2001) dan Smith (2003) yang menemukan bahwa proses implementasi kebijakan membutuhkan pengetahuan, keahlian dan perilaku dukungan dari pendidik, respons emosional pendidik terhadap kebijakan pendidikan. Kemudian Joyce Wilkonson (2000) menemukan faktor lain diluar dimensi teori Edward III (1980) dan Prater dan Sileo (2002) yang menemukan peran dan tanggungjawab para stakeholders serta para pihak patner.
Maka dengan demikian peneliti ini mendukung teori Edwrad III (1980) dan Van Metter dan Van Hirn (1975) dan mengembangkan (rekonstruksi) teori Edward III tersebut terhadap berbagai faktor yang esensial memengaruhi dan menentukan.berkenaan dengan implementasi kebijakan praktik industri melalui kemitraan SMK dan dunia usaha dan industri di Kota Tarakan,
Sebagaimana yang dijelaskan di atas, penelitian ini dapat menyimpulkan sebagai temuan utama penelitian yaitu dengan melakukan pengembangan (rekonstruksi) teori Edward III terhadap berbagai faktor yang memengaruhi proses pelaksanaan kebijakan yang diuraikan sebagaimana gambar 14 berikut
Gambar 14 Rekonstruksi Teori (Theory Reconstruction)
Berdasarkan Gambar 14 tersebut, menurut Edward III (1980) menyatakan bahwa implemenasi kebijakan dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu komunikasi, struktur birokrasi,disposisi dan sumbrdaya dan dari keempat faktor tersebut mempunyai derajat pengaruh yang sama atau tidak ada yang dominan mempengaruhi proses implementasi, namun dalam temuan penelitian ini menemukan bahwa faktor lingkungan kebijakan internal maupun eksternal dan komunikasi sangat berpengaruh terhadap proses implemenatsi kebijakan kemitraan di Kota Tarakan. Oleh karena intensitas pengaruhnya lebih besar dari pada faktor disposisi (sikap dan komitmen), sumber daya dan struktur birokrasi terhadap proses implementasi kebijakan kemitraaan yang menyebabkan tidak terbangunnya komunikasi antara perumus, stakeholders dan pelaksana kebijakan (Multy stakeholders).
Berdasarkan hasil penelitian ini, yang difokuskan pada analisis implementasi kebijakan Kemitraan dalam rangka pelaksanaan praktik siswa SMK, terdapat beberapa elaborasi yang perlu dikembangkan dari teori tersebut berdasarkan fenomena yang ditemukan di lapangan, sebagai berikut:
6.5.1. Lingkungan Kebijakan Internal dan Eksternal
Di antara seluruh faktor yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan yang diidentifikasi tersebut dalam rekonstruksi teori Edward III (1980) ditemukan faktor-faktor lain yang yang ikut mempengaruhi imlementasi kebiajakan yaitu faktor lingkungan kebijakan kemitraan menjadi isu sentral yang juga mempunyai pengaruh dan dampak langsung terhadap capaian program kemitraan yang ada di Kota Tarakan.
Konsep awal teori tentang faktor yang mempengaruhi kinerja kebijakan yang dijelaskan oleh Edward tersebut pada prinsipnya tidak menjelaskan dan memasukkan faktor lingkungan sebagai faktor penting dalam proses mencapai sasaran kebijakan melalui implementasi. Sebagai temuan utama penelitian ini adalah telah memberikan konstribusi terhadap pengembangan (reconstruction) teori Edward III dengan memasukkan faktor lingkungan kebijakan sebagai faktor penting yang mempengaruhi seluruh elemen proses implementasi kebijakan.
Elaborasi dari temuan tersebut juga relevan dengan pandangan Anderson (1979) bahwa lingkungan kebijakan merupakan segala hal yang berada di luar kebijakan tetapi mempunyai pengaruh terhadap kebijakan pendidikan. Pengaruh yang dimaksud bisa jadi besar, kecil, langsung, tidak langsung, laten, dan jelas. Pendapat yang sama juga diungkap oleh Supandi (dalam Imron, 2002) yang menyatakan bahwa lingkungan kebijakan pendidikan meliputi kondisi sumber daya alam, iklim, topografi, demografi, budaya politik, struktur sosial, dan kondisi ekonomi.
Faktor lingkungan kebijakan ini selanjutnya juga sangat diperlukan untuk melihat konstribusinya terhadap kinerja kebijakan, seperti dijelaskan oleh Hammersley dkk (1968) dan Dye (1972) yang menyebutkan bahwa lingkungan kebijakan pendidikan terdiri atas lingkungan nonpolitik (demografi, urbanisasi, industrialisasi, dan lain-lain) mempunyai pengaruh dominan terhadap kebijakan. Dan hal ini dipertegas oleh Tadjab (1994) menyatakan bahwa dalam sistem pendidikan nasional suatu bangsa, maka seluruh wilayah, budaya dan masyarakat, bangsa dan negara adalah merupakan lingkungan dari sistem pendidikan nasional yang bersangkutan yaitu diantaranya: (1) lingkungan fisik (alam dan benda fisik), (2) lingkungan kebudayaan (segala sesuatu yang dihasilkan manusia) dan (3) lingkungan sosial (pergaualan dalam keluarga, lembaga, organisasi ataupun masyarakat luas).Lebih lanjut Dunn (1998) terkait dengan persoalan lingkungan ini juga menyatakan ada tiga elemen dasar dalam sistem kebijakan yaitu (a) Pelaku Kebijakan, (b) Kebijakan Publik, (c) Lingkungan Kebijakan, Dimana Lingkungan kebijakan yaitu suasana tertentu dimana kejadian-kejadian sekitar isu kebijakan itu timbul ,mempengaruhi dan juga dipengaruhi oleh pelaku kebijkan dan kebijakan publik
Hal ini mengindikasikan bahwa lingkungan kebijakan dimaksud bisa saja kebijakan internasional, nasional, regional dan lokal demikian juga faktor wilayah, budaya, masyarakat, bangsa dan negara sangat mempengaruhi capaian suatu program, seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah maupun Surat Keputusan Bupati atau Walikota, sehingga dalam mengimplementasikan suatu kebijakan harus memperhatikan faktor tersebut apalagi di era otonomi daerah saat ini faktor lingkungan kebijakan ini sangat penting untuk menjadi perhatian dalam mengimplentasikan kebijakan publik. Berkenaan dengan Model rekonstruksi yang dirumuskan di atas, maka lingkungan kebijakan yang berpengaruh dapat disebut sebagai lingkungan internal dan eksternal. Pada prinsipnya penelitian ini mendukung konsep yang dikemukan oleh Agustino (2006), Dunn (1998), Dye (1972), Anderson (1979), Hammersley dkk (1968), Tadjab (1994) dan Supandi (dalam Imron, 2002).
Dalam rekonstruksi teori Edward III (1980) tersebut, menemukan bahwa faktor komunikasi sangat berpengaruh terhadap proses implemenatsi kebijakan kemitraan di Kota Tarakan. Ha ini ditunjukkan tidak terlaksananya proses penyampaian informasi kebijakan dari pembuat kebijakan (policy maker) kepada pelaksana kebijakan (policy implementors).atau antar stakeholders sehingga mengakibatkan tidak tersusunya kurikulum terpadu antara SMK dengan dunia indsutri (DudI) dan tidak terlaksananya monitoring yang efektif yang hal ini berdampak pada capaian implementasi kebijakan kemitraan.
Hasil penelitian ini justru memperkuat teori Edward III yang menjelaskan bahwa faktor komunikasi adalah faktor penting yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan pendidikan. Meskipun demikian, perlu dikembangkan dengan memasukkan faktor lingkungan kebijakan sebagai faktor yang juga mempunyai konstribusi yang besar terhadap proses implementasi.
Dengan demikian, tidak terbangunnya komunikasi yang efektif maka dapat mengakibatkan tidak terimplementasinya kebijakan publik dengan baik dan dapat mempengeruhi lingkungan kebijakan baik internal maupun eksternal. Berdasarkan rekonstruksi itu juga nampak bahwa komunikasi juga mempengaruhi faktor disposisi (sikap dan komitmen), sumberdaya, dan struktur birokrasi. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini mendukung konsep yang dikemukan Edwrad III (1980), Van Metter dan Van Horn (1975), Dunn (2000) dan Hood (dalam Islamy,2001). Ini juga dapat diartikan bahwa konsep komunikasi dalam proses implementasi kebijakan meskipun menentukan proses implementasi, tetapi konteks lingkungan kebijakan masih tetap mempengaruhi pelaksanaan kebijakan itu sendiri.
6.5.3. Faktor Disposisi (Disposition)
Dalam pandangan Edward III (1980) bahwa keberhasilan implementasi kebijakan bukan hanya ditentukan oleh sejauhmana para pelaku kebijakan (implementors) mengetahui apa yang harus dilakukan dan mampu melakukannya, tapi juga ditentukan oleh kemauan (sikap) dan komitmen kuat para pelaku kebijakan terhadap proses implementasi.
Dalam konteks disposisi birokrasi yang dijelaskan di atas yang menjadi faktor ketiga determinan yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan kemitraan, maka diperlukan adanya perda atau keputusan dinas pendidikan harus dibuat dalam rangka mengatur penyelenggaraan kebijakan kemitraan dalam rangka pelaksanaan praktik industri yang hal ini. Konteks tersebut secara langsung terkait dengan konsepsi Mazmanian dan Sabatier (dalam Agustiono, 2006) bahwa aturan-aturan pembuat keputusan dan badan-badan pelaksana, selain dapat memberikan kejelasan dan konsistensi tujuan, memperkecil jumlah titik-titik veto, dan insentif yang memadai bagi kepatuhan kelompok sasaran.
Keterkatian berbagai faktor yang mempengaruhi aktivitas implementasi tersebut pada prinsipnya juga dapat dirumuskan sebagai suatu konsep yang saling mempengaruhi dilihat dari model rekonstruksi yang ada. Hal ini berarti bukan hanya secara independen mempengaruhi konteks implemetnasi kebijakan kemitraan, tetapi juga secara internal mempengaruhi pelaksanaannya yang ditunjang oleh faktor – faktor yang lain. Maka penelitian ini mendukung konsep Edward III (1980), Van Metter & Van Horn (1975) dan Mazmanian Sabatier (dalam Agustino,2006)
6.5.4. Faktor Sumber Daya (Resources)
Faktor ketiga yang peneliti temukan, terkait dengan faktor yang mempengaruhi proses implemetnasi kebijakan kemitraan adalah faktor sumber daya kebijakan. Sumberdaya merupakan sarana prasrana yang digunakan untuk mengoptimalisasikan implementasi suatu kebijakan, terbatasnya sumberdaya berarti ketentuan dan aturan-aturan tidak akan menjadi kuat dan pengaturan-pengaturan (regulations) tidak akan terlaksana. Faktor ini kemudian memberikan implikasi perlunya konteks kebijakan kemitraan itu sendiri diperbaiki dari sisi sumber daya yang dimilikinya. Dalam pandangan Edward III (1980) dan Van Metter dan Van Horn (1975) diungkap bahwa sumberdaya merupakan pendorong dan perangsang (incentive) dalam memperlancar implementasi kebijakan yang efekti
Oleh karena itu, penelitian ini tetap mendukung teori Edward III, yang menjelaskan bahwa faktor sumber daya mempunyai efek simultan dalam memberikan pengaruhnya terhadap kondisi implementasi kebijakan publik. Dengan penekanan terhadap pentingnya sumber daya tersebut kiranya semakin jelas bahwa efek sumber daya bukan hanya melibatkan konteks implemetnasi secara mikro tetapi juga telah memberikan beberapa peneggasan akan perlunya sumber daya dipersiapkan dalam proses implementasi kebijakan, termasuk kebijakan kemitraan SMK.
Maka penelitia ini mendukung konsep Edward III (1980), Van Metter dan Van Horn (1975), Grindle, 1980 (dalam Agustino, 2006) bahwa keberhasilan implementasi kebijakan sangat ditentukan oleh faktor sumberdaya.
6.5.5. Faktor Struktur Birokrasi (Bureaucratic Structure)
Faktor struktur birokrasi merupakan faktor terakhir dari seluruh faktor yang turut mempengaruhi kotneks implementasi kebijakan kemitraan. Faktor ini dalam pandangan Edward III (1980) diungkap bahwa struktur birokrasi merupakan secara keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan, dimana terdapat dua karkteristik birokrasi yang dapat memperlancar birokrasi yaitu standar operating presedur (SOP) dan fragmentasi. Dengan demikian konteks implemetnasi yang berhasil juga banyak ditentukan oleh faktor sturktur birokrasi ini. Apalagi setelah konsep otonomi daerah diaplikasikan di daearh-daerah, kelihatan bahwa pelaksanaan kebijakan sangat dipengaruhi oleh sturktur birokrasi yang ada.
Salah satu indikasi pentingnya struktur birokrasi ini dalam temuan model adalah SOP (Standart operational procedure) di mana faktor ini berfungsi untuk menanggulangi keadaan – keadaan umum digunakan dalam organisasi – organisasi publik maupun swasta, sehingga para pelaksana dapat memanfaatkan waktu yang tersedia dan menyeragamkan tindakan – tindakan dari pejabat dalam organisasi. Dilihat dari konteks dan konsep Edward III (1980), maka pengaruhi faktor sturkutr birokrasi ini juga tetap mendukung konsepsi Edward namun pengaruh ini dianggap mempengaruhi proses implementasi secara kontinyu dan terakhir.
Konsep pengaruhi sisi sturktur birokrasi ini sangat relevan dengan perspektif fragmentasi yang berfungsi untuk mengkoordinasikan kebijakan dengan badan-badan lain yang melaksanakan program-program yang berhubungan. Hasil penelitian ini mendukung pandangan tersebut dengan mengacu pada pandangan yang diungkap oleh Peter and Roger (dalam Perry, 1999), Islamy (2002); Dunn (2000); Thoha (2002) bahwa birokrasi yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan tersebut harus benar-benar memerhatikan tuntutan-tuntutan masyarakat yang terkena efek kebijakan.
Mencermati berbagai konsep, temuan lapangan, proposisi dan rekonstruksi teori Edward III (1980), maka pada prinsipnya hasil penelitian yang dilakukan tentang implementasi kebijakan kemitraan pendidikan kejuruan secara langsung telah memperluas cakupan wilayah studi implementasi kebijakan pada umumnya dan kebijakan pendidikan pada khususnya. Dan lebih memperluas konsep dan pendekaan model implementasi top down dalam konteks impelementasi kebijakan publik yang selama ini tidak relevan digunakan dalam konteks pendidikan kejuruan
Hal ini dapat diindikasikan dari tidak hanya sebatas faktor internal birokrasi dan struktur yang sangat rigid mempengaruhi proses implementasi, tetapi juga diperlukan analisis faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi kualitas proses implementasi yang dilakukan. Kesemua faktor tersebut menjadi bahan utama yang harus diperhatikan oleh para pelaksana kebijakan di tingkat lapangan.
BAB. VI.
MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KEMITRAAN
PENDIDIKAN KEJURUAN BERBASIS DUNIA KERJA
6.1. Rasional dan Asumsi Dasar Pengembangan Model
Berdasarkan konsep/teori, data temuan penelitian, pembahasan temuan penelitian, proposisi minor, proposisi mayor dan rekonstruksi teori ada beberapa faktor yang memengaruhi proses implementasi kebijakan.Dalam hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yang di antaranya faktor lingkungan kebijakan internal maupun eksternal, komunikasi, perilaku (komitmen), sumber daya dan struktur birokrasi yang berdasarkan temuan tersebut, peneliti merekomendasikan model kebijakan pendidikan kejuruan sebagai perbaikan sistem dan kebijakan sebelumnya yaitu model implementasi kebijakan praktik Industri dalam rangka peningkatan mutu dan relevansi lulusan SMK.
Selanjutnya, perbaikan sistem atau kebijakan menurut Jenkins, (1978) bahwa studi implementasi adalah studi perubahan bagaimana perubahan terjadi dan bagaimana perubahan bisa dimunculkan. Kemudian, Lendrum (2003) menyatakan bahwa untuk melakukan perubahan dalam berbagai kegiatan, kita harus mulai dengan mengubah paradigma dalam menyikapi dan memecahkan berbagai persoalan serta berorientasi pada perubahan paradigma yang ada dalam lingkungan internal dan eksternal.
Dalam kehidupan, mengubah paradigma berarti ”fundamentally altering the way thing the done” dan lebih lanjut Lendrum (2003) mengemukakan sebuah ilustrasi yang menarik dari perubahan paradigma sebagai berikut.”A paradigm shift can be as simple as moving from a ’base salary plus overtime component linked in large part to rework and breakdown environment to an ’annualized salary’ work environment based on high productivity and reliability.”
Dengan mengembangkan model kebijakan kemitraan pendidikan kejuruan diharapkan terwujud lulusan yang memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap kreatif, dan inovatif. Oleh karena itu, penyelenggaraan praktik industri dalam kerangka kemitraan berbasis dunia kerja perlu ditingkatkan efektivitasnya sehingga birokrasi lebih responsif terhadap tuntutan masyarakat, lebih adaptif terhadap perubahan-perubahan dan memiliki produktivitas yang lebih tinggi.
6.2. Rekomendasi Model Implementasi Kebijakan Kemitraan Pendidikan Kejuruan Berbasis Dunia Kerja
Tujuan pendidikan kejuruan adalah membekali siswa agar memiliki kompetensi perilaku dalam bidang pekerjaan tertentu sehingga mampu bekerja demi masa depan dan kesejahteraan bangsa. Pendidikan kejuruan memiliki karakteristik yang berbeda dengan pendidikan umum, ditinjau dari kriteria pendidikan, substansi pelajaran, dan lulusannya
Dalam upaya mengantisipasi perubahan paradigma sebagaimana dipaparkan di atas, dapat direkomendasikan model implementasi kebijakan kemitraan pendidikan kejuruan berbasis dunia kerja sebagai solusi peningkatan kualitas dan perbaikan sistem penyelenggaraan praktik industri yang telah berlangsung sejak tahun 1996 tersebut.
Untuk mewujudkan dan membangun “suasana sinergis” dalam menyiapkan tenaga kerja yang siap bersaing dalam era globalisasi, perlu dipadukan konsep link and match, life skills education, dan holistik education sebagai dasar pengembangan model implementasi kebijakan kemitraan pendidikan kejuruan berbasis dunia kerja
Adapun yang menjadi prioritas dalam pengembangan model implementasi kebijakan kemitraan pendidikan kejuruan berbasis dunia kerja yaitu sebagai berikut.
(1) Meningkatkan kualitas networking (kemitraan) dan komunikasi perumus kebijakan tingkat kota (dinas pendidikan, dunia usaha industri, dan asosiasi profesi yang difasilitasi oleh dewan pendidikan), tingkat sekolah (SMK, perusahaan dan komite sekolah yang difasilitasi oleh tim kelompok kerja) dengan pelaksana kebijakan (guru pembimbing, instruktur industri, dan orangtua yang difasilitasi oleh tim kelompok kerja).
(2) Meningkatkan kualitas program kegiatan kerjasama dalam pengembangan kompetensi siswa, antara lain: pengembangan kompetensi tenaga pendidik, sinkronisasi kurikulum dan pembuatan modul pembelajaran, penyediaan sarana dan prasarana, dukungan dana operasional bersumber dari APBD, pelaksanaan monitoring dan evaluasi yang kontinu.
(3) .Meningkatkan kualitas program pembelajaran di sekolah maupun pembelajaran di dunia usaha industri (pelaksanaan praktik industri) dengan mengacu pada hasil ”need assessment” dengan melibatkan semua stakeholders kebijakan kemitraan pendidikan kejuruan.
Untuk selanjutnya dalam rekomendasi model ini juga dijelaskan tahapan persiapan implementasi kebijakan kemitraan yang direkomendasikan sebagimana rekonstruksi teori Edward III (1980) bahwa selaian 4 faktor yang berpengaruh terhadap implementasi juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan internal dan eksternal, dengan memperhatikan ke 5 faktor tersebut direkomendasikan tahapan persiapan ini sebagai berikut Pertama bahwa kedua institusi mempunyai kebijakan yang sama ketersedian tenaga kerja yang berkualitas dan memilki kompetensi, Kedua, Tim kelompok kerja melakukan pendekatan kepada kedua lembaga dalam rangka mensinkronkan bentuk proses belajar mengajar yang dilakukan di sekolah maupun di dunia usaha industri
Disamping itu juga perlu memperhatikan beberapa hal yang akan berpengaruh diantaranya pemahaman stakeholders terhadap peraturan yang menajdi dasar pelaksanaan, adanya standar pelaksanaan, adanya pedoman praktek industri, peningkatan kualiats dan kompetensi guru, penyusunan kurikulum terpadu, pemenuhan sarana dan prasrana misanya ratio fasilitas praktek dengan jumlah siswa, adanya sumber dana dan teralokasinya anggaran praktik industri, pelaksanaan proses belajar mengajar, adanya dunkungan dunia usaha industri yang relevan, dan adanya MOU yang menjadi acuan kermitraan.
TAHAP I
Gambar 18 Persiapan Implementasi Kebijakan Kemitraan Pendidikan Kejuruan
berbasis Dunia Kerja
Maka tahapan selanjutnya tentang proses implementasi kebijakan kemitraan pendidikan kejuruan sesuai hasil temuan, proposisi dan rekonstruksi teori maka proses implementasi kebijakan dimulai perumusan tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran dan program aksi yang harus didukung oleh beberapa faktor sebagaimana diungkap oleh Edward III (1980), Grindel (1980) dan Bardach (dalam Patton and Sawicki, 1986) gambar berikut :
Gambar 19 Proses Implementasi kebijakan Kemitraan Pendidikan Kejuruan
Berbasis Dunia Kerja
Keterangan gambar : Memengaruhi : Saling berpengaruh
Berdasarkan gambar 11 tersebut bahwa proses implementasi kebijakan kemitraan pendidikan kejuruan dimulai sejak rekrutmen siswa dilakukan sampai dengan pemasaran tamatan, pihak dunia usaha indsutri sudah dilibatkan sehingga diharapkan dunia usaha industri merasa bertanggungjawab terhadp kelangsungan pendidikan.
Adapun langkah yang direkomendasikan dalam proses implementasi kebijakan kemitraan ini, Pertama , saat seleksi masuk siswa baru dilakukan didalam kepanitian terdapat unsur sekolah dan unsur dunia usaha industri, Kedua, kemudian dalam proses pembelajaran di sekolah saat siswa berada di kelas I diberi pembekalan baik yang besifat teori maupun dasar-dasar praktik (paket pembekalan) dan siswa berkewajiban melaksanakan orientasi pada dunia usaha industri kurang lebih 1 bulan lamanya, ketiga, saat siswa berada dikelas II diberi pembekalan teori dan praktik serta dibekali modul-modul pembelajaran dan siswa berkewajiban melaksanakan penugasan di dunia usaha selama minimal 2 bulan lamanya,keempat, saat siswa berada dikelas III diberi pembekalan teori dan praktik serta dibekali modul-modul pembelajaran dan siswa berkewajiban melaksanakan penugasan pada lini produksi di dunia usaha industri minimal selama 3 bulan lamanya
Selanjutnya siswa yang telah mengikuti praktek industri harus mengikuti uji kompetensi yang dilaksanakan oleh sekolah bersama dunia usaha indsutri (Dudi) , maka berdasarkan hasil uji kompetensi dan uji profesi tersebut pihak sekolah dalam hal ini tim pokja praktik industri (TPPI) mengkomunikasikannya kepada bursa tenaga kerja (BTK) demikian juga pihak dunia usaha industri (dudi ) dalam hal ini unit pengembangan praktik industri (UPPI) memberi informasi tentang peluang kerja yang ada kepada bursa tenaga kerja (BTK) dan selajutnya bursa tenaga kerja (BTK) mengomunikasikan kembali kepada sekolah atau tim pokja praktik industri (TPPI) tentang peluang tersebut dan selanjutnya pihak sekolah mengkominikasikannya dengan siswa yang berminat.
Pengembangan model implementasi kebijakan kemitraan pendidikan kejuruan berbasis dunia kerja ini didasarkan pada hasil analisis data temuan lapangan, analisis data dan proposisi yang didapat dengan menggunakan teori Edward III sebagai alat analisisnya di mana didapatkan pengembangan (rekonstruksi) teori Edward III tersebut yang dengan berdasarkan perspektif komunikasi (communication), lingkungan kebijakan, disposisi (disposition), sumber daya (resources), dan struktur birokrasi (bureaucratic structure) dan berdasarkan rekonstruksi teori Edward III ini dijadikan dasar untuk pengembangan model kebijakan kemitraan pendidikan kejuruan berbasis dunia kerja, yang dirangkum pada gambar berikut
Gambar 20 Rekomendasi Model Implementasi Kebijakan Kemitraan Pendidikan
Kejuruan Berbasis Dunia Kerja
Keterangan gambar:
: Saling berpengaruh Memengaruhi
Gambaran model implementasi kebijakan kemitraan pendidikan kejuruan berbasis dunia kerja seperti tertuang di atas (recommended model) jika dibandingkan dengan model implementasi sebelumnya (existing model) tampak terdapat beberapa perbedaan yang sangat mendasar baik dalam logika proses implementasinya maupun variasi komponen yang memengaruhi aktivitas untuk mencapai sasaran kebijakan kemitraan.
Secara deskriptif, bangun proses implementasi yang dirumuskan tersebut diawali oleh isu strategis kebijakan kemitraan yang sangat menentukan keberhasilan proses implementasi mencapai sasaran kebijakan.
Di samping itu aspek lingkungan itu merupakan fokus awal dalam tahapan pengembangan model implementasi kebijakan kemitraan dengan melihat aspek lingkungan kebijakan yang sangat berpengaruh terhadap beberapa aspek lain dalam konteks teori implementasi yang digagas oleh Edward III.
6.3. Perangkat dan Komponen Model serta Hubungan antara Komponen
6.3.1. Perangkat Model Kebijakan Kemitraan Pendidikan Kejuruan Berbasis Dunia Kerja
Dalam rangka merealisasikan model kebijakan kemitraan pendidikan kejuruan berbasis dunia kerja, diperlukan perangkat/komponen untuk menunjang penerapannya agar dapat mencapai hasil yang optimal.
Adapun perangkat/komponen yang harus ada dalam mengimplementasikan kebijakan kemitraan pendidikan kejuruan berbasis dunia kerja sebagai berikut.
(1) Dinas pendidikan dan SMK harus memiliki dokumen program jangka panjang, jangka pendek, dan tahunan yang diturunkan dari Visi, misi, kebijakan, dan strategis yang antisipatif terhadap berbagai perubahan paradigma penyelenggaraan pendidikan kejuruan.
(2) Dinas pendidikan dan SMK harus memiliki peta relevansi keterampilan atau kriteria yang jelas dalam menentukan dunia usaha industri yang menjadi mitra sehingga kerjasama kemitraan itu memiliki keunggulan kompetitif, memberi dampak positif bagi upaya peningkatan mutu lulusan dan demikian juga SMK harus membuat peta dan profil keterampilan siswa yang akan ditempatkan untuk melaksanakan praktik industri sehingga menjadi dasar bagi penempatan siswa pada dunia usaha industri dan memudahkan pihak industri melakukan pembimbingan /pengembangan kompetensi.
(3) Stakeholders kebijakan kemitraan pendidikan kejuruan (dinas pendidikan, dunia usaha industri, asosiasi profesi, dan dewan pendidikan) harus menetapkan seperangkat kriteria dan indikator kualitas keberhasilan penyelenggaraan praktik industri yang mencakup kriteria dan indikator kualitas input, proses, output, dan outcome.
(4) Harus ada dokumen kesepakatan (MOU) sebagai acuan dalam mengarahkan perilaku kemitraan yang baik antara pihak yang bermitra. Dokumen kesepakatan itu harus dapat merangkum keseluruhan prinsip-prinsip kemitraan yang harus dilakukan oleh masing-masing lembaga/institusi yang bermitra.
6.3.2. Komponen Model Kebijakan Kemitraan Pendidikan Kejuruan Berbasis Dunia Kerja
Untuk meningkatkan efektivitas pendidikan kejuruan perlu mengaitkan beberapa faktor sumber daya pendidikan sebagai input baik tenaga pendidik, kurikulum, sarana dan prasarana, dana operasional sekolah maupun monitoring dan evaluasi serta efektivitas pendidikan kejuruan juga sangat dipengaruhi proses berupa (1) pengembangan dan peningkatan kompetensi kejuruan, kualifikasi pendidikan, wawasan kewirausahaan, (2) melakukan sinkronisasi kurikulum, pembuatan profil kompetensi siswa dan pembuatan modul pembelajaran,(3) penyediaan sarana dan prasarana sesuai dengan kompetensi siswa baik yang tersedia di sekolah maupun di dunia usaha industri, (4) pengalokasian dana operasional sekolah bersumber dari APBD, komite sekolah, dan dunia usaha industri, (5) pelaksanaan monitoring dan evaluasi secara kontinu.
Dalam model implementasi kebijakan kemitraan pendidikan kejuruan berbasis dunia kerja telah diformulasikan empat komponen model yang sangat memengaruhi efektivitas kemitraan yakni (1) lingkungan kebijakan, (2) komunikasi kemitraan, (3) perilaku birokrasi (stakeholders) kemitraan, (4) organisasi kemitraan, (5) indikator kualitas kemitraan. Dalam hal ini perilaku kemitraan merupakan landasan utama atau merupakan faktor penentu utama mewujudkan efektivitas kemitraan.
6.3.3. Hubungan antara Komponen Model Implementasi Kebijakan Kemitraan Pendidikan Kejuruan Berbasis Dunia Kerja
Berdasarkan data empirik di lapangan untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan praktik industri dalam rangka implementasi kebijakan kemitraan pada pendidikan kejuruan harus ada keterkaitan yang sangat erat antara satu komponen dengan komponen lainnya.
Dengan demikian rekonstruksi teori Edwar III, implementasi kebijakan kemitraan dalam penyelenggaraan praktik industri perlu membangun komunikasi antara perumus kebijakan dan pelaksana kebijakan, karena komunikasi dalam implementasi akan memengaruhi aspek lain dan dalam temuan penelitian aspek komunikasi sangat berpengaruh pada perilaku (komitmen) perumus kebijakandan pelaksana kebijakan.
6.4. Prakondisi Penerapan Model Kebijakan Kemitraan Pendidikan Kejuruan Berbasis Dunia Kerja
Model kebijakan kemitraan pendidikan kejuruan berbasis dunia kerja sebagaimana dipaparkan di atas dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas kebijakan kemitraan agar dapat menghasilkan lulusan SMK yang bermutu atau lulusan yang memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap kreatif, dan inovatif sehingga kualitas hidup produktif dan masyarakat dapat mandiri khususnya lulusan SMK sehingga dapat berkontribusi dalam pembangunan.
Dalam upaya menjamin efektivitas penerapan model kebijakan kemitraan pendidikan kejuruan berbasis dunia kerja, perlu diciptakan kondisi yang mendukung penerapan model tersebut sebagai berikut a:(1) Sehubungan dengan diberlakukannya otonomi daerah sesuai dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 (Pengganti Undang-Undang No. 22 Tahun 1999) tentang Pemerintahan Daerah dan Reformasi Pendidikan sesuai Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional serta dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Tentang Standardisasi Nasional Pendidikan, (2).Perlu adanya kejelasan isi naskah kerjasama (kemitraan) dan jenjang atau tingkat kemitraan yang dikembangkan perlu dilakukan pada tingkat kabupaten atau kota, tingkat sekolah, dan tingkat pelaksana atau lapangan., (3) Komitmen dari masing-masing stakeholders yang bermitra untuk melaksanakan prinsip-prinsip “good governance” dalam menjalin kemitraan untuk menyelenggarakan praktik industri, antara lain transparansi, profesionalisme, kejelasan aturan, dan orientasi pada mufakat, (4) Komunikasi efektif antara stakeholders harus terus terbangun sehingga segala permasalahan yang terjadi dapat segera teratasi sejak dini mulai dari input, proses, output, dan bahkan sampai outcome.
6.5. Indikator Kinerja Model Implementasi Kebijakan Kemitraan Pendidikan Kejuruan Berbasis Dunia Kerja
Perubahan paradigma penyelenggaraan pendidikan mengacu pada kebijakan pemerintahan daerah atau adanya otonomi daerah sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang N0. 22 Tahun 1999 dan disempurnakan lagi dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Kebijakan di bidang pendidikan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah No.19 tentang Standar Nasional Pendidikan sebagai dasar perubahan paradigma dalam tata pemerintahan yang baik (good governance). Oleh karena itu, indikator kinerja keberhasilan model kebijakan kemitraan pendidikan kejuruan berbasis dunia kerja harus tetap berpedoman pada perubahan paradigma tersebut
BAB.VII
KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI
7.1. Kesimpulan
(1). Persiapan Implementasi Kebijakan kemitraan SMK dan Dunia usaha industri diselenggarakan dengan melalui beberapa mekanisme dan prosedur, seperti memahami dasar pelaksanaan implementasi kebijakan, sosialisasi, pembuatan pedoman praktek kerja, identifikasi sumber daya SMK, penetapan dunia usaha dan industri yang relevan, penandatanganan naskah kerjasama (MOU), dan.penandatannganan naskah kerjasama (MOU) belum terlaksana secara optimal.
(2). Proses implementasi kebijakan praktek industri antara SMK dan DUDI, selama tahun 2001-2005 telah dilaksanakan dengan memperhatikan berbagai kapasitas dan kendala yang dihadapi oleh instansi pelaksana di era otonomi daerah ini
Proses implemnentasi tersebut masih tetap menggunakan juknis dan juklak pemerintah pusat, yaitu Kepmendikbud No.323/1996, sehingga proses implementasi belum terlaksana secara optimal yang diakibatkan oleh berbagai faktor yang berpengaruh
(3) Beberapa faktor yang memengaruhi proses implementasi kebijakan praktik industri di Kota Tarakan, diantaranya lingkungan kebijakan internal maupun eksternal, faktor komunikasi antara pelaksana program (implementer) SMK dan dunia usaha industri (Dudi) dan perumus program (decision maker) Dinas Pendidikan belum terbangun secara optimal sehingga capaian sasaran program praktik industri yang dilakukan oleh sekolah menengah kejuruan (SMK) dan dunia usaha industri (Dudi) melalui instrumen kerjasama praktik industri selama lima terakhir tidak optimal.
(4). Dampak implementasi praktek industri yang diharapkan yaitu meningkatkan mutu lulusan yang lebih berkualitas, sehingga dapat memperkecil angka pengangguran pada tingkat pendidikan SMK adalah belum optimal dicapai lewat implementasi kebijakan kemitraan tersebut.
7.2. Implikasi Teoritis dan Praktis
(1) Implikasi Teoaritis : Dengan demikian hasil penelitian implementasi kebijakan kemitraan pendidikan kejuruan secara langsung telah memperluas cakupan wilayah studi implementasi kebijakan model top down dan hasil penelitian ini memberi kontribusi nyata terhadap studi kebijakan publik khususnya kebijakan pendidikan (education policy), hal ini tercermin dari adanya temuan bahwa efektivitas implementasi model top down dapat terjadi dengan efektif jika lingkungan kebijakan internal dan eksternal secara langsung dan tak langsung mendukung proses implementasi kebijakn yang ditunjang oleh adanya unsur komunikasi efektif di antara stakeholder kebijakan (multy stakeholdes).
Selanjutnya sebagai dampak lanjut dari komunikasi yang efektif antara stakeholder kebijakan (multy stakeholdes) tersebut adalah diperlukannya adanya koordinasi yang intens dan komitmen pelaksana yang kuat dalam mensinergikan model top down dan bottom up sehingga memperkuat dukungan tercapainya sasaran kebijakan kemitraan.
(2) Implikasi Ptaktus : Konsep Model implementasi kebijakan kemitraan yang telah dilaksanakan selama ini perlu diperbaiki seiring dengan adanya perubahan paradigma sentralisasi menjadi desentarlisasi, reformasi pendidikan (uu no.20/2003 dan PP no.19/2005) dan perubahan paradigma pemerintah dari government ke arah governance. Model yang direkomendasikan adalah model Implementasi kebijakan kemitraan pendidikan kejuruan berbasis dunia kerja dengan tujuan untuk menjadikan lulusan memiliki pengetahuan, ketermpilan, sikap kreatif dan inovatif sehingga memiliki kualitas hidup yang produktif dan mandiri ditengah tengah masyarakat.
7.3. Rekomendasi
7.3.1.Rekomendasi Teoritis
1). Formulasi (perumusan) kebijakan pendidikan dapat di implementasikan lebih efektif di era otonomi daerah, hendaknya berpijak pada paradigam reformasi kebijakan pendidikan, desentralisasi, dan goof governance yang secara operasioanl mengacu pada perangkat peraturan pemerintah dan pemerintah daerah, keputusan kepala daerah, juknis dan juklak yang berlaku pada suatu daerah dan merupakan kebutuhan masyarakat yang disesuaikan dengan potensi lokal disuatu daerah
2) untuk efektifitas proses implementasi kebijakan pendidikan di era otonomi daerah, perlu adanya praimplementasi, pengorganisasian, penggerakan, kepemimpinan dan pengendalian yang ditunjang dengan lingkungan kebijakan internal dan eksternal, dengan mensinergikan model implemenatsi kebijakan top down dan bottom up serta didukung dengan komunikasi multy stakeholders, disposisi, sumberdaya dan struktutur birokrasi dengan tetap mengedepankan faktor kearipan lokal
7.3.2.rekomendasi Praktis
7.3.2.1. . Sekolah Menengan Kejuruan (SMK)
1). Untuk mencapai keberhasilan tujuan dan sasaran kebijakan kemitraan sekolah dengan dunia usaha industri sangat tergantug pada beberpa faktor diantaranya kurikulum, komponen ini mencakup seluruh jangkauan materi pelajaran yang meliputi bentuk-bentuk kurikulum, tujuan, ruang lingkup, dan isi, proses belajar mengajar, metodologi dan bahan ajar, sehingga sangat perlu perlu dilakukan perbaikan sistem dan perencanaan pendidikan dengan melakukan pengembangan atau pembuatan kurikulum terpadu yang pelaksanaannya dipadu dengan model pembelajaran terpadu (integrated lerning).
2). Untuk mendukung pengetahuan dan keterampilan yang diberikan di sekolah adalah dengan memberikan pengalaman dan wawasan industri kepada siswa dan guru SMK. perlu dilakuakan upaya peningkatan mutu tenaga kependidikan dengan melalui program peningkatan pengalaman dan pengembangan wawasan industri dan wawasan kewirausahaan yang dapat dilakukan melalui :Kunjungan industri secara periodik, Mengagendakan dialog industri atau mendatangkan guru tamu dari industri, Magang guru di dunia usaha industri dan Pendidikan dan pelatihan (diklat) kompetensi
3). Pelaksanaan praktek industri hanya dapat dilaksanakan dengan baik, bila guru memiliki pemahaman dan pengalaman terhadap konsep kewirausahaan, maka untuk itu perlu diberikan pendidikan dan pelatihan singkat tetapi komprehensif tentang kewirausahaan, pendidikan dan pelatihan ini hendaknya diberikan kepada semua guru dengan model pelatihan di tempat (in house training.
4). Proses pembelajaran praktek di sekolah yang merupakan inti pembekalan keterampilan dasar kejuruan hendaknya dapat memperkenalkan kepada siswa tentang bagaimana menghargai mutu, waktu dan keselamatan kerja, begitu juga iklim belajar di bengkel hendaknya di tata agar mengarah kepada suasana kerja yang sesungguhnya dan model disiplin di lini produksi (dunia kerja).
5). Untuk menciptakan lulusan yang tidak hanya berorientasi pada lapangan kerja sektor formal tetapi juga berorientasi pada sektor informal, maka perlu dilakukan perencanaan dan perbaikan sistem pendidikan keujuruan yang pendekatannya mengutamakan keterkaitan lulusan sistem pendidikan dengan akan kebutuhan dunia kerja formal dan informal
6) Peran Tim kelompok kerja sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan praktek industri, maka untuk keanggotaan tim kelompok kerja ini sangat diperlukan keberadaan dan keterwakilan pihak industri menjadi anggota tim pokja demikian pula dari unsur kantor tenaga kerja dan masyarakat
7). Penempatan dan waktu pelaksanaan praktik industri perlu dilakukan penataan agar dunia usaha industri (dunia kerja) yang menjadi penyelenggaraan praktik industri terlebih dahulu di survei oleh sekolah
7.3.2.2. Pemerintah Daerah ( Pemda )
Penyelenggaraan praktik industri yang telah berlangsung sejak dikeluarkannya kepmendikbud No.323/1996 yang di dalamnya mengatur tentang kebijakan kemitraan SMK dengan dunia usaha industri, maka untuk mengoptimalkan pelaksanaan praktek industri perlu pemerintah daerah membuat perangkat aturan sebagai instrumen yang mengatur mekanisme koordinasi antara sekolah dengan dunia usaha industri dalam pelaksanaan praktik industri.berupa juknis dan juklak sebagai acuan bagi SMK dengan dunia usaha industri dan melakukan sebagai berikut : (1) evaluasi implementasi kebijakan, (2) penataan kembali strategi implementasi kebijakan kemitraan,(3) membuat kebijakan tentang standar sekolah dan dunia usaha industri (dunia kerja) yang layak melaksanakan praktik industri. (4) majelis sekolah di lebur dalam dewan pendidikan,(5) isi naskah kerjasama (MOU) tersebut dan dibuat sesuai situasi dan kondisi dunia usaha industri (dunia kerja),(6) mengoptimalkan penelusuran tamatan ini perlu keterlibatan multy stakeholders, (7) pendekatan ketenagakerjaan adalah pendekatan yang mengutamakan keterkaitan sistem pendidikan dengan tuntutan akan kebutuhan tenaga kerja, (8) peraturan daerah (perda) sumbangan atau retribusi pendidikan dan (9) memberi penghargaan atau kemudahan kepada dunia usaha industri (dunia kerja) dalam mengembangkan kegiatan usahanya
7.3.2.3 Dunia Usaha Industri (Dudi)
1. Standar kompotensi industri sangat diperlukan sebagai acuan dalam pengembangan kurikulum di sekolah dan mengkaitkan pembelajaran di sekolah dengan program praktek di industri. Untuk itu diharapkan dunia usaha industri dapat menyusun standar kompotensi industri yang nantinya dapat digunakan oleh sekolah dalam pengembangan kurikulum.
2. Pengalaman industri bagi seorang guru sangat penting untuk dapat menghayati aplikasi bahan ajar kejuruan yang diberikannya di sekolah dengan pekerjaan – pekerjaan di industri, Untuk itu dunia usaha industri (dunia kerja) perlu memberi kesempatan kepada guru pembimbing atau yang mengajarkan materi pelajaran produktif untuk mengikuti praktik kerja nyata (magang) di industri (dunia kerja)
3 Bagi siswa yang telah mengikuti prakteik industri berhak mendapatkan Sertifikat praktek industri dan selanjutnya wajib mengikuti uji kompetensi yang dilakukan oleh SMK bersama dunia usaha industri (dudi), maka perlu dunia usaha industri menyiapkan tenaga ynag memiliki kompetensi yang sesuai standar dan sertifikat yang dikelurkan oleh dunia kerja dapat menjadi jaminan bagi siswa untuk mendapatkan pekerjaan.
7.32.4. Direktorat Pengembangan SMK Depdiknas RI
Seiring dengan perubahan paradigma sentralisasi menjadi desentralisasi , reformasi kebijakan pendidikan (UU No.20 tahun 2003 tentang sisdiknas dan PP No.19 athun 2005 tentang standar nasional pendidikan) maka perlu : (1) dilakukan evaluasi kebijakan sebagai dasar untuk melakukan revisi terhadap Kepmendikbud tersebut atau dengan menetapakn peraturan pemerintah,(2) menetapkan kebijakan kemitraan pendidikan berbasis dunia kerja atau pendidikan holistik (holistic edecation) sebagai perbaikan kebijakan pendidikan kejuruan yang dilaksanakan saat ini,(3) adanya kebijakan yang berupa Peraturan Pemerintah atau Kepmendiknas yang memperkenankan program fleksibel dengan sistem multy-entry dan multy exit berbasis kewirausahaan sebagai jawaban permasalahan ketenaga kerjaan disektor formal dan informal tersebut
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab, Solichin. 1997. Analisis Kebijaksanaan Negara dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara. Edisi Kedua. Jakarta: Bumi Aksara.
--------. 2001. Evaluasi Kebijakan Publik. Penerbit Bersama FIA Universitas Malang: Brawijaya dan Universitas Negeri Malang.
---------., dkk. 2002. Masa Depan Otonomi Daerah: Kajian Sosial, Ekonomi, dan Politik untuk Menciptakan Sinergi dalam Pembangunan Daerah. Surabaya: SIC.
Agustiono, Leo. 2006. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: CV Alfabet.
Alma, Corazon G. De Leon. ( 2000 ). From Government To Governance. On the World Conference on Governance. Easterm Regional Organization for Public Administration, Loyola Heights Quezon City Philippines.
Ambar, Sulistyani. 2004. Model-Model Kemitraan dan Pemberdayaan. Yogyakarta.
Anderson, James E. 1979. Public Policy Making. New York: Holt Rinehart and Wiston.
Anwar. 2002. Pelaksanaan Program Pendidikan Sistem Ganda pada SMK di Kota Kendari. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 36.
Anwar. 2004. Life Skills Education (Pendidikan Kecakapan Hidup). Bandung: Penerbit Alfabeta.
Anwar,M.Idhoci.2003, Administrasi Pendidikan dan Manamejen Biaya Pendidikan. Alfabeta. Bandung.
Azsra, Azumardi. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rekonstruksi, dan Demokratisasi. Jakarta: Kompas.
Bafadal, Ibrahim.2001, Manajemen Pendidikan Islam dalam Perspektif Otonomi Daerah. Makalah di Sampaikan pada Acara Seminar di Batu Malang, pada tanggal 18 Agustus 2001.
Berrymen, S.E. 1993. Learning for the Word Place. Review of Research in Education, Number 19. Washington: AERA.
Bailey, T. 1993. Can Youth Apprenticeship Thrive in The United States. Educational Researcher, April. Washington. AERA.
Balitbang. 2003. Statistik Persekolahan SMK 2002/2003. Pusat Data dan Informasi Pendidikan. Jakarta: Depdiknas.
Bappeda Kota Tarakan. 2003. Data Pembangunan Daerah Kota Tarakan Tahun 2003. Tarakan.
Bappeda Provinsi Kalimantan Timur. 2003. Evaluasi Tengah Tahun Propeda Propinsi Kalimantan Timur Tahun 2001-2005. Samarinda.
Bappeda Provinsi Kalimantan Timur. 2006. Profil Pembangunan Kalimantan Timur Tahun 2006. Samarinda.
Bappeda Kota Tarakan. 2006. Profil Pembangunan Kota Tarakan Tahun 2006. Tarakan.
Barret, G, and C. Fudge. 1981. Policy and Action. London: Metuen.
Birtwhistle, David. 2001. Industry/University Partnership in The Postgraduate Education of Electricity Supply Engineer, 18 Agustus 2001.
Bogdan, R. C. & S. Taylor. 1992. Introduction to Qualitative Research Methods. A. Chosin Afandi (penerjemah). Pengantar Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Usaha Nasional.
Bogdan, R.C.& Biklen. 1998. Qualitative Research for Education An Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Boyle, Bill & Brown, Marie. 2000. Holy Grail or Poisoned Chalice? A Case Study of Partnership Collaboration between A University School of Education and A Private Sector Education Service Company. Westminster Studies in Education, Vol. 23, 2000
Butler, F.C. 1979. Instructional Systems Development for Vocational and Technical Training. Englewood Cliffs, N.J: Educational Technology Publication.
Becker, Gary S. 1983. Human Capital: A Theoretical and empirical Analysis . With Special Reference to Education. Journal of Education Vol. 15.
Bukit, Masriam. 1997. Implementasi Pendidikan Sistem Ganda sebagai Pembaharuan Kurikulum (Penelitian di Sekolah Teknologi Menengah 5 dan PT Pindat Persero, Bandung). Bandung: Disertasi Pascasarjana IKIP Bandung.
Chang, Suk-Min. 1994. Lingkage of School to Industry (paper presented at the 4th APEC Education Forum) June 1994. Seoul Korea.
Campo Salvatore Schivo & Sundaram Pachampet. 2002. To Serve and To Preserve: Improving Public Administration in A Competitive World. Asian Development Bank (ABD).
Cleaves,Peter S.1980. Implementation Amidst Scarcity and Apathy: Political Power and Policy Design, in M.S. Grindle (ed). Political and Policy Implementation in The Third World. Princeton: Princeton University Press.
Cochran, Charles, L., and Eloise F. Maleno. 1995. Public Policy Perspectives and Choices. AS: McGraw Hell, Inc.
Cochran, Charles L. & Malone, Eloise F. ( 1999 ). Public Policy. Perspective and Choices. McGraw – Hill College. A Division of the Mc Graw – Hill Companies. Boston Burr Ridge, IL – New York to Taipeh Toronto.
Considene Mark. 1994. Public Policy A Critical Approach. Melbourne: University of Melbourne.
Dietrich Greinert, Wolf. 1992. The Dual System of Vocational Training in the Federal Republik of Germany. Deutsche Gesellschaft, Technische Zusammernabeit, Technical Cooperation-FRG, Eschborn.
Denhardt, Robert, B. 1991. Public Administration an Action Orientation. Brooks/Cole Publishing Company. California: Pacific Grove.
Depdikbud. 1993. Link and Match, Seri Kebijaksanaan. Jakarta: Depdikbud.
Depdikbud. 1994. Data dan Naskah Kerjasama antara STM Negeri Tarakan dengan Dunia Usaha dan Industri dalam Rangka Pendidikan Sistem Ganda. Tarakan.
Depdikbud. 1994. Naskah Kerjasama Dunia Usaha dan Dunia Industri dengan SMEA Negeri dalam rangka Pendidikan Sistem Ganda. Tarakan.
Depdibud. 1992. Keputusan Mendikbud RI Nomor. 0490/U/1992 tentang Kemitraan SMK dengan Dunia Usaha Industri. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Depdibud. 1997. Keputusan Mendikbud RI Nomor 323/U/1997 tentang Penyelenggaraan PSG pada SMK. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Depdikbud. 1997. Pengembangan Hubungan SMK dan Dunia Kerja. Dirjen Dikdasmen Dikmenjur.
Depdikbud. 1997. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Sistem Ganda. Dirjen Dikdasmen Dikmenjur.
Depdikbud. 1997. Pengembangan KBM Pendidikan Sistem Ganda. Dirjen Dikdasmen Dikmenjur.
Depdikbud. 1997. Peran Majelis Sekolah dalam Pelaksanaan Pendidikan Soistem Ganda. Dirjen Dikdasmen Dikmenjur.
Depdiknas. 2001. Keputusan Mendiknas RI Nomor 122/U/2001 tentang Rencana Strategis Pembangunan Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Tahun 2000-2004. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Depdiknas.2002. Analisis Mutu Pendidikan. Pusat Penilitian Kebijakan .Jakarta
Depdiknas. 2003. Undang Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Cintra Umbara.
Depdiknas.2004. Kurikulum SMK Edisi 2004 . Bagian 1 Kerangka Dasar Penilaian Hasil Bealajar Peserta Didik SMK . Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan menengah Departemen Pendidikan Nsaional
Depdiknas. 2006. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Bandung: Citra Umbara.
Depdiknas. 2006, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.22 Tahun 2006 tentang standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah . Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Djajadiningrat,T.Surna.1994. Kependdukan dan Lingkungan Hidup dan dunia Pendidikan . Makalah Seminar Sehari yang diselenggarakan PPGT Malang pada Tanggal 30 Juni 1994.
Djojonegoro, Wardiman. 1994. Kebijakan dan Program Pengembangan Pendidikan Kejuruan di Indonesia. Makalah Seminar Nasional se-Indonesia. Surabaya.
----------. & Suryadi, Ace. 1995. Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia untuk Pembangunan: Analisis Relevansi Pendidikan dengan Kebutuhan Pembangunan Menyongsong Era Teknologi dan Industri. Depdikbud. Proyek Pengkajian Data dan Informasi Kebijaksanaan Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Pusat Informasi Balitbang Dikbud.
----------. 1996. Visi dan Strategi Pembangunan Pendidikan untuk Tahun 2020 Tuntutan terhadap Kualitas. Ceramah Mendikbud pada Konvensi Nasional Pendidikan Nasional III. Ujung Pandang, 4–7 Maret 1997.
-----------. 1999. Pengembangan Sumber Daya Manusia melalui SMK. Jakarta: PT. Balai Pustaka (Persero).
Dunn, William, N. 1994. Pengantar Kebijakan Publik, Edisi Kedua. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Edward III, George. C. 1980. Implementing Public Policy. Washington DC: Congressional Quarterly, Inc.
Eisler, Rione & Mantuori, Alfonso. 2001. ”The Partnership Organization: A System Approach”. OD Practitioner, Vol. 33, No. 2, 2001.
Ellers, N. Angela. 2002. School-Linked Collaborative Services and System Chang. Linking Public Agencies. With Public Administrator & Society, Vol. 34, No. 3, Juli 2002, 285-308.
Evans, Ruperts N. 1997. Foundations of Vocational Education. Columbus: OH Nerril.
Fadjar, A.Malik. 2005. Holistik Pemikiran Pendidikan. PT.Raja Grafindo Persada Jakarta
Fiske, E,B.1996. Decentralization of Education: Politics and Consensus. IBRD/The Wold Bank. Wasihington D.C
Forum Inovasi. 2002. Capacity Building & Good Governance. Jurnal PPs PSIA FISIP UI. Jakarta
Freire, Paulo. 2004. Politik Pendidikan, Kekuasaan dan Pembebasan. Yogyakarta: Read (Research, Education, and Dialogue) Bekerjasama dengan Pustaka Pelajar.
Fullan, M. 1982. The Meaning of Educational Change. New York: Teacher College Press.
Gasskov, Valdimir. 1997. Alternative Shemes of Finanching Training. Geneva: ILO.
Ghozali, Abbas. 2000. Pendidikan: Antara Investasi Mausia dan Alat Diskriminasi. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, edisi Mei 2000.
-----------------. 2004. Peranan Pendidikan terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Pendidikan oleh Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Mataram di Lombok, Nusa Tenggara Barat, tanggal 15 dan 16 September 2004.
Gramlich E.M. 1981. Benefit Cost Analysis of Government Programs. New Jersey: Prentice Hall Inc. Englewood Cliffs.
Grindle, Meriles S. 1980. Politics and Policy Implementation in The Third World. New Jersey: Princeton University Press.
Gut, M. Dianne dkk. 2003. Building The Foundations of Inclusive Education Through Collaborative Teacher Preparation: A University – School Partnership. College Student Journal; Marc 2003, I; Wilson Education Abstracts.
Gupta, K. Dipak. 2001. Analyzing Public Policy. Concept, Tools and Techniques. CQ Press.
Hammersley,A dkk,1968. Approaches to Enviromental Studies. Blanford Press-London
Hartono, Bambang Dwi. 2002. Memimpin Orang Kota. Surabaya: Inti Jaya.
Heady, Ferrel. ( 1979 ). Public Administeration : A Comparative Perspective. The University of New Mexico Albuqueque, New Mexiko. Marcel Dekker, Inc. New York and Basel.
Helen, Meyer. 2001. Educational Partnerships and Democratic Education in Namibia.
Henry Nicholas. 1995. Public Administration and Public Affairs. Luciana Lontoh (Penerjemah). Administrasi Negara dan Masalah masalah Publik. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hill, M. 1993. The Policy Process. New York: Harvester Wheats Heaf.
Huda, H.N. 1999. Desentralisasi Pendidikan: Pelaksanaan dan Permasalahannya. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. No.017, Tahun ke-5, Juni 1999.
Idler H. et al. 1995.Study on Promotion of Market Oriented Training in Indonesia. Report of Indonesia–German Prefeasibility Mission. Jakarta-Eschborn: Depdikbud-GTZ.
Islamy, M.Irfan. 1997. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.
--------. 2001. Metode Penelitian in Administrasi. Fakultas Ilmu Administrasi. Malang: Universitas Brawijaya.
--------. 2001. Policy Analysis. Malang: Program Pascasarjana Universitas Brawijaya.
-------. 2002. Public Service Management. Bahan Diskusi Kelas. Program Doktor Ilmu Administrasi. Malang: Program Pascasarjana Universitas Brawijaya.
Jafar Hafsah, Mohammad. 2000. Kemitraan Usaha (Konsepsi dan Strategi) Jakarta: Penerbit PT Pustaka Sinar Harapan.
Jahi, Amri. 1988. Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-Negara Dunia Ketiga Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Jenkins, WI. 1978. Policy Analysis: A Political and Organizational Perspective. London: Martin Robertson.
Johnson, D.P. 1994. Teori Sosiologi Klasik dan Modem. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jones, O. Charles. 1996. Pengantar Kebijakan Publik, Diterjemahkan oleh Ricky Istamto. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Kiel, G.W. 1989. Toward a Transition Phase Model for First-Term Cooperative Education Students in Engineering. Abstract of Dissertation. Ohio: The Ohio State University.
Kilpatrick W.H. 1975. Philosophy of Education. New York AS: The Macmillan Company.
Kindervatter,Suzannae,1979, Nonformal Education as An Empowering Proses. Massachusetts: Center For Onternational Education Unversity Of Massachusetts
Kompas.2005. Sekolah Kejuruan, Jawaban Mengatasi Pengangguran? Harian Kompas Tanggal 19 Februari 2005
Kompas.2006. Obah Orientasi SMK ( Penting, Disiplin dan Kelengkapan Alat Praktik) Harian Kompas tanggal 10 Mei 2006
Kompas.2006. Lulusan SMK Menganggur (peralatan terbatas ) Harian Kompas tanggal 11 Mei 2006
Lee, Kisung. 2001. New Direction of Korea's Vocational Education and Training Policy. Division of International Studies and Cooperation. Korea Research Institute for Vocational Education and Training. www, New, Kisung, 2001.
Lincoln E.G. & Guba Y.S. 1985. Naturalisfic Inquiry. Beverly Hills: SAGE Publications. Inc.
Lendrum, Tony. 2003. The Strategy Partnering Handbook, The Practitioners’ Guide The Partnerships and Alliance. Australia: The McGraw-Hill Companies.
Lineberry, Robert L. 1978. American Public Policy. New York: Hasper & Row.
Lineberry, Robert L. 1978. American Public Policy. New York: Harpen & Row.
Majelis Pendidikan Kejuruan Nasional (MPKN). 1996. Konsep Pendidikan Sistem Ganda pada SMK di Indonesia. Jakarta.
Manca W. 2003. Etnografi Desain Penelitian Kualitatif dan Manajemen Pendidikan. Malang: Wineka Media.
Marginso Simon. 1997. Subject and Subjugation: The Economics of Education as Power Knowledge. University of Melbourne, Australia.
Marshall James & Michael Peters. 1999. Education Policy. Massachusetts, USA: Edward Elgar Publishing Inc. Northompton.
Marshall & Rosman. 1995. Metode Kualitatif dalam Ilmu-Ilmu Sosial. Bandung: Tarsito.
Mastuhu. 2004. Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21. Safiria Insania Press. Yogjakarta
Mathias Finger & Jose Manuel Asun. 2004. Quo Vadis Pendidikan Orang Dewasa. Nining Fatikasari (Penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Kendi.
Mazmanian, Daniel, H. dan Paul, A. Sabatier. 1983. Implementation and Public Policy. New York: Harper Collins.
Mayer, Helen. 2001. Education Partnerships and Democratic Education Namibia.
Meier, Kennet, J. O'Toole, Laurence, J. Jr. 2003. Public Administration Review. Article URL, Nov/Dec, 2003, Vol. 63, Washington.
Middleton, J. Ziderman, A. & Van Adams A. 1993. Skills for Productivity Vocational Educational and Training in Developing Countries. A. World Bank Book. Oxford University Press. New York.
Miles, M.B. dan Huberman, M. 1984. Qualitative Data Analysis A. Sourcebook of New Method. Beverly Hills London New Delhi: Sage Publication.
---------------------. 1992. Analisis Data Kualitatif, Terjemahan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: UI Press.
Moeljarto, Tjokrowinoto. 2001. Pembangunan Dilema dan Tantangan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Moleong, Lexdy J. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Mukhtar. 2003. Merambah Manajemen Baru Pendidikan Tinggi Islam. Misaka Galiza . Jakarta
Mulyasa,E.2002 Manajemen Berbasis Sekolah (Konsep, Strategi dan Implementasi) PT.Remaja Rosdakarya. Bandung
--------------.2002 . Kurikulum Berbasis Kompetensi (konsep,Karakteristik dan Implementasi) PT.Remaja Rosdakarya. Bandung
Nasution, S. 1988. Metode Penelitian Naturalistik–Kualitatif. Bandung: Tarsito.
Nugroho, Riant D. ( 2001 ) Reinventing Indonesia : Menata Ulang Manajemen Pemerintahan Untuk Membangun Indonesia Baru Dengan Keunggulan Global. Penerbit PT. Elek Media Komputindo Kelompok Gramedia Jakarta.
O’Jones, Charles. 1996. Pengantar Kebijakan Publik. Jakarta: Rajawali Press.
Osborne, David & Petter, Plastrik. 1996. Banishing Bureaucracy the Five Strategy for Reinventing Government. California: Addson Wesley Publishing Company Inc.
Pakpahan, Jorlin. 1994. Sistem Ganda pada Sekolah Menengah Kejuruan, Implementasi Link and Match dalam Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan Teknologi dan Kejuruan. Makalah Seminar Nasional. Surabaya.
Parsons, Wayne. 1997. Public Policy: An Introduction to the Theory and Practice of Policy Analysis. Edward Elgar, Cheltenham, UK Lyme, US.
Patton V. Carl. dan Sawicki, David. 1986. Basic Methods of Policy Analysis and Planning. Prentice Hall, Cliffs, NJ. 07632.
Perry. L, James. 1996. Hand Book of Public Administration. USA: Abson Book Inc.
Pifer, Darryl, A. 2000. Getting in Trouble: The Meaning of School for "Problem" Students. The Qualitative Report. Journal, Volume 5. Numbers 1 & 2. May, 2000.
Pollitt, Cristopher, Recharit Johnston, and Putnam Keith. 1998. Decentralization Service Management. England: MacMillan Ltd.
Pongsiri, Nutavoot. 2001. Regulation and Public–Private Partnership. The International Journal of Public Sector Management, Vol. 15, No. 6, 2002, pp. 487-495.
Pradiansyah, Arvan. 2002. You Are A Leader. Menjadi Pemimpin dengan Memanfaatkan Potensi Terbesar yang Anda Miliki Kekuatan Memilih. Penerbit PT Elex Media Komputido. Jakarta: Kelompok Gramedia.
Prater, Anne, Mary & W. Sileo, Thomas. 2002. School-University Partnership in Special Education Field Experience. Remedial and Special Education; Nov/Dec 2002; 23, 6 Wilson Education Abstracts.
Priowirjanto,Gatot Hari & Suryatmana,Giri, dkk.2002. Reposisi Pedidikan Kejuruan Menjelang 2002.Ditdikmenur.Dirjen Dikdasmen. Depdiknas RI
Psacharopoulus, 1987. Economics of Education Research and Studies. Pergamon Books Ltd
Pusdiklat Spimnas. 2001. Kajian Kebijakan Publik. Lembaga Administrasi Republik Indonesia. Jakarta.
Putra, Fadila. 2001. Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik. Pustaka Pelajar Yogyakarta bekerjasama Universitas Sunan Giri Surabaya.
Quade, ES. 1997. Analysis for Public Decision. New York: Elsevier.
Riyanto, Yatim. 1998. Pengembangan Model Pembelajaran Modularized Applied Approach dalam Implementasi Kurikulum PSG Di Sekolah Menengah Kejuruan (Penelitian Pengembangan untuk Meningkatkan Keefektifan Pembelajaran PSG di SMEAN Program Studi Manajemen Bisnis dan Relevansinya dengan Industri PT PAL Indonesia). Disertasi Pascasarjana. Bandung: IKIP Bandung.
Riyanto, Yatim, 1996. Metodologi Penelitian Pendidikan: Suatu Tinjauan Dasar. Surabaya: Penerbit SIC.
Robert, Yin. 2004. Studi Kasus (Desain & Metode). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Roro, Mas Lilik Ekowati, 2005. Perencanaan, Implementasi, & Evaluasi Kebijakan atau Program (Suatu Kajian Teoretis dan Praktis). Surakarta: Pustaka Cakra.
Rondinelli,A.Dennis.1991, “ Goverment and Decentralitation In Comparative Perspective Theory and Practice in Develoving Countries” The Journal International Review of Administrative Sciences. Vol.XL VII.2
Rukmana, Nana D.W. 2006. Strategi Partnering for Education Management. Jakarta: PT Alfabet.
Salmon,L.C.1987. The Quality of Education .Editor: G.Psacharopoulu, Economic Of Education; Research and Studies, Oxford : Pergamon Press.UK
Salladien. 1996. Pendidikan Berorientasi pada Profesi Merupakan Tuntutan Mutlak di Era Liberalisasi Ekonomi. Makalah dalam Rangka Wisuda Diploma I Mahasiswa Pendidikan Manajemen Bisnis BME Malang.
------------. 2002. Alternatif Pendidikan Berorientasi Dunia Kerja sebagai Upaya Menghadirkan SDM Berkompetensi di Era Otonomi Daerah. Makalah Seminar Nasional Peningkatan Pembangunan Regional Di Era Otonomi Daerah .Kerjasama Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang dengan PTN se Jawa Timur di Malang.
--------------. 2006. Beberapa Gagasan Sebagai Usaha Meningkatkan Program
Pendidikan Sistem Ganda . Makalah Seminar ‘Pendidikan Berbasiis Dunia
Kerja’ Se-Wilayah Utara Kalimantan Timur di Kota Tarakan. Pada Tanggal
8 Juli 2006.
Sandberg, Nina, dkk. 2002. Evaluation in Policy Implementation. A Insider Report, OIso Norway, 2002.
Sanjaya, Wina. 2005.Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompotensi. Perdana Media Jakarta
Savas, E.S. 1997. Privatization and Public Partnerships. LLC, New York – London: Chatham House Publishers, Seven Bridges Press.
Schippers, Uwe & Patriana, Djadjang Madya. 1994. Pendidikan Kejuruan di Indonesia. Bandung: Penerbit Angkasa.
Sedarmayanti, ( 2003 ). Good Governance . Dalam Rangka Otomomi Daerah. Penerbit Mandar Maju Bandung.
Siagian, Syaifull. 2000. Administrasi Pendidikan Kontemporer. Bandung: Alfabeta.
Sidi, Indra Djati. 2001. Menuju Masyarakat Belajar ( Menggagas Paradigma Pendidikan.Paramadina Jakarta
Simon, Herbert, A. 1982. Administrative Behavior, Terjemahan Dianjung. Jakarta: Aksara.
Smith, T.B. 1973. The Policy Implementation Process. In Policy Sciences, Vol. 4. No. 2, pp. 197-209.
Smith, Hank C. Jenkins ( 1990 ) Democratic Politics And Policy Analysis. Brooks/Cole- Publishing Company Pasific Grove, California.
Smit, Brigitte. 2003. Can Qualitative Research Inform Policy Implementation: Eviden and Arguments from a Developing Country Context. Jurnal FQS. Volume 4, No. 3, September 2003.
Soemarwoto,Otto.1987. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Penerbit Djambatan Jakarta
Sonhadji, Ahmad. 2000. Alternatif Penyempurnaan Pembangunan Penyelenggaraan Pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan.
Soenarko, 2000. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pusat Penerbit Universitas Gajah Mada.
Stilman, II, & Richard J. 1988. Public Administration: Concepts Cases. Boston: Hougton Mifflin Company.
Strauss & Corbin. 1980. Understanding & Conducting Qualitative Research. Iowa: Kendall/Hunt, Dubuque.
Stoner, James, A.F. dan Daniel, Gilbert, Jr. 1996. Manajemen. Jakarta: Prenhalindo.
Subarsono,AG. 2005. Analisis Kebijakan Publik Konsep, Teori dan Aplikasi. Penerbit Pustaka Pelajar.Yogyakarta.
Subakir,Supriono & Sapari,Achmad.2001. Manajemen Berbasis Sekolah . Suatu Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan dengan Pemberdayaan Masyarakat,Otonomi Sekolah dan Belajar yang menyenangkan dan Efektif. Penerbit Kerjasama Pemerintah RI dan UNICEF-UNESCO.
Suryadi, Ace & Budimansyah, Dasim. 2004. Pendidikan Nasional Menuju Masyarakat Indonesia Baru. PT. Genesindo.Bandung
Suryadi, Ace.1987. Studi Mutu Pendidikan Dasar . Konsepsi Penelitian, Jakarta : Pusat informatika, depdikbud
Sutrisno, Joko. 1996. Penerapan Pendidikan Sistem Ganda di Indonesia. Malang: PPPGT–VEDC.
Teisman, R. Geert & Klijn, Hans-Erik. 2002. Partnership Arrangements: Governmental Rhetoric or Governance Scheme. Public Administration Review, Marc/April 2002, Vol. 62, No. 2.
The Liang Gie. 1983. Unsur-Unsur Administrasi: Suatu Kumpulan karangan (Edisi Kedua). Yogjakarta: Supersukses.
The World Bank. 2002. Constructing Knowledge Societies: New Challenges for Tertiary Educations. Washington DC.
Thoha, Miftah dan Dharma, Agus. 1999. Menyoal Birokrasi Publik. Jakarta :Balai Pustaka.
-----------------. 2002. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
-----------------. 2003. Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Tilaar, H.A.R. 1997. Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi Visi, Misi, dan Program Aksi Pendidikan dan Pelatihan Menuju 2020. Jakarta: PT Gramedia.
------------------. 1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional. Magelang: Penerbit Tara Indonesia.
------------------, 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Rineka Cipta. Jakarta
Timothy, J. Sweet. 2001. Public/Private Partnership in Education. A Dissertation Submitted to The Division of Research and Advanced Studies of The University of Cincinnati.
Tjokroamidjojo, Bintoro R. 2003. Prospek dan Tantangan Ilmu Administrasi di Era Global. Simposium Nasional Ilmu Administrasi. Malang: Universitas Brawijaya.
Toshiro,Oqynawa.1998. Holistic Education How Developth Human Resours in The Global Area, Tokyo Simon, G.Inc
Tuner Mark & Hulme David. 1997. Governance Administration and Development Making the State Work. London, England: Macmillan Press Ltd..
Vadenberghe, V. 1999. Economics of Education: The Need to Go Beyond Human Capital Theory and Production-Function Analysis. Educational Studies, Vol. 25, No. 2, 1999.
Weimer, David, R. & Vining Aidan R. 1998. Policy Analysis Concept and Practice. New Jersey: Prentice Hall, Upper Sadle Rover.
White, Louise G. 1989. Management in a Pluralistic Arena, Public Administration Review. Social Science Jurnals, No/Dec, 1989.
Wibawa, S. 1994. Evaluasi Kebijakan Publik. Jakarta: Raja Grafindo.
Wiles, J. & Bondi, J. 1993. Curriculum Development. Toronto Canada: Max-Well MacMilan.
Wilkinson, Joyce. 2000. Literacy, Education and Arts Partnership A Community-System Programme Integrating The Arts Across The Curriculum. Research in Drama Education; Sep. 2000, 5.2. Academic Research Library.
Young-chul, Kim. 1986. Educational Contribution to the Economic Development in Korea, Korean Educational Development Institute
0 komentar:
Posting Komentar