Definisi Kurikulum
Kurikulum mempunyai pengertian yang cukup kom¬pleks, dan sudah banyak didefinisikan oleh para pakar kurikulum. Esensinya, kurikulum mem¬bicarakan tentang proses penyelenggaraan pendidikan sekolah, berupa acuan atau norma-norma yang dapat di¬gunakan menjadi pengangan. Secara umum struktur kurikulum mempunyai empat komponen, yaitu tujuan, organisasi isi, proses belajar-mengajar, dan evaluasi.
Dalam arti sempit kurik¬ulum ditafsirkan sebagai materi pelajar¬an, sedangkan penger¬tian yang luas ditafsirkan sebagai segala upaya yang dilakukan di bawah naung¬an sekolah. Spektrum di antara kedua kutub itu menafsirkan kurikulum sebagai perencanaan intera¬ksi antara pelajar dan guru-guru untuk mencapai tujuan pendidikan. Pengertian ini pada dasarnya merujuk pada peren-ca¬naan kegiatan belajar mengajar guna mencapai tujuan sekolah.
Dalam Undang-undang Sistem Pendidik¬an Nasional (UUSPN) Tahun 1989, definisi kuriku¬lum adalah “seperangkat rencana dan peraturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penye¬lenggaraan kegiatan belajar mengajar”
(UUSPN, BAB I, Pasal 1, ayat 9).
Definisi di atas menggambarkan dua dari empat komponen kurikulum. Kedua komponen itu adalah organisasi isi dan pelaksanaan pembelajaran. Organisasi tercermin dalam frasa “seperang¬kat rencana dan peraturan mengenai isi dan bahan pelajaran”. Frasa seperang¬kat rencana dan peraturan juga menyimpan arti tentang penen¬tuan tujuan dan evaluasi. Kata seperangkat mencirikan bahwa kuri¬kulum dalam ben¬tuk alat (tool), dan alat ini bisa dalam bentuk benda (hard¬ware) tetapi bisa juga konsep (software). Gagnè (1968) mendis¬kusikan ke¬dua penger¬tian ini dengan per¬tanyaan technology — hard ware or techniques? (dalam Eisner & Vallance, 1974: 51). Tetapi kata berikutnya rencana dan peraturan menegaskan bahwa alat itu mem¬beri¬kan tekanan pada konsep-konsep. Ungkapan perangkat rencana dan peraturan itu jika dituliskan dalam bentuk dokumen, dapat dipa¬hami sebagai kurikulum dalam dimensi rencana tertulis (Hasan, 1988: 31-32).
Kurikulum sebagai rencana tertulis ini diwarnai oleh “kurikulum sebagai teknologi” (Eisner & Vallance, 1974: 49), konsepsi ini di bawah naungan Tekno¬logi Pendidikan. Oleh karena itu, rencana, ide-ide, atau gagasan-gagasan yang akan dituliskan ke dalam suatu dokumen seyo-gia¬nya berpegang pada acuan teknis kuri¬kulum sebagai rencana. Dengan demikian kurikulum lebih mudah dan efektif untuk dikomu¬nikasikan ke berbagai pihak, pimpinan sekolah, pengawas, pelak¬sana dan staf pendukung lainnya. Konsepsi ini merupakan esensi dari suatu teknologi, membantu untuk memudahkan dan mengefektifkan pencapaian tujuan kegiat¬an manusia. Dalam hal ini tujuan itu adalah mengorgani¬sasikan isi dan bahan pelajaran.
Untuk mengorganisasikan isi dan bahan pelajaran suatu kuri¬kulum tidak terlepas dari pendekatan-pendekatan yang diyakini, dan itu berkaitan dengan peng¬gunaannya pada jenis pendidikan apa dan pada tingkat ¬mana. Definisi kuri¬kulum di atas berlaku umum dari pendi¬dikan prasekolah sampai ke Pendi¬dikan Tinggi. Begitu juga pendekatan-pendekatan yang dikembangkan dalam suatu teori, misalnya, untuk pendidikan teknik dan kejuruan pengembangan materi pela¬jaran mengacu pada pendekatan Competency Based Education (CBE) atau untuk pendidikan MIPA pengembangan materi lebih mengacu pada pengembang¬an kognitif. Hal ini juga berlaku untuk setiap bahan pelajaran, termasuk materi pelajaran PBM di lingkungan Unimed.
Kurikulum mempunyai pengertian yang cukup kom¬pleks, dan sudah banyak didefinisikan oleh para pakar kurikulum. Esensinya, kurikulum mem¬bicarakan tentang proses penyelengga¬raan pendidikan sekolah, berupa acuan atau norma-norma yang dapat di¬gunakan menjadi pengangan. Secara umum kurikulum mempunyai empat komponen; tujuan, organisasi isi, proses belajar mengajar, dan evaluasi yang merupakan struktur utama suatu kurikulum.
Dalam arti sempit kurik¬ulum ditafsirkan sebagai materi pelajar¬an, sedangkan penger¬tian yang luas ditafsirkan sebagai segala upaya yang dilakukan di bawah naung¬an sekolah. Spektrum di antara kedua kutub itu menafsirkan kurikulum sebagai pe¬rencanaan intera¬ksi antara pelajar dan guru-guru untuk mencapai tujuan pendidikan (Miller & Siller, 1985: 3). Pengertian yang tidak terlalu luas dan tidak terlalu sempit, pada dasarnya merujuk pada peren¬ca¬naan kegiatan belajar mengajar guna mencapai tujuan sekolah.
Dalam Kepmendiknas No: 232/U/2000 kuriku¬lum didefinisikan seperti kutipan berikut.
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan peraturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara penyampaian dan penilaiannya yang digunakan sebagai pedoman penye¬lenggaraan kegiatan belajar mengajar di Perguruan Tinggi. (Kepmendiknas, No: 232/U/2000; pasal 1 ayat 6).
Kurikulum sebagai rencana tertulis ini diwarnai oleh "kurikulum sebagai teknologi" (Eisner & Vallance, 1974: 49), konsepsi ini di bawah naungan Tekno¬logi Pendidikan. Oleh karena itu, rencana, ide-ide, atau gagasan-gagasan yang akan dituliskan ke dalam suatu dokumen seyo¬gia¬nya berpegang pada acuan teknis kuri¬kulum sebagai rencana. Dengan demikian kurikulum lebih mudah dan efektif untuk dikomu¬nikasikan ke berbagai pihak, pimpinan sekolah, pengawas, pelak¬sana dan staf pendukung lainnya. Konsepsi ini merupakan esensi dari suatu teknologi, membantu untuk memudahkan dan mengefektifkan pencapaian tujuan kegiat¬an manusia. Dalam hal ini tujuan itu adalah mengorgani¬sasikan isi dan bahan pelajaran.
Untuk mengorganisasikan isi dan bahan pelajaran suatu kuri¬kulum tidak terlepas dari pendekatan-pendekatan yang diyakini, dan itu berkaitan dengan peng¬gunaannya pada jenis pendidikan apa dan pada tingkat ¬mana. Dalam definisi kuri¬kulum di atas hal itu berlaku umum dari pendi¬dikan prasekolah sampai ke Pendi¬dikan Tinggi. Begitu juga pendekatan-pendekatan yang dikembangkan sesuai dengan landasan teori yang dianut. Atas dasar ini, penyusunan kurikulum yang didiskusikan selanjutnya tunduk pada pola-pola teknis yang dikem¬bangkan dalam pendekatan pendidikan berbasis kompetensi (PBK).
Dalam konsep pendidikan jalur sekolah kurikulum merupakan landasan untuk semua aktivitas dalam usaha-usaha memberhasilkan kegiatan pembelajaran. Artinya, mendiskusikan kurikulum tidak dapat dipisahkan dari konsep-konsep pendidikan yang dianut. Oleh karena itu, diskusi tentang KBK sama artinya dengan mendiskusikan tentang PBK.
Ciri utama PBK adalah mengembangkan kompetensi pelajar melalui strategi pengajaran khusus. PBK lebih memfokuskan pada identifikasi sasaran-sasaran yang terukur, menentukan rencana pengajaran dan peniliaian hasil belajar siswa — penca¬paian kompetensi khusus — meng-gunakan alat tes yang berpegang pada acuan-kri¬teria. Ciri lainnya, silabus diturunkan ke dalam bagian-bagian kecil — diwarnai oleh kondisi belajar menurut Gagne (1977).
Ciri-ciri PBK ini pada dasarnya sama dengan belajar-tuntas (BT). Hanya saja, pada BT lebih mengutamakan aspek pengajaran, sedangkan PBK cenderung terfokus pada sasaran-sasaran belajar dan penilaian (Miller & Seller, 1985: 51). Lain halnya dengan Hall dan Jones (1979), mereka memandang bahwa PBK merupakan kelanjutan dari BT. Dalam arti mengutamakan belajar individu, PBK dan BT berada dalam rentang yang sama, akan tetapi BT berhenti pada kenyataan bahwa pelajar sudah bekerja secara individu selama dia belajar. Pengembangan lainnya dalam PBK, waktu men¬jadi variabel yang ditentukan oleh kebutuhan eksternal dan internal. Sedangkan dalam BT, waktu merupakan tujuan, penentuan waktu teramat penting. Apabila pelajar diberi waktu yang cukup sesuai dengan tingkat kemam¬puannya, maka pelajar akan mampu menguasai materi pelajaran. Caroll (1963) berargumen¬tasi, bahwa dalam BT, waktu dihabiskan untuk mempe¬lajari tugas-tugas, dan itu menjadi kunci penguasaan materi, bila waktu cukup belajar pun akan terjadi (dalam Miller & Seller, 1985: 53).
Dari uraian di atas, antara PBK dan BT bukanlah dua pendekatan yang harus dipertentangkan, mendikotomikan PBK pada satu kutub dan BT pada kutub yang lainnya. Kedua pendekatan ini lebih terlihat seba¬gai matarantai pembaharuan pendi¬dikan, khususnya pada proses pembe¬lajaran. Kemunculan PBK merupakan media untuk memperbaiki pendidikan, tetapi bukan obat manjur atau penyelesaian akhir untuk pendidikan profesional, dan bukan juga yang terakhir (Hall & Jones, 1979: vi). Pengembangan PBK juga dilandasi oleh konsep-konsep BT, dengan kata lain BT merupakan salah satu prinsip yang mendasari pengem¬bangan PBK (Blank, 1982: 11).
PBK meyakini bahwa pendidikan seyogianya memfo¬kuskan pada kemahiran pelajar pada kompetensi khusus. Kompetensi itu sendiri merupakan gabungan keterampilan, perilaku, dan pengetahuan yang dapat didemonstrasikan oleh pelajar setelah mereka belajar. Rumusan kompetensi ini juga menjadi rujukan dalam memeriksa kegiatan belajar siswa yang dilakukan melalui observasi langsung pada per¬ilaku pelajar. Oleh karena itu tujuan belajar seyogianya sudah diketahui pelajar sejak awal pengalaman belajar. Pelajar sudah mengetahui ke¬untungan-keuntungan jika mereka menguasai setiap tingkat kompetensi yang mereka pelajari. Sumber utama pemeriksaan prestasi belajar berpegang pada unjuk kerja pelajar.
Berdasarkan konsep kompetensi seperti itu, maka pendidikan berbasis kompetensi seyogianya bermuatan pengetahuan-pengetahuan khusus yang dapat diamati dalam bentuk perilaku. Menentukan tujuan-tujuan yang dapat digunakan sebagai batas minimal atau kriteria keberhasilan pelajar belajar. Aktivitas belajar disesuaikan guna membantu setiap pelajar mencapai kompetensi minimum. Variasi waktu menjadi perhatian khusus dalam upaya mencapi kompetensi minimum dan penghargaan terhadap waktu. Konsepsi dasar ini, mengarahkan para pengembang KBK untuk menempatkan standard kompetensi ke dalam komponen-komponen struktur kurikulum — tujuan, organisasi isi, proses belajar mengajar, dan evaluasi.
PENDEKATAN DALAM MERENCANAKAN KURIKULUM
Ada empat komponen utama yang menjadi urutan dalam menyusun dan mengembangkan kurikulum pendidikan, urutan itu dimulai dari; mengidentifikasi masalah, perencanaan, kebutuhan, dan pendekatan. Masing-masing komponen disajikan sebagai berikut.
A Identifikasi masalah
Perkembangan dan perbaikan kurikulum tidak dapat dipisahkan dengan kondisi objektif pada saat kurikulum dilaksanakan. Oleh karena itu, perencanaan kurikulum harus peka terhadap permasalahan-permasalahan yang timbul di masyarakat dan kritikan-kritikan tentang pendidikan.
a. Permasalahan
Pada dasarnya permaslaahan dalam pengembangan kurikulum dapat dibedakan atas dua kelompok, yaitu permasalahan umum, dan permasalahan khusus.
Peramsalahan umum adalah permasalahan yang umumnya di hadapai oleh para pengelola sekolah dan pengembang kurikulum. Permaslaahna-permasalahan itu mencakup adanya ledakan calon siswa pendaftar, keterbatasan bangunan, jumlah dan kualitas guru, dan biaya. Aspek-aspek ini akan berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap penggunaan kurikulum sebagai pedoman untuk mencapai tujuan pendidikan. Contohnya, ledakan pendaftar yang akan masuk ke sekolah mengakibatkan dibentuknya tipe-tipe kelas besar.
Model kurikulum untuk kelas besar tentu akan berbeda dengan kelas yang ideal. Hal ini akan berkaitan dengan metode mengajar di kelas, penguasaan kelas oleh guru, penyajian materi pelajaran dan lain sebagainya dan umumnya akan semakin kompleks.
Di sisi lain pengembangan kurikulum diharapkan fleksibel terhadap perkembangan masyarakat. Begitu juga perubahan dan perbaikan kurikulum diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dan perkembangan masyarakat termasuk di dalamnya proses pengembangan kurikulum itu sendiri.
Permasalahan khusus. Hal ini berkaitan dengan perkembangan dan transformasi ilmu pengetahaun dan teknologi (IPTEK), juga berpengaruh terhadap penyusunan kurikulum pendidikan. Kondisi ini memperlihatkan seolah-olah adanya persaingan antara pencipta and pengembang IPTEK dengan perencana dan pengembang kurikulum di sekolah. Masyarakat senantiasa menuntut kepada sekolah untuk dapat jalan beriringan dengan perekmbangan IPTEK.
Di sisi lain ada beranggapan bahwa sekolah gagal dalam mentransformasikan IPTEK. Suatu tuduhan yang dirasakan kurang logis, tetapi harsu dipikirkan. Konsekuensinya para pengmbang kurikulum harus bekerja keras guna menangkal anggapan-anggapan yang negatif tersebut.
Berikutnya, peranan pendidikan dalam perkembangan nasional perlu diyakini. Tentu hal ini akan menyangkut berbagai aspek dan komponen yang berkaitan dengan kebijakan suatu negara. Sebagai contoh, peluncuran pesawat ruang angkasa Sputnick oleh Uni Soviet mengakibatkan perubahan kurikulum pendidikan di Amerika Serikat.
Permasalahan khussu yang terakhir berkaitan dengan falsafal suatu bangsa, yang menentukan arah pendidikan di negara tersebut. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan harus mencerminkan hal itu. Arah pendidikan suatu negara yang berdasarkan falsafah itu diwujudkan dalam tujuan pendidikan nasionalnya. Seperti tujuan pendidikan di Indonesia adalah untukmembentuk manusia Indonesia yang Pancasilais. Tujuan ini sesuai dengan falsafah bangsa Indonesia yaitu Pancasila.
b. Kritik atas pendidikan
Ada dua hal pokok yang ditujukan sebagai kritikan terhadap pendidikan, yaitu yang berkaitan dengan lingkungan sosial dan anti intelektualisme.
Hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan sosial meliputi peran orang tua, badan-badan keagamaan atau lembaga-lembaga sosial lainnya. Dalam hal ini, sekolah dianggap merampas secara paksa peran lingkungan sosial tersebut.
Selanjutnya, berkaitan dengan anti intelektualisme. Dalam hal ini sekolah dianggap terlalu lemah dalam menghadapi kaum anti intelektualisme. Akibatnya pendidikan diarahkan pada penyesuaian hidup dan perkembangan emosional. Sementara kemampuan akademis dan ilmu pengetahuan kurang diperhatikan.
Berdasarkan kritik-keritik tersebut Hilda Taba mengajukan reformasi dalam penyusunan kurikulum, yang memberikan tekanan pada (a) mengurangi fungsi sekolah yaitu dengan menciptakan profesi pendidik yang dapat memimpin sekolah sesuai dengan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan. (b) pembatasan kurikulum dengan memperhatikan siswa dan masyarakat.
Persoalan semakin rumit, karena kritik dan saran datangnya dari berbagai pihak dengan latar belakang yang berbeda pula, sehingga semua bukan menjadi lebih jelas melainkan semakin kabur dan tidak dapat dimengerti.
B Perencanaan Kurikulum
Pro dan kontra yang ditujukan terhadap pendekatan dalam pengembangan kurikulum hanya memperbesar perbedaan pandangan dan tidak menyelesaikan masalah.Akibatnya yang ada hanya kebingungan saja. Berikut ini disajikan empat pandangan dari empat golongan.
Pertama kaum progresivisme, mereka mengemukakan bahwa kurikulum harus didasarkan pada analisa sifat-sifat masyarakat dan individu yang diinginkan. Akan tetapi konsekuensinya akan lebih menitik beratkan pada kehidupan emosional dan perkembangan kedewasaan dan mengenyampingkan perhatian yang seharusnya pada keterampilan dan pemahaman isi. Akibatnya organisasi kurikulum antara lain merupakan; bidang yang luas, mendasar, dan kurikulum yang cenderung berdasarkan pada pengalaman.
Kedua kaum behaviorist, mengajukan konsep tujuan pendidikan yang bersifat behavioral, yaitu tujuan pendidikan tidak hanya memperoleh pengetahuan dan keterampilan akademis, dan proses belajar disesuiakan dengan tujuan yang akan dicapai. Konsep ini juga membedakan antara tujuan belajar yang menunjang pendidikan umum dengan yang menggambarkan pemahaman pengetahuan faktual dan bersifat khusus. Konsekuensinya terhadap kurikulum adalah pemilahan pengetahuan akademis dan mengurangi keterampilan.
Ketiga, periode setelah perang Dunia II. Pada periode ini pengembangan kurikulum lebih mengarah pada perbaikan, pengulangan pernyataan, dan implementasi daripada ide-ide terdahulu yang banyak tergantung pada persepsi intuitif, observasi empiris, dan spekulasi filosofis. Hal ini ditandai dengan penggunaan istilah-istilah yang tidak dapat dijelaskan secara konkrit. Periode sesudah perang Dunia II ini mengalami kekosongan dalam pengembangan kurikulum. Kemudian kekosongan ini diisi dengan usulan reformasi yang lebih mengarah pada teknologi mengajar daripada perluasan ruang lingkup pelajaran.
Keempat. Era perkembangan ilmu pengetahuan sosial (IPS). Dalam perekmbangannya IPS banyak menghasilkan konsep-konsep baru dan fakta-fakta. Perkembangan pemikiran dan teori dalam bidang psikologi dan antropologi yang dikaitkan dengan analisa budaya, masyarakat, dan menusia merupakan dasar-dasar yang digunakan untuk mengembangkan kurikulum. Implikasinya terhadap pengembangan kurikulum adalah dibedakannya antara teori dan praktik atau ilmu murni dan ilmu terapan.
C Teori Pengembangan Kurikulum
Kebutuhan teori dalam pengembangan kurikulum tidak hanya menjelaskan permasalahan yang menjadi pokok persoalan saja, akan tetapi juga mengembangkan sistem dan konsep yang harus digunakan dalam menerapkan relevansi data ke dalam pendidikan. Hal ini sangat bermanfaat dan dapat dipergunakan untuk menentukan keputusan-keputusan yang berkaitan dengan; penentuan tujuan umum dan khusus, pemilihan subjek-subjek kurikulum, bentuk-bentuk pengalaman belajar, evaluasi, dan pola keseluruhan kurikulum yang dikembangkan. Dalam hal ini juga perlu mengembangkan konflik-konflik berikut:
Mengidentifikasi apa yang menjadi konflik utma dalam menentukan prinsip-prinsip dasar pendidikan ditinjau dari beberapa faktor berikut; yang berkaitan dengan teori-teori psikologi dan filsafat mengenai sifat-sifat individu, sifat-sifat belajar, tujuan-tujuan budaya, dan peranan individu-individu dalam kebudayaan tersebut.
Nilai-nilai ganda yang mencakup tujuan-tujuan belajar mengajar.
Menilai secara keseluruhan pola kurikulum, bukan hanya perbaikan dalam bentuk tambal sulam.
Penentuan kriteria untuk menentukan dasar kurikulum yang kokoh, sehingga dapat dipergunakan untuk menentukan pilihan dan pelaksnaaan kurikulum.
Menetapkan metodologi yang didesain untuk membantu pengembangan kegiatan eksperimentasi dan penerapan ide-ide yang ada dalam teori ke dalam praktik.
PENDEKATAN DALAM PENYUSUNAN KURIKULUM
Ada dua pemikiran yang non-functional berkaitan dengan definisi kurikulum, kedua pemikiran itu adalah: (1) penentuan definisi yang terlalu luas sehingga mengaburkan pengertiannya, dan (2) pengertian yang terlalu mengikat (sempit) sehingga tidak sesuai dengan kurikulum modern. Dalam hal ini Hilda Taba mengajukan tiga komponen sebagai dasar untuk mengembangkan kurikulum yaitu:
Isi (content) yang berhubungan dengan pemilihan dan pengorganisasian aspek-aspek proses belajar dan antivitas-aktivitas yang berhubungan dengan pengembangan kurikulum.
Elemen-elemen kurikulum yang terdiri atas; pola-pola belajar mengajar, evaluasi, dan teori-teori belajar.
Kriteria penentuan elemen yang berasal dari tradisi, kondisi sosial, dan kebiasaan.
Selanjutnya Hilda Taba juga mengemukakan perlunya kriteria pengambilan keputusan dalam upaya menyusun teori pengembangan kurikulum serta alur berpikirnya. Sumber-sumber kriteria itu dapat diambil dari:
Tuntutan budaya dan masyarakat.
Sifat-sifat anak didik dan perkembangan individu yang dapat menentukan tugas-tugas yang dapat dicapai.
Proses belajar dan perkembangan individu yang dapat menentukan tugas-tugas yang dapat dicapai.
Sifat-sifat proses belajar untuk membatasi ruang lingkup kurikulum
Belajar berkembang, yang berarti mencakup aspek-aspek perkembangan
Sifat-sifat pengetahuan untuk menentukan susunan disiplin ilmu yang dapat diasumsikan dalam isi kurikulum
Pemilihan nilai-nilai dan falsafah yang mendasarinya.
Akhirnya perencanaan kurikulum yang diusulkan oleh Taba terdiri atas tujuh komponen yang disusun secara berurutan:
(1) Mendiagnosis kebutuhan-kebutuhan.
(2) merumuskan tujuan.
(3) Memilih isi kurikulum.
(4) mengorganisasi isi,
(5) memilih pengalaman belajar.
(6) mengorganisasi pengalaman belajar.
(7) menentukan evaluasi yang terdiri atas; cara mengevaluasi dan mengartikan setiap perilaku itu.
KONSEP-KONSEP AKHIR MENGENAI KURIKULUM
Salah satu fungsi sekolah adalah untuk menanamkan unsur budaya kepada kaum muda. Hal ini dimaksudkan agar mereka juga turut bertangung jawab terhadap kesinambungan budaya tersebut. Untuk tujuan itu pendidikan seyogianya berfungsi sebagai; pelindung dan alat penerus kebudayaan serta alat pengembang individu.
A. Pendidikan sebagai Pelindung dan Penerus Kebudayaan
Konsep yang mendasari bahwa pendidikan adalah pelindung kebudayaan, ditinjau dari sifat manusia yang rasional dan mengakui bahwa kebenaran dimana-mana sama. Dalam hal ini pendidikan dapat dipandang sebagai pemanfaatan kepintaran. Sementara Brubacher lebih menekankan hal-hal yang lebih mendasar dan menyeluruh dari suatu kurikulum.
Selanjutnya pendidikan disebut sebagai penerus warisan budaya yang lebih menekankan pada tiga aspek dasar dalam pendidikan yaitu;
(1) pengembangan intelektual, dalam hal ini yang ditekankan adalah pemahaman prinsip-prinsip dan kemampuan menangani dan menerapkan ide-ide yang kompleks, menggunakan pengetahuan secara luas dan mampu mengendalikan alat-alat secara efektif. (2) melatih kecakapan, yaitu suatu aktivitas yang mengutamakan latihan-latihan keterampilan dasar. (3) Tradisi klasik yang lebih menekankan pada bentuk-bentuk disiplin ilmu.
Namun demikian tetap ada kritikan-kritikan yang ditujukan pada asumsi-asumsi tersebut di atas. Dalam hal ini Hilda Taba menampilkan enam kritikan sebagai berikut:
Asumsi-asumsi tersebut memberikan arti bahwa pendidikan harus ditujukan pada kebenaran-kebenaran dan pengembangan rasionalnya
Kebenaran waktu lampau tidak selamanya dapat dipertahankan
Meneruskan kebijakan-kebijakan yang telah kuno dapat berbahaya
Keraguan, apakah perkembangan intelektual dapat berlangsung secara efektif dalam lingkungan budaya yang sangat tertutup
Adanya kenyataan bahwa intelektualitas tidak dapat dipisahkan dari aspek-aspek perkembangan personalitas dan inteligensia. Sementara pemanfaatan intelektualitas akademis bukan berarti tanpa efek sampingan.
Kontradiksi antara pelaksanaan di lapangan dengan konsep yang sesungguhnya.
B. Pendidikan sebagai Penerus Kebudayaan
Kreativitas manusia dalam pembentukan kembali kebudayaan tidak terlepas dari peran pendidikan. Dalam hal ini pendidikan dapat berperan sebagai mediator juga katalisator dalam transformasi budaya di lingkungan masyarakat. Oleh karena itu antara pendidikan dan masyarakat umum tidak dapat berdiri sendiri-sendiri melainkan selalu menjadi satu kesatuan. Dengan kata lain antara pendidikan dan kebijakan umum mempunyai hubungan timbal balik. Hal ini juga disoroti oleh dua ahli pendidikan berikut.
Pertama. Horace Mana, ada tiga aspek dikemukakannya berkaitan dengan keterpaduan antara pendidikan dan kehidupan sosial, yaitu (1) menentukan hubungan antara pendidikan dan masalah-masalah sosial. (2) Pendidikan dapat digunakan mengubah karakter manusia. (3) pendidikan adalah tangan bagi kebijaksanaan umum dan alat bagi penanganan masalah-masalah sosial.
Kedua. Dewey, menyatakan bahwa ada tiga aspek yang berkaitan dengan keterpaduan antara pendidikan dan kondisi sosial, yaitu (1) pendidikan adalah proses sosial. 92) pendidikan adalah alat yan gefektif untukrekonstruksi sosial. 93) pendidikan dapat membentuk individu (fungsi psikologis) dan dengan demikian membentuk kebudayaan (fungsi sosial).
C. Pendidikan Bagi Perkembangan Individu
Dalam proses pendidikan juga harus diperhatikan tentang kondisi internalnya. Komponen utama dalam pendidikan adalah anak sebagai peserta didik, dan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan. Pendidikan diselenggarakan untukmendidik anak, agar anak berhasil memasuki masa dewasa serta kehidupan di lingkunganmasyarakat. Ada tiga aspek yang perlu diperhatikan berkatian dengan anak sebagai peserta didik di lingkungan pendidikan; (1) anak sebagai pribadi yang unik. (2) kebutuhan individu anak. (3) latar belakang sosial individu anak (powers).
Berdasarkan tingkat perkembangan individu anak maka fungsi sekolah adalah mengisi kesenjangan dan kekurangan dalam sosialisasi yang terjadi akibat keterbatasan kesempatan yang terdapat dalam struktur sosial. Karenanya sekolah tidak hanya memperkenalkan keterampilan-keterampilan dan kemampuan yang penting bagi self-realization atau kesadaran akan kebudayaan tetapi juga harus bertindak sebagai kekuatan terpadu dalam membentuk keyakinan dan sikap yang sesuai dengan politik yang dianut.
Selanjutnya bagaiaman implikasi dari konsep-konsep di atas dalam pengembangan kurikulum, yaitu (1) perlunya program-program yang konkrit secara definitif untukkeperluan pengembangan kurikulum. (2) menentukan definisi dari kebutuhan-kebutuhan, dan selanjutnya dituangkan dalam kurikulum. Dengan demikian program pendidikan dapat disesuaikan dengan struktur kebutuhan-kebutuhan sosial.
ANALISIS TENTANG MASYARAKAT
Untuk menentukan tujuan-tujuan dan titik berat dalam menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan konsep fungsi sosial, maka diperlukan suatu analisis tentang situasi dan kondisi masyarakat. Hal ini diakui sangat kompleks. Namun demikian dapat didekati melalui tiga aspek utama, yaitu; sumber-sumber analisis, dampak IPTEK, dan pengaruhnya terhadap peranan pendidikan.
A. Sumber-sumber Analisis Masyarakat
Secara umum sumber analisi masyarakat dapat dikaji melalui; sejarah manusia, perkembangan ilmu pengetahuan, kecenderungan dalam kebudayaan, falsafal dari suatu negara, dan ilmu pengetahuan sosial.
Sejarah manusia, melalui perkembangan manusia dari masa-masa terdahulu hingga perkembangan selanjutnya dapat dianalisis melalui berbagai aspek kehidupannya. Contoh; perkembangan kehidupan di Pulau Jawa sangat berbeda dengan kondisi kehidupan masyarakat di luar Jawa. Pesatnya pertumbuhan penduduk (manusia) di pulau Jawa memberikan konsekuensi terhdapa berbagai asepk kehidupannya. Pertumbuhan dan perkembangan manusia juga mendorong berkembangnya pendukung kehidupan manusia, seperti munculnya era industrialisasi, era informatika, dan era komunikasi.
Perkembangan ilmu pengetahuan. Aspek lain yang terus berkembang dalam kehidupan manusia adalah ilmu pengetahuan. Pada dasarnya perkembangan ilmu pengetahuan itu dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia itu sendiri. Namun demikian perkembangan ilmu pengetahuan juga mempunyai akibat sampingan (berakibat buruk) terhadap kehidupan manusia, baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Perkembangan ilmu pengetahuan mendorong manusia untuk berpikir ke arah yang lebih general dan universal. Ilmu pengetahaun dalam perkembangannya juga mendorong manusia untuktidak cepat puas terhadap pengetahuan yang diperolehnya saat sekarang dan terus mencari dan mencari.
Kecenderugnan kebudayaan. Secara umum kebudyaan merupakan rekayasa manusai. Hal ini dilandasi berbagai faktor dari manusia, baik secara internal (dari dalam diri manusia itu sendiri) maupun faktor eksternal (dorongan dari luar diri manusia). Kedua aspek ini tidak terpisah satu dengan lainnya. Potensi yang terkandugn dalam diri manusia dan selanjutnya dimunculkan dlaam bentuk tingkah laku berupa karangan, ciptaan, kegiatan dan lain-lainnya akan menjadi suatu pola budaya manusia dalam satu kelompok atau pun secara keseluruhan.
Falsafah suatu negara. Landasan hidup suatu negara juga merupakan sumber untuk menganalisa masyarakatnya. Seperti, falsafah demokrasi yang dianut oleh suatu negara mungkin berbeda dengan yang dianut oleh negara lain. Perbedaan ini akan memberikan corak atau ciri tersendiri terhadap kehidupan masyarakat yang hidup di dlaam naungan falsafal itu. Sebagaimana falsafah demokrasi pancasila tidak sama dengan falsafah demokrasi leberal.
Ilmu pengetahuan sosial. Sumber lain yang dapat dijadikan untuk menganalisa suatu masyarakat adalah IPS. Dewasa ini perekmbangan ilmu pengetahuan tidak hanya bidang-bidang eksakta semata, tetapi juga ilmu-ilmu sosial. Keduanya mempunyai keterkaitan yang erat. Artinya perkembangan yang satu akan mempengaruhi yang lainnya. Misalnya, penggunaaan hasil-hasil dari ilmu-ilmu eksakta terapan di dlaam lingkungan sosial akan berpengaruh terhadap pranata kehidupan umat manusia di suatu daerah ataunegara. Begitu pula sebaliknya perkembangan ilmu sosial dapat dipergunakan untuk memacu perkembangan ilmu-ilmu eksakta teapan.
B. Pengaruh Perkembangan IPTEK.
Perekmbangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi secara umum dapat dipilahkan menjadi dua dekade, yaitu dekade sebelum abad ke 18 dan sesudahnya. Pada dekade sebelum abad 18 kebanyakan perkembengan ilmu pengetahuan masih ilmu untuk ilmu. Dalam hal ini ilmu pengetahuan masih merupakan dasar yang belum dapat diaplikasikan langsung dalamkehidupan manusia. Pada dekade itu juga muncul ungkapan “menara gading perguruan tinggi”, dan sebahagian orang menyebutnyailmu pengetahuan elite.
Setelah terjadi revolusi industri pad abad ke 18, perkembangan ilmu pengetahuan tidak lagi hanya terkungkung di perguruan tinggi, melainkan sudah lebih meluas pada aplikasinya untuk kehidupan umat manusia. Hal ini lebih dikenal dengan bentuk-bentuuk ilmu pragmatis. Jadi perkembangan ilmu tidak hanya untuk ilmu itu sendiri, akan tetapi juga mempertimbangkan keterpakaiannya pada kehidupan manusia sehari-hari. Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan mempunayi dua fisi yaitu fisi perekmbangan ilmu untuk ilmu atau disebut dengan ilmu-ilmu murni, dan fisi perkembangan ilmu yang dapat digunakan langsung untuk kehidupan manusia atau disebut dengan ilmu-ilmu terapan.
Kalau dapat dikatakan bahwa ilmu terapan merupakan turunan dari ilmu-ilmu murni, maka teknologi merupakan perwujudan dari ilmu-ilmu terapan itu. Untuk selanjutnya perkembangan teknologi memberikan pengaruh besar terhadap kehidupan umat manusia, dan hampir setiap sendi kehidupan manusia tidak terlepas dari intervensi teknologi.
Perubahan teknologi cenderung mengubah dunia, lembaga-lembaga mesyarakat dan berbabai aspek kehidupan menusia. Teknologi telah menciptakan dan mempengaruhi hati serta pikiran mereka yang menggunakannya. Teknologi telah pula mengubah tuntutan-tuntutan manusia modern akan apa yang harus dilakukan.
Dalam kehidupan masyarakat luas perkembangan IPTEK memberikan pengaruh terhadap; perpanjangan revolusi industri, perubahan sosial budaya yang terus menerus, dan sukar untuk menduga hal-hal yang akan datang. Begitu pula dalam dunia pendidikan. Prestasi teknologi suatu negara akan mempengaruhi tuntutan perkembangan teknologi di negara lain. Hal ini akan berkaitan dengan kualitas hidup manusianya, dan tentu akan berpengaruh terhadap proses pendidikan. Contohnya seperti, akibat peluncuran sputnick oleh Uni Soviet, Amerika Serikat sibuk membenahi kurikulum dan proses pendidikannya.
C. Peran Pendidikan
Dikaitkan dengan pandangan dari analisis masyarakat, setidak-tidaknya pendidikan mempunyai tiga peran utama yaitu; ditinjau dari segi kebutuhan, perubahan sosial, dan perubahan baru untuk membentuk tugas pendidikan. Peran ini memberikan ciri bahwa pendidikan tidak dapat dipisahkan dari suatu masyarakat.
Kebutuhan. Peran pendidikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat selalu didasari oleh kondisi objektif di masyarakat. Sedangkan di masyarakat perkembangan akan menyangkut aspek lingkungan dan juga aspek individu (manusianya). Kesemua ini tidak terlepas dari perkembangan IPTEK. Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa IPTEK dalam perkembangannya terus mengintervensi pola hidup manusia.
Tinjauan dari segi lingkungan, peran ilmu-ilmu eksakta seperti matematika dan ilmu pengetahuan alam dibutuhkan sebagai dasar utama. Kedua bidang ini selayaknya mendapat tekanan dalam upaya untuk meningkatkan daya nalar dan keluasan pandangan terhdapa gejala-gejala alam, yang pada gilirannya berakibat kepada kehidupan manusia.Atas dasar ini, pendidikan dapat memperbanyak dan memperbaiki latihan-latihan yang berkaitan dengan matematik dan ilmu pengetahuan alam tersebut.
Tinjauan dari segi kebutuhan individu, pendidikan diharapkan dapat mengarahkan bakat peserta didik pada bidang-bidang yang menjadi dasar utama. Dalam hal ini diperlukan tingkat kejelian memilih materi yang dapat memenuhi harapan individu, sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya. Walaupun tidak persis sama tetapi minimal dapat mencakup induk-induknya. Artinya kemampuan dan keterampilan dasar yang menjadi kebutuhan individu harus dapat dipenuhi oleh pendidikan.
Perubahan Sosial. Perubahan di lingkungan sosial mendorong perubahan tingkat kebutuhan masyarakatnya. Kebutuhan-kebutuhan seperti peningkatan kualitas individu untuk memupuk prinsip pemerataan, kebebasan politik, bakat, estetis, serta keseimbangan dunia, merupakan aspek-aspek perubahan sosial yang perlu diperhatikan pihak pendidikan. Pola-pola pendidikan yang tidak mampu untuk mengantisipasi perubahan tingkat kebutuhan sosial akan dikatakan mandul. Mandul dalam arti akan terjadi kesenjangan antara dunia pendidikan dengan lingkungan masyarakat.
Tugas pendidikan. Setelah dikemukakan berbagai aspek yang berkaitan dengan perubahan-perubahan baik dibidang IPTEK maupun terhadap lingkungan sosial, maka pendidikan mempunyai tugas antara lain; memerluas wawasan pengertian dari kebudayaan yang akan diteruskan. Mempersiapkan tenaga-tenaga terlatih dan terampil sesuai dengan proses perubahan. Menyampaikan dan mengadakan hubungan antar kebudayaan. Menggambarkan kesulitan yang berkaitan dengan kebebasan yang dihadapi oleh manusia-manusia yang haus akan kekuasaan. Megantisipasi percepatan perubahan di masyarakat termasuk di dunia kerja, sementara dalam dunia pendidikan masih berada di belakang.
Hasil dari analisis terhadap masyarakat, memberikan beberapa konsekuensi dalam dunia pendidikan, antara lain:
Pengembangan dan pelaksnaan kurikulum mutahir selelu dihadapkan dengan kriteria dan perspektif kebutuhan yang lebih besar.
Pemilihan dan memberikan tekanan khusus pada bidang-bidang yang bersifat saintifik dan teknologis cenderung untuk menjadikan khsanah ilmu pengetahuan menjadi terpilah-pilah, dan akibatnya para akhli hanya dapat berbicara di antara mereka sendiri. Sementara di pihak lain, pemikiran yang produktif atas masalah “sosial” menuntut keterpaduan antara fakta dan pemikiran.
Menciptakan pemikiran yang dapat memecahkan masalah kehidupan dalam dunia yang cepat berubah. Hal ini menuntut pengkajian kembali cara dan kebijaksanaan waktu lampau dan asumsi yang perlu bagi peningkatan pemikiran yang didasarkan pada warisan kebudayaan untuk dapat memikirkan ke masa yang akan datang.
Memberikan suatu arah nilai yang menekankan pada benda-benda, teknologi, dan proses-proses di mana nilai-nilai cenderung menyebabkan kebingungan dan konflik dalam kesatuannya yang menjadi leingkungan tertentu. Sebagaimana yang dikatakan sebelumnya dalam masyarakat yang cepat berubah terdapat kesenjangan budaya antara perubahan teknologi dan perubahan sistem nilai.
Sain dan metode saintifik dapat memperkuat pengertian yang tidak bertanggung jawab secara sosial. Dalam suatu konferensi mengenai sain dan tanggung jawab manusia dikatakan bahwa sain pada tiga abad sebelum abad dua puluh cenderung menjauhkan perasaan manusia terhadap tanggung jawab.
Karena pendidikan gagal menerapkan pemikiran reflektif terhadap nilai, dan karena pendidikan menggunakan banyak waktu dalam mengembangkan bentuk-bentuk pemikiran yang tidak sesuai untuk dihubungkan dengan konflik dalam nilai dan tujuan yang menjadi objek kesetiaan guna menciptakan daya tarik dan tujuan-tujuan umum. Hal ini menjadi praduga adanya motif pribadi yang terselubung.
Perguruan tinggi gagal untuk memperjelas hubungan antara pengetahuan saintifik dan maksud-maksud kehidupan yang lebih luas. Brameld mengatakan bahwa terdapat kemungkinan bahwa pendidikan terlalu memikirkan netralisasi faktual dan cenderung untuk menyimpan nilai-nilai dalam batas-batas pendidikan yang sulit terjangkau.
Pendidikan perlu untuk menanamkan suatu komitment tentang nilai-nilai demokratis dan makna tujuan pribadi dan kolektif yang memberikan arah bagi usaha-usaha pribadi dan pencapaiannya. Pendidikan harus membantu manusia untuk berpikir secara kolektif mengenai tujuan-tujuan sosial.
ANALISIS KEBUDAYAAN
Pengertian saintifik mengenai kebudayaan dan manusia-manusia dalam kebudayaan tersebut haruslah merupakan suatu alat profesional untuk memikirkan mengenai pengembangan kurikulum. Sangat diperlukan adanya persesuaian antara ilmu-ilmu yang mempelajari kebudayaan dan yang mempelajari pendidikan karena yang menjadi persoalan adalah sekolah-sekolah sekarang ini tidak hanya pendidikan saja. Sekolah-sekolah ini merupakan sesuatu yang bersumber pada dinamika manusia dan lingkungan sosial. Pengertian mengenai apa lingkungan itu, apa isinya, dengan dinamika apa dia berkembang serta masalah-masalah dan kemungkinan apa yang ada di dalamnya adalah tanggung jawab pendidikan.
C. Kluckhohn (1957), mengatakan bahwa bidang-bidang yang berhubungan dengan pendidikan dan antropologi adalah sama karena keduanya berhubungan dengan teknik-teknik pendidikan yang diciptakan oleh ,amusia, dengan norma-norma dan nilai-nilai yang mendasari teknik-teknik ini dan pemindahannya kepada generasi yang lebih muda. Oleh karena sebab-sebab inilah konsep-konsep antropologis mempunyai relevansi khusus kepada pendidikan.
A. Konsep Mengenai Kebudayaan
Salah satu konsep dasar antropologi yang mempengaruhi pemikiran psikologi pendidikan adalah konsep kebudayaan yang mencakup. (1) Gejala manusia sangat luas, pencapaian-pencapaian yang bersifat material, norma-norma, keyakinan dan perasaan seperti kesetiaan pada standard tertentu, cara dan moral, metode pengendalian diri. (2) Ketetapan sikap dan harapan-harapan. (3) Sesuatu yang dicapai manusia dalam hidup di masyarakat.
Para ahli antropologi mengatakan bahwa dalam masyarakat primitif kebudyaan merupakan serangkaian harapan, ketentuan tingkat laku, dan pola nilai-nilai serta kesetiaan yang berlaku secara umum.
B. Kepribadian dan Kebudayaan
Antropologi dan psikologi sosial juga berhubungan dengan sifat dan kepribadian manusia. Bagaimana mereka dibatasi dengan kebudayaan dan bagaimana mereka berfungsi di dalamnya. Para ahli antropologi mengatakan bahwa kepribadian terdiri atas elemen-elemen standar yang bersifat unik dan sosial. Setiap manusia dalam beberapa hal tertentu akan: (a) sama dengan orang lain, (b) sama dengan beberapa orang, (c) tidak sama dengan orang lain.
Para ahli antropologi cenderung untuk menekankan pada sumber-sumber sosial secara pribadi untuk memelihara aspek-aspek pribadi yang secara kultural bersifat standar dan merupakan bagian yang dominan. Para ahli psikologi hanya memperhatikan aspek-aspek individual dari kepribadian.
Kepribadian secara kultural dianggap standar dalam pengertian mewakili suatu sensitifitas standar. Sifat-sifat tanggapan yang dipelajari secara sosial menentukan secara luas isyarat-isyarat yang bersifat pribadi, dan makna yang diberikan kepada isyarat tersebut secara kultural, selanjutnya pola tingkah laku ini diwarnai oleh perasaan dan evaluasi.
Penilaian-penilaian emosional yang dicapai dalam proses mempelajari kepribadian seseorang menciptakan stabilitas dan kesatuan antara kebudyaan dan suatu masalah etnosentrisitas dalam hubungan-hubungan antar kebudayaan.
C. Asal-Usul Kepribadian
Apabila para ahli antropologi secara umum menekankan kenyataan bahwa kepribadian dan sifat dipelajari secara luas melalui proses-proses sosialisasi, mereka mengartikan sifat dan waktu daripada asal-usul ini secara berbeda-beda. Pola pengalaman masa kanak-kanak adalah yang selalu dianggap sebagai sumber utama dari proses-proses ini. Kardiner (1945), yang mengusahakan suatu penelitian tentang komunaliti dlaam kepribadian mengatakan bahwa pengalaman-pengalaman yang sama terutama pada masa kecil akan menghasilkan kepribadian yang sama. Setiap kebudayaan menimbulkan juga model-model berpikir mengenai arah terhadap dunia yang dibangun dengan memperoyeksikan sistem-sistem mental ini ke dalam dunia.
Asumsi-asumsi mengenai dampak pengalaman-pengalaman masa kecil terhadap pembentukan kepribadian dipakai sebagai asal-usul bagi konsep-konsep kepribadian dasar. Anatara lain: (1) pengalaman perorangan pada waktu muda mengakibatkan pengaruh yang permanen terhadap kepribadiannya. (2) Pengalaman-pengalaman yang sama itu akan cenderung menghasilkan konfigurasi kepribadian yang sama bagi orang yang dimaksud. (3) Bahwa cara-cara dari anggota suatu masyarakat membesarkan anak-anak mereka telah terpola secara kultural dan cenderung akan sama walaupun tidak pernah identik. (4) Cara-cara membesarkan dan memelihara anak-anak berbeda dari suatu masyarakat ke masyarakat yang lain.
D. Konsep Perubahan Sosial
Karena kebudayaan bersifat organik, artinya jika terjadi perubahan pada satu bagian memperlihatkan perubahan pada yang lain. Kebudayaan yang bersifat primitif dan homogen lebih bersifat konservatif, perubahan berlangsung perlahan-perlahan dan inti kebudayaan tetap dipertahankan. Sebagai lawannya kebudayaan barat terutama kebudayaan yang telah maju secara teknologi ditandai oleh perubahan yang cepat dan juga yang disengaja.
IMPLIKASI ANALISIS KEBUDAYAAN PADA PENDIDIKAN
Banyak hal dapat diambil dari analisis kebudayaan untuk mempelajari proses pendidikan. Melalui analisis budaya dapat ditarik implikasinya (yang relevan) terhadap fungsi sekolah terutama berkenaan dengan hubungan antara sekolah sebagai lembaga sosial dan kurikulumnya. Hasil analisis budaya juga dapat mempertajam pemikiran manusia untuk tidak begitu saja menerima akibat-akibat dari revolusi teknologi. Maka pada bagian ini ada lima hal yang dibahas, yaitu
(1) Sekolah sebagai perantara untuk menyaring proses sosialisasi.
(2) Pendidikan untuk nilai-nilai dan perasaan.
(3) Otonomi, individualitas, dan kreativitas.
(4) Bahaya-bahaya dari etnosentrisitas.
(5) Kebutuhan untuk translator.
A. Sekolah sebagai Alat Penyaring Sosialisasi
Sekolah-sekolah adalah fungsi dari berbagai proses sosialisasi merupakan asumsi yang bermula dari kegiatan pengajaran sebagai keterampilan-keterampilan sosial yang sederhana dan selanjutnya melangkah pada kehidupan dan dunia luar. Dalam hal ini, Kluckhohn’s menyatakan dengan ungkapan bahwa sekolah mempunyai fungsi untuk menjaga nilai-nilai moral, demokrasi secara ideal, dan aspek-aspek pengembangan kepribadian. Ungkapan ini menunjukkan adanya pemikiran bahwa proses belajar di sekolah sama seperti kebudayaan pada kehidupan di luar, karena dalam proses belajar dapat diwujudkan internalisasi nilai-nilai juga perasaan. Dengan kata lain, sebagai lembaga sosialisasi sekolah mempunyai konsekuensi memiliki lapisan nilai-nilai dan standar-standar individual dan diukur pada orientasi kehidupan.
Akibatnya ada dua kekuatan yang saling melengkapi yaitu; dampak dari kehidupan sekolah mempunyai tugas rangkap tentang (1) kehidupan sekolah direncanakan berdasarkan nilai-nilai dan struktur karakter, (2) kurikulum merupakan tahapan dari struktur karakter itu, yang di dalamnya memberikan kesempatan untuk mengembangkan nilai-nilai yang penting dan konsisten dengan nilai-nilai itu.
Sekolah dengan berwawasan kebudyaan dapat digambarkan sebagai tambahan yang direncanakan dan pemeriksaan terhadap proses sosialisasi dari lingkungan masyarakat dan karakter lembaga latihan lain. Sekolah juga sebagai sumber kekuatan untuk mempelajari nilai-nilai, konsep diri, dan sasaran hidup.
Sekolah-sekolah formal harus siap memberikan informasi dan keterampilan-keterampilan dan latihan-latihan dalam disiplin ilmu. Menurut Linton, bahwa guru-guru modern buka hanya melestarikan kebudyaan, tetapi juga harus memberikan pengarahan pada anak tentang perubahan.
B. Pendidikan untuk Nilai-nilai dan Perasaan
Pengajaran nilai-nilai dan perasaan dianggap sebagai kekuatan-kekuatan yang berada di balik sekolah, sebab ada ide yang menyatakan bahwa nilai-nilai dan perasaan sebagai suatu yang dapat memperhalus aspek-aspek kepribadian dan dapat bertahan terhadap perubahan-perubahan metode pendidikan, sehingga dari sini banyak dipergunakan untuk pengembangan kurikulum dan pengajaran, serta mempersiapkan metodologi yang sesuai untuk mencapai tujuan pengajaran.
Hal lain yang penting untuk diperhatikan bahwa pendidikan nilai dapat disesuaikan terhadap latar belakang lain guna mengontrol pendidik-pendidik untuk masa depan.
Analisisw budaya dan karakteristik sosialisasi serta mengemukakan aspek kepribadian menjadi bagian dari tujuan nilai, dan pendeskripsian cara-cara dalam mempelajari nilai-nilai. Tugas pendidikan adalah untuk membuat proses ini secara sadar, bertahan secara rasional, memperdulikan peraturan-peraturan dalam kurikulum agar lebih efektif.
Orientasi pelajar-pelajar dalam mempelajari nilai-nilai budaya memberikan beberapa bagian penting pada pendidikan, yaitu:
. Pendidikan nilai merupakan tugas nyata untuk mengembangkan kriteria lain dalam membantu percobaan-percobaan sikap terhadap nilai-nilai tersebut
. Impleikasinya terahdap pendidikan, maka sekolah harus memberikan ilmu-ilmu sosial yang baik. Pendidikan harus memahami fungsi manusia dalam proses budaya dan mengembangkan cara-cara proses belajar mengajar dalam budaya.
. Kondisi-kondisi yang harus diperhatikan adalah interaksi sosial dan konteksnya.
. Implikasinya terhadap kurikulum, adalah isi kurikulum harus dalam suatu kondisi atau peristiwa pembelajaran. Perubahan-perubahan dalam isi kurikulum harus mencakup; karakter disiplin, kualitas hubungan antar personal, tingkat kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan individu dan perlengkapan motivasi yang dipergunakan.
C. Otonomi Individualitas dan Kreativitas
Ada dua sumber utama yang dapat membangkitkan kreativitas dan otonomi yaitu aktualisasi diri untuk mencapai tujuan-tujuan yang sudah jelas, dan menentang kehendak umum. Atas dasar ini maka pendekatan yang perlu dikembangkan dalam proses pendidikan adalah; (1) metode berpikir bebas, (2) penggabungan dari konsep diri dan harapan pribadi.
Sedangkan aspek-aspek yang menjadi perhatian dalam hal kebebasan seseorang (otonomi individu) antara lain; (1) produktivitas berpikir dan kebebasan berpikir, (2) kurikulum yang berbeda antara seseorang dengan yang lainnya. Pertama dalam memberikan prinsip-prinsip yang mendasar dan ide-ide yang memberikan struktur berpikir. Kedua, pengalaman belajar yang memberikan kesempatan untuk inkuiri, menemukan dan melakukan percobaan.
Aspek lain dalam pengembangan otonomi dan individualitas adalah analisis budaya yang bersesuaian dengan konsep-konsep diri dan harapan-harapan pribadi yang rasional.
D. Bahaya-bahaya dari Etnosentris
Analisis budaya memperlihatkan adanya bahaya etnosentris yang tidak menentu dalam proses sosialisasi. Sejak budaya tidak menunjukkan mekanismenya di dlaam menanggulangi etnosentris, maka slaah satu tugas sekolah adalah menawarkan pola kehidupan yang berkembang cepat melalui hubungan-hubungan antar berbagai budya di dunia. Proses ini berarti mengembangkan tingkat kepekaan antar budaya, yaitu dengan memperlihatkan budaya-budaya nasional lainnya atau dalam hubungan pada sub-budaya di dalam suatu negara. Dengan kata lain sekolah dibutuhkan untuk menangkal kepicikan-kepicikan yang tidak dapat dielakkan dari pola-pola sosialisasi, dalam lingkungan sesama teman, dan selanjutnya menetapkan, kelompok utama yang berupa sel-sel budaya, termasuk juga keluarga-keluarga khusus di dalam suatu latar belakang suku, kehidupan agama dan sangsi-sangsi, ciri-ciri moral, dan standar baik buruk.
Tugas untuk mencapai tujuan utama ini barangkali untuk memeriksa efektivitas kurikulum dalam mengembangkan kepekaan internasional. Suatu percobaan dalam pendidikan antar kelompok, bergulat dengan persoalan-persoalan etnosentris mendemonstrasikan tentang pengembangan kepekaan budaya internasional, yang diperoleh tidak hanya pola-pola dan bahan-bahan kurikulum yang baru tetapi juga penemuan-penemuan baru dalam metode belajar dan mengajar. Cara-cara baru itu menggabungkan informasi dan pengertian, dan cara-cara baru itu mempertinggi kapasitas dan pengertian yang menjadi dasar utamanya.
Kajian-kajian dalamkehidupan sekolah pada umunya hanya mempromosikan bagian-bagian sekolah itu saja yang terdiri atas pengaturan kehidupan sekolah dan budaya sekolah. Pandangan tentang komposisi kegiatan kelompok biasanya sama dengan karakteristik kehidupan akademik pelajar dan kehidupan masyarakat internasional. Individu-individu dari kelompok sosial yang sama baik kecil maupun besar, dijadikan dlaam suatu kelompok yang mempunyai aktivitas sama. Akhirnya, mereka dialihkan ke sistem prestasi yang sama yaitu terhadap sistem kelas sosial dalamsatu masyarakat. Pemilihannya ditentukan oleh faktor-faktor latar belakang sosial, dan sebagai konsekuensi yang jaran gdilakukan adalah pencapaian prestasi kelompok dan masyarakat.
E. Kebutuhkan untuk Menterjemahkan
Keyakinan dalam menggunakan ide dan konsep dari suatu ilmu pengetahuan akan memperbesar peluang untuk selalu bergantung pada ide dan konsep tersebut, dan biasanya akan lmbat menyerap pengetahuan dari suatu displin ke disiplin lainya. Artinya, hasil-hasil penelitian dari satu displin ilmu tertentu tidak dapat begitu saja dipergunakan untuk disiplin yan glainnya. Atau dengan kata lain dalamsuatu persoalan khususnya berkenaan dengan pendidikan tidak dapat diselesaikan hanya dengan satu disiplin saja.
Biasanya penyerapan hasil-hasil penelitian baru dan konsep-konsep baru ke dalam proses pendidikan itu selalu lambat khususnya tentang peraturan-peraturan yang membantu perubahan sosial. Peristiwa-peristiwa sosial yang bergerak cepat dan cepatnya pertumbuhan pengetahuan melalui masyarakat dan budaya, membutuhkan peraturan-peraturan baru untuk menentukan tanggung jawab pola-pola kurikulum. Peraturan-peraturan ini adalah penterjemahan dari ide-ide dan fakta-fakta dari hasil ilmu pengetahuan ke dalam pelaksanaan pendidikan, konsep-konsep dan tugas-tugas pendidikan, serta ide-ide kurikulum dan pengajaran. Perlunya ketentuan-ketentuan yang diterjemahkan secara terus menerus dari hasil-hasil penelitian ilmupengetahuan ke dalam bentuk ide-ide dan informasi yang dapat dipergunakan untuk mengajar dan berpikir melalui pengajaran.
TEORI BELAJAR UNTUK DASAR KURIKULUM
Selama ini pengembangan kurikulum hanya didasarkan pada konsep-konsep psikologi belajar. Dalam isu-isu yang muncul hendaknya kurikulum dan metode belajar memasukkan unsur tentang budaya manusia dan budaya proses belajar. Sejarah telah membuktikan bahwa adanya hubungan antara pendidikan dan pengetahuan atau asumsi-asumsi yang diperoleh melalui budaya belajar. Proses belajar dalam pendidikan membutuhkan penggunaan sain (ilmu pengetahuan ilmiah), perilaku ini tidak hanya mengaplikasikan langsung sutatu sain akan tetapi melebihi fisika dalam menggunakan teori-teori fisikanya.
A. Kesesuaian Ide Belajar terhadap Kurikulum
Kajian tentang pengetahuan, pelajar dan belajar merupakan dua hal yang paling sesuai untuk menentukan kebijakan-kebijakan kurikulum. Pada dasarnya kurikulum adalah perencanaan untuk belajar. Perencanaan itu terdiri atas pembuatan tujuan-tujuan untuk belajar dan cara-cara untuk mencapai tujuan-tujuan itu. Perncanaan kurikulum adalah hasil dari kebijakan yang memuat tiga materi yang berbeda yaitu.
Memilih dan menyusun isi pelajaran
Pemilihan pengalaman belajar siswa, yaitu dengan memanipulasi isi pelajaran dan juga tujuan yang tidak tercapai oleh isi pelajaran itu sendiri
Merncanakan kondisi optimum untuk belajar.
Kebijakan ini tidak dapat dibuat secara tepat tanpa mengetahui banyak tentang pelajar dan belajar. Pemberian pelajaran juga harus sesuai dengan tingkat usia, dan ini disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak. Oleh sebab itu, perlu dipahami tentang karakteristik ilmu pengetahuan yang akan diajarkan, dalam hal ini perlu dipertimbangkan waktu untuk mengajarkan suatu materi khusus yaitu, bagaimana kita menentukan urut-urutan pengalaman yang akan diberikan, dan bagaimana menterjemahkan pengetahuan itu ke dalam pengalaman yan gdipelajari. Jika kita tahu bagaimana fungsi inteligen dan bagaimana perkembangan potensi, kita dapat menyesuaikan isi kurikulum pada kebutuhan-kebutuhan dan potensi anak. Pengetahaun tentang “transfer of learning” dapat membantu dalam membuat kebijakan tentang efisiensi belajar. Pengetahaun tentang semua perkembangan individu dapat membantu untuk menemukan apakah semua rentang tujuan-tujuan itu dapat dicapai dan bagaimana kurikulum dapat dilaksanakan atau dikembangkan untuk mencapai tujuan itu.
Pentingnya ide-ide tentang belajar dan pelajar pada pembuatan kurikulum telah diakui. Kebanyakan kurikulum memberikan tekanan tentang pentingnya memahami pelajar. Oleh karena itu, banyak program dibuat berdasarkan pada kesesuaiannya dengan tingkat-tingkat kebutuhan pelajar. Bukankah telah diakui adanya berbagai kategori pada individu pelajar, seperti perbedaan tingkat potensi akademik dan kemampuan intelektual. Perbedaan ini merupakan dasar psikologi dalam menyusun kurikulum yang memberikan tekanan pada pemahaman budaya dan masyarakat, dalam hal ini lebih mengutamakan pada aspek psikologi sebagai dasar pendidikan. Karena itu, berbeda dengan kurikulum yang memberikan tekanan pada aspek-aspek sosial dan mengabaikan peranan isinya.
Bagaimanapun pengetahuan tentang psikologi tetap dipergunakan untuk membangun kurikulum sebagaimana yang diharapkan. Begitu pula terhadap teori-teori belajar semakin besar potensinya untuk dipertahankan. Pola-pola kurikulum dan metode mengajar yang mutahir mencerminkan jejak sejarah tentang teori-teori belajar dari kemampuan psikologi ke teori medan. Keduanya, kurikulum dan pengajaran sekaran gmencerminkan perpaduan dari berbagai teori-teori belajar yang berbeda, yang suatu saat tidak sesuai dengan pelaksanaannya.
Dalam kenyataannya banyak praktik mengajar yang keluar dari konteks seperti mengajar keterampilan yang mempergunakan metode “menghafal secara berulang-ulang” (rote drill), yan gkembali ke teori belajar stimulus respon (S_R). Dalam kondisi lain sering dipergunakan untuk mengontrol dan mengubah tingkah laku dan nilai-nilai.
Belajar adalah kompleks dan banyak jenisnya dan berbeda satu dengan lainnya, misalnya seperti:
Mastering motor skills yang meliputi; mengingat informasi, mempelajari perasaan dan konsep-konsep.
Intellectual skills, meliputi aspek-aspek; mengeneralisasikan, dan prinsip-prinsip penyelidikan ilmiah.
Problem solving.
Dalam praktiknya belajar selalu terbatas pada belajar pada tingkatan yang lebih rendah (low level). Hanya sedikit yang mengetahui belajar pada tingkat yang lebih tinggi (higher level), seperti berpikir, sikap-sikap, dan minat-minat. (Spence, 1959, pp. 92-93).
Teori-teori belajar lainnya yang selalu dijelaskan adlah teori-teori asosiasi behaviorist dan teori medan yang berdasarkan psychoanalysis.
B. Teori-teori Utama dalam Belajar
Semua teori belajar menyedeiakan konsep tentang manusia dan perilakunya. Dalam hal ini ada dua konsep yang sangat mendasar tentang manusia yaitu;
(1) dalil-dalil tentang pemikiran yang dibantu dengan potensi yang jelas, seperti kemampuan-kemampuan menalar, mengingat, imaginasi, yan gtumbuh karena latihan.
(2) konsep yang mendalilkan bahwa manusia adalah sistem energi, yaitu sistem dinamika daya yang berupaya untuk mempertahankan kesesuaian atau keseimbangan dalam merespon sistem energi lain seperti terjadinya interaksi melalui organ-organ perasa. Sistem energi ini meliputi semuanya, termasuk respon-responya pada rangsangan, motivasi, perasaan-perasaan, dan proses berpikir.
Konsep tentang manusia dihasilkan oleh teori belajar yang selalu merujuk pada teori disiplin mental atau kemampuan psikologis. Ide utama dalam teori ini adalah bahwa pikiran sudah menjadi sifat, yang mempunyai atribut-atribut, atau kemampuan-kemampuan. Selanjutnya tugas pendidikan adalah untuk menumbuhkan keempat aspek 9respon-respon, motivasi, perasaan-perasaan, dan proses berpikir) dengan jalan melatih pengetahuan yang dimilikinya.
Konsep kedua tentang manusia, sudah menghasilkan paling sedikit dua teori tentang perilaku dan belajar. Pertama, teori asosiasi (teori behaviorist), teori ini mengasumsikan bahwa manusia adlah kumpulan dari respon-respon pada rangsangan khusus. Teori ini juga disebut dengan “elementaristic”, sebab perilaku yang mendasar diasumsikan terdiri atas peristiwa-peristiwa deskrit. Pada teori behaviorist ini sangat sedikit menempatkan fungsi mental yang lebih tinggi. Porsi belajar lebih banyak mempergunakan sistem coba-coba dan pengakomodasian. Proses transfer terbatas.
Kedua, teori Gestalt atau teori medan. Secara umum teori ini mengasumsikan bahwa proses kognitif, pengertian inteligen, dan organisasi adalah karakteristik yang sangat penting dalam proses pembelajaran. Belajar adalah perubahan struktur kognitif, atau cara-cara menerima peristiwa dan memberikan arti padanya. Secara mendasar teori medan memandang belajar sebagai proses sosial. Untuk belajar, organism harus berinteraksi dengan yang lain. Pemikiran ini memunculkan bentuk-bentuk kerja kelompok dan interaksinya, seperti diskusi, hal ini merupakan elemen yang penting dalam perencanaan kurikulum.
Ditinjau dari pelajar maka perbedaan individu adalah hal yang penting, sebab setiap individu mempunyai pengalaman yang berbeda. Selain dari pada itu, motivasi mempunyai posisi sentral dlam teori ini. Setiap respon yang diberikan dalam belajar merupakan akibat dari proses transfer, karena setiap situasi yang dihadapi adlah baru. Proses transfer dalam belajar tidak tak-terbatas, atau otomatis. Maka kurikulum direncanakan untuk mentransfer. Pelajar diberikan pengertian-pengertian yang mendasar, atau memahami prinsip-prinsip dasar.
C. Pengaruh Teori-Teori Belajar pada Kurikulum
Pengaruh teori asosiasi:
Kurikulum didominasi oleh konten-konten khusus,Masing-masing bagian dipelajar secara terlepas-lepasTransfer terbatas, ulasan-ulasan adalah penting Berpikir pasif, persentasi secara mendetail, mengingat dan mengulang-ulangIsi kurikulum difokuskan pada elemen-elemen yang lepas-lepas untuk disampaikan, tidak pada ide-ide atau prinsip-prinsip utama
Dibutuhkan pengidentifikasian respon-respon dan stimuli yang memenuhi respon tersebut
Pengembangan kurikulum mencakup pembuatan inventori dari semua pikiran-pikiran khusus untuk dipelajari dan menghasilkan program yang mereka pelajari
Aplikasi teori belajar cepat dalam membuat kurikulum dapat berdasarkan pada apa yang disebut metoda “job analysis” dari konstruk kurikulum
Pengaruh teori medan untuk perencanaan kurikulum
Menyediakan tujuan-tujuan yang dapat mewakili keragaman yang lebih luas untuk tipe belajar yang dipandang lebih umum dan persyaratan-persyaratan organisasi
Tujuan-tujuan ini tidak hanya mencakup pengertian bahan pelajaran, tetapi juga pengembangan proses kognitif, sikap, dan berorientasi pada alam
Sebagian besar pengorganisasian isi dan cara-cara mengajar menekankan pada konteks, hubungan-hubungan dan mengerti mengorganisasikannya
Asumsinya untuk mendorong berpikir aktif dan kreatif serta mengutamakan pad aproses penyelesaian maslaah dan lebih penting lagi berupaya untuk menggunakan metode dan bahan pelajaran terbuka untukmendorong kreativitas dan penemuan.
DAFTAR PUSTAKA
Barlow, M.L. (1974). The Philosophy for Quality Vocational Education Program. Washington, D.C: American Vocational Association.
Baskett, H.K.M., Marsick, V.J. & Cervero, R.M. (1992), Putting Theory to Practice and Practice to Theory. New Directions for Adult and Continuing Educa¬tion. (55), 109-118.
Bradley, D. (1993). Equality or Quality? Selection to Prevocational Courses in South Australia 1981 to 1984. Australian Journal of Education. 37 (1), 77-95.
Carlson, R.D. (1993). Computer Adaptive Testing: A Shift in the Evaluation Pro¬grams. Journal of Educational Technology System. 22, (3), 213-224.
Clouse, R.W. & Garrett, L.N. (1994). Case Analysis: An instructional Tool. Journal of Educational Technology System. 23 (1), 30-51.
Finch, C.R. & Crunkilton, J.R. (1984). Curriculum Development in Vocational and Technical Education: Planning, Content, and Implementation. Second Edition. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Fitzgerald, T. (1993). Education for Work and about Work : A Proposal. American Journal of Education. 101, 99-115.
Gagné, R.M. (1977). The Conditions of Learning. Third Edition. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Hall, G.E. & Jones, H.L. (1979). Competency-Based Education: A Process for the Improvement of Education. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, Inc.
IATVEP. (1995). Competency-Based Training. Bandung: TEDC.
Joice, B. & Weil, M. (1980). Models of Teaching. Second Edition. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice/Hall International, Inc.
Lewis, T. (1993). Valid-Knowledge and the Problem of Practical Arts Curricula. Curriculum Inquiry. 23, (2), 175-202.
Miller, J.P. & Seller, W. (1985). Curriculum: Perspective and Practice. New York: Longman.
Papoulia-Tzelepi, P. (1993). Teaching Practice Curriculum in Teacher Education: A Proposed Outline. European Journal of Teacher Education. 16(2), 147-162.
Rovegno, I.C. (1992). Learning to Teach in a Field-Based Methods Course: The Development of Pedagogical Content Knowledge. Teaching & Teacher Education. 8(1), 69-82.
Taba, H. (1962). Curriculum Development: Theory and Practice. New York: Harcourt, Brace & World, Inc.
Yoon, G. (1993). The Effects of Instructional Control, Cognitive Style, and Prior Knowledge on Learning of Computer-Assisted Instruction. Journal of Edu¬cational Technology System. 22,(4), 357-370).
ooooooOoooooo
0 komentar:
Posting Komentar